Arief Riyadi/Fotokita.net |
Naskah kuno dari Jerman dan Jawa bersaksi atas pertempuran konyol antara VOC dan Mataram di Batavia pada abad ke-17.
Kala Jan Pieterzoon Coen menempati takhta
keduanya sebagai Gubernur Jenderal VOC, pasukan Sultan Agung dari
Mataram menyerang Batavia sebanyak dua kali, 1628 dan 1629.
Soal prajurit Mataram yang kalah perang karena kurangnya pasokan logistik dan senjata, tampaknya sudah banyak yang mencatatnya. Namun, bagaimana kisah manusia yang saling bertempur di Batavia itu sangat sedikit sumber yang berkisah.
Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman, telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC. Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669. Selain berisi kisah, buku itu juga berisi 36 litografi.
Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoubt Hollandia—sebuah bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.
Dalam kondisi kocar-kacir dan pasrah, seorang sersan bernama Hans Madelijn yang asal Jerman, punya sebuah gagasan sinting. Hans menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja. Kotoran manusia itu digunakan untuk menyiram para prajurit Mataram yang mencoba merayapi dinding bangunan pertahanan itu. Hasil gagasan Hans itu cukup manjur.
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—ujar prajurit Mataram dengan jengkel yang terkena serangan berpeluru jenis baru itu. Mereka pun bubar tunggang langgang. Lantaran, lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa itu prajurit Mataram pernah menjuluki Redoubt Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”.
Peristiwa konyol dan sungguh-sungguh terjadi itu juga dikisahkan ulang dalam naskah “Babad Dipanagara”.
Kisah itu ditulis tatkala Pangeran Dipanagara mengisi waktu dalam pengasingannya di Manado pada awal 1830-an. Pada Juni 2013, babad itu diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Memory of the World. Kini Babad Dipanagara tersimpan di Perpustakaan Nasional.
Berikut petikan yang diterjemahkan dari bahasa Jawa: “Namun, karena peluru meriam hampir habis, mereka menggunakan tahi. Topi mereka digunakan untuk wadah tahi. Lalu, Ki Manduredja terkena peluru tahi itu. Seluruh badannya berlumuran kotoran manusia. Kejadian yang sama juga menimpa adipati. Dengan muka merah padam, mereka mundur kembali ke markas. Di situlah mereka mandi. Demikianlah tentang cerita mereka.”
Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoubt Hollandia itu? Menurut Adolf Heuken SJ, seorang pastor dan ahli sejarah tentang Batavia, dulu pernah ada kampung bernama “Kota Tahi”. Namun, kampung itu telah menghilang sejak pertengahan abad ke-19.
Toponimi kampung itu menandai pertahanan VOC yang pernah berlokasi Jl. Pinangsia Timur, tepatnya di sisi timur dari ujung selatan jalan itu. Kini lokasinya tak jauh dengan Glodok Plaza, Jakarta Barat.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI. Sumber: Adolf Heuken SJ, "Historical Sites of Jakarta", Cipta Loka Caraka, 2000.)
Soal prajurit Mataram yang kalah perang karena kurangnya pasokan logistik dan senjata, tampaknya sudah banyak yang mencatatnya. Namun, bagaimana kisah manusia yang saling bertempur di Batavia itu sangat sedikit sumber yang berkisah.
Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman, telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC. Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669. Selain berisi kisah, buku itu juga berisi 36 litografi.
Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoubt Hollandia—sebuah bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.
Dalam kondisi kocar-kacir dan pasrah, seorang sersan bernama Hans Madelijn yang asal Jerman, punya sebuah gagasan sinting. Hans menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja. Kotoran manusia itu digunakan untuk menyiram para prajurit Mataram yang mencoba merayapi dinding bangunan pertahanan itu. Hasil gagasan Hans itu cukup manjur.
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—ujar prajurit Mataram dengan jengkel yang terkena serangan berpeluru jenis baru itu. Mereka pun bubar tunggang langgang. Lantaran, lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa itu prajurit Mataram pernah menjuluki Redoubt Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”.
Peristiwa konyol dan sungguh-sungguh terjadi itu juga dikisahkan ulang dalam naskah “Babad Dipanagara”.
Kisah itu ditulis tatkala Pangeran Dipanagara mengisi waktu dalam pengasingannya di Manado pada awal 1830-an. Pada Juni 2013, babad itu diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Memory of the World. Kini Babad Dipanagara tersimpan di Perpustakaan Nasional.
Berikut petikan yang diterjemahkan dari bahasa Jawa: “Namun, karena peluru meriam hampir habis, mereka menggunakan tahi. Topi mereka digunakan untuk wadah tahi. Lalu, Ki Manduredja terkena peluru tahi itu. Seluruh badannya berlumuran kotoran manusia. Kejadian yang sama juga menimpa adipati. Dengan muka merah padam, mereka mundur kembali ke markas. Di situlah mereka mandi. Demikianlah tentang cerita mereka.”
Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoubt Hollandia itu? Menurut Adolf Heuken SJ, seorang pastor dan ahli sejarah tentang Batavia, dulu pernah ada kampung bernama “Kota Tahi”. Namun, kampung itu telah menghilang sejak pertengahan abad ke-19.
Toponimi kampung itu menandai pertahanan VOC yang pernah berlokasi Jl. Pinangsia Timur, tepatnya di sisi timur dari ujung selatan jalan itu. Kini lokasinya tak jauh dengan Glodok Plaza, Jakarta Barat.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI. Sumber: Adolf Heuken SJ, "Historical Sites of Jakarta", Cipta Loka Caraka, 2000.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar