Kamis, 30 Maret 2017

Gagalnya Menyatukan Jawa

17 Maret 1757, 260 tahun lalu. Kota Salatiga menjadi saksi untuk ke sekian kalinya siasat adu domba Belanda berhasil diterapkan memecah belah kerajaan jawa. Sejak itulah kekuasaan para raja terbelah menjadi 3, dan VOC yang paling diuntungkan. Cita-cita untuk menyatukan jawa seperti pada masa jaya Kesultanan Mataram Islam hampir dipastikan gagal terwujud.

Perjanjian Salatiga merupakan bagian dari babak akhir keruntuhan Mataran Islam yang sebenarnya sudah diambang kehancuran sejak Sultan Agung Hanyokrokusumo mangkat di tahun 1645. Jawa pun menjadi medan pertikaian diantara kerabat dekat yang seharusnya masih dalam naungan satu gari keluarga besar: Dinasti Mataram.

Sebelum perjanjian Salatiga, terlebih dulu ada Perjanjian Giyanti yang secara de facto sekaligus de jure menegaskan berakhirnya riwayat Kesultanan Mataram. Ditandatangani 13 Februari 1755, ini adalah perjanjian yang pada pokoknya “membelah nagari” atau membelah Mataram menjadi dua bagian (Atmakusumah, Takhta untuk Rakyat, 2011:126).


Setengah bekas wilayah Kesultanan Mataram Islam menjadi milik Kasunanan Surakarta di bawah pimpinan Pakubuwono III, sedangkan separuhnya lagi menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang segera mencanangkan diri sebagai raja Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. 

Namun, ada satu nama yang terlupakan, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan Raden Mas Said sebenarnya masih terikat darah persaudaraan, sama-sama keturunan Amangkurat IV (1719-1726), raja ke-4 Kasunanan Kartasura yang merupakan kelanjutan dari Mataram Islam.

Bagi Pakubuwono III serta Hamengkubuwono I, Raden Mas Said ibarat duri dalam daging. Sepak-terjangnya juga sangat merepotkan VOC. Raden Mas Said memerangi Belanda dan Mataram (Kartasura) sejak 1741. Ia sempat bergabung dengan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) selama 9 tahun dengan tujuan yang sama.

Namun, Pangeran Mangkubumi kemudian berbalik arah untuk menjalin kesepakatan dengan Pakubuwono III dan VOC lewat Perjanjian Giyanti. Raden Mas Said yang tidak dilibatkan pun menentang perjanjian tersebut yang disebutnya akan memecah-belah rakyat Mataram.

Usai Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said terus melancarkan perlawanan menghadapi tiga kubu sekaligus, yakni Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Ujung-ujungnya, Raden Mas Said meminta bagian dari wilayah Mataram yang telah dibagi dua dan dari sinilah Perjanjian Salatiga dimunculkan atas prakarsa VOC yang tidak ingin kehilangan pengaruh di Jawa.

Hasilnya, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa memperoleh jatah seluas 4.000 cacah atau sekitar 2.800 hektar (Wasino, Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, 2008:12). Dengan demikian, bekas wilayah kekuasaan Mataram kini menjadi milik tiga kubu pewarisnya, di bawah pengaruh VOC.

Awalnya, Raden Mas Said bersedia mengakui sebagai vasal dari Kasunanan Surakarta, tapi pada akhirnya ia membentuk dinasti otonomi yang bertahan dengan segala kemegahannya sampai saat ini, yaitu Kadipaten Mangkunegaran (Denys Lombard, Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, 1996:46). Raden Mas Said lalu menyandang gelar Mangkunegara I.

Perjanjian Salatiga 1757 boleh dibilang menjadi solusi paling gampang untuk mengatasi situasi karut-marut di tanah Mataram. Ibarat bagi-bagi warisan, semuanya untung. Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan Raden Mas Said atau Mangkunegara I mendapat jatah masing-masing. Namun, VOC atau Belanda-lah yang justru tersenyum paling lebar.

Semua perjanjian itu pada intinya adalah kontrak politik yang direkayasa VOC dengan memanfaatkan perpecahan dan intrik raja-raja lokal Mataram guna menguasai Pulau Jawa secara mutlak (Antonius Cahyadi & Donny Danardono, eds., Sosiologi Hukum dalam Perubahan, 2009:144).

Belanda memantau sekaligus mengontrol pergerakan ketiga kerajaan turunan Mataram itu dan menanamkan pengaruh yang sangat kuat, termasuk untuk urusan internal, misalnya ketika terjadi suksesi kekuasaan. Soal wilayah, VOC memang tidak mengusik area ketiga kerajaan tersebut, namun mereka menguasai seluruh kawasan Jawa bagian barat dan pesisir Pantai Utara Jawa hingga ke ujung timur. 

Di sisi lain, ketiga kerajaan turunan Mataram asyik dengan urusannya sendiri-sendiri sehingga tidak sempat memikirkan kembali upaya pembentukan kesatuan Jawa seperti yang telah diusahakan oleh raja-raja terdahulu. 

Akan tetapi, penting untuk dicatat, bahwa intervensi Belanda terhadap pertarungan internal para penguasa Jawa ini tidak datang serta merta. Bahkan para penguasa Jawa sendiri yang sering mengundang VOC untuk masuk ke tengah konflik. Banyak contoh ketika VOC justru dimintai bantuan oleh salah satu pelaku konflik untuk mengalahkan lawannya. Tentu saja bantuan VOC tidak gratis. 

Inilah yang terjadi, misalnya, saat para penguasa Mataram bertarung habis-habisan dengan Trunojoyo pada pertengahan abad 17, hampir seabad sebelum Perjanjian Salatiga ini. Trunojoyo dari Madura berhasil merebut ibukota Mataram pada 1674 dan memaksa Amangkurat I melarikan diri ke arah barat. 

Trunojoyo ini pada awalnya bekerja sama dengan Adipati Anom, putra Amangkurat I. Namun setelah Trunojoyo makin sulit dikendalikan, Adipati Anom berbalik arah membela ayahnya. Setelah Adipati Anom didapuk sebagai Amangkurat II di tanah pelarian, ia meminta bantuan VOC untuk mengalahkan Trunojoyo. 

Kerja sama antara Amangkurat II dan VOC ini disahkan dalam sebuah kesepakatan yang masyhur dengan sebutan Perjanjian Jepara (September 1677). VOC bersedia membantu Amangkurat II mengalahkan Trunojoyo akan tetapi mereka meminta imbalan penguasaan atas seluruh pesisir Utara Jawa. Amangkurat II menyetujui hal itu dan, setelah mengalahkan Trunojoyo pada Desember 1979, Mataram harus kehilangan kekuasaan di pesisir utara -- kawasan paling strategis karena menjadi gerbang perdagangan dengan pulau-pulau yang jauh dan negeri-negeri atas angin.

Setelah itu, intervensi VOC terhadap persoalan-persoalan internal kekuasaan di Jawa kian tak terhindarkan. Perjanjian Salatiga, atau Perjanjian Giyanti, adalah puncak kemenangan VOC yang memastikan Jawa telah resmi terbelah menjadi dua, kemudian tiga, bagian kekuasaan. 

Kesatuan Mataram kian sulit terwujud dengan hadirnya kerajaan keempat pada 17 Maret 1813, yakni Kadipaten Pakualaman, tepat 56 tahun setelah Perjanjian Salatiga. Pakualaman yang berstatus hampir mirip dengan Mangkunegaran adalah sempalan dari Kasultanan Yogyakarta, dipimpin oleh Paku Alam I atau Pangeran Notokusumo—yang tidak lain salah satu putra Hamengkubuwono I.

Begitulah, riwayat Mataram Islam yang melegenda itu akhirnya benar-benar berakhir dan menyisakan empat kerajaan penerusnya yang ternyata masih bertahan hingga saat ini meskipun tanpa kewenangan memerintah lagi. (Tirto)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar