Minggu,
26 Okt 2003
Dr
Dino Patti Djalal, Sosok dan Kiprahnya
Diprogram
Jadi Diplomat sejak Bayi
Muda,
keren orangnya, dan keren pula jabatannya. Itulah Dino Patti Djalal,direktur
Amerika Utara dan Amerika Tengah Departemen Luar Negeri (Deplu) RI.
Bagi
kalangan muda, khususnya mahasiswa yang belajar ilmu hubunganinternasional,
jabatan diplomat dengan karir mengkilap jelas menjadi impian. Dan,
impian itu sudah dipegang Dino, putra diplomat kawakan Prof Dr HasyimDjalal
(mantan Dubes Keliling urusan Maritim dan Hukum Laut).
"Mungkin
karena faktor luck. Saya kebetulan beruntung, saya orangnyabiasa-biasa,
bukan diplomat yang cerdas. Tapi, saya beruntung karena beradapada
the right place and the right time," ujar Dino.
Dino
boleh merendah. Tapi, apa yang didapatkan selama ini jelas tidak datang begitu
saja. Kerja keras dan kesungguhan jelas modal utamanya. Ini dibuktikan
saat mempersiapkan kunjungan Presiden Amerika Serikat GeorgeWalker
Bush ke Bali pada 22 Oktober 2003 lalu. Sebagai direktur Amerika Utara danAmerika
Tengah Deplu, dia harus bertanggung jawab untuk menyukseskan gawe besar
itu. Hal itu tidak hanya mempertaruhkan karir, tetapi juga citrabangsa
ini di mata internasional.
Karena
itulah, beberapa hari menjelang kunjungan Bush ke Bali, dia memutuskan
stand by di Hotel The Patra Bali Resort and Villas yang menjadi tempat
pertemuan bilateral Bush dengan Presiden Megawati Soekarnoputri,serta
pertemuan presiden negara adidaya itu dengan sejumlah tokoh agama.
Dino bersama Dubes Indonesia untuk AS Sumadi
Brotodiningrat mengecek persiapan teknis protokoler, mulai mengecek jumlah
kursi, siapa yang hadir, letak bendera, kesiapan bandara, menu makan siang
untuk menjamu Bush, hingga keamanan.
Menyambut
kedatangan Bush memang berbeda dengan menyambut kepala negara lain.
Pada penyambutan pemimpin negara lain kesibukan terfokus pada masalah substansial,
seperti sulitnya membuat joint statemen. Tapi, untuk yang satu ini,
masalah prosedural dan aturan pengamanan, terasa sangat sulit. Salah satunya,
bagaimana harus berhadapan dengan Secret Sevice (SS) Police.
"Kita sangat
hati-hati dan profesional. Mungkin bisa dimengerti, karena kita tidak menghadapi
ancaman yang mereka hadapi. Mereka kan benar-benar target bagi kelompok-kelompok
teroris. Tapi, kita juga dibayangi rasa lega bahwa Hambali sudah
tertangkap. Kalau Hambali belum tertangkap, percaya deh tingkat paranoid-nya
akan jauh lebih tinggi," katanya.
Selain
faktor luck dan kerja keras, sebagai anak diplomat tentu saja dia mempunyai
nilai lebih bila dibanding diplomat lain. Apalagi, begitu terlahirdi
dunia, sepertinya dia sudah tampil sebagai diplomat bayangan, membayangi ke
mana saja ayahnya pergi untuk menunaikan tugas diplomatnya.
Beruntung
pula, dia mempunyai ayah yang memikirkan masa depannya. Dia merasasejak
bayi sudah diprogram dan di-brainwash menjadi diplomat. Pada saatmakan
bersama, misalnya, dia selalu diajak berdiskusi mengenai masalah politik
internasional.
Saat nonton TV, dia selalu diminta memberikan komentar.
Lebih terarah lagi, ayahnya sering mengajaknya membuat konsep pidato,
dan juga memberikan kesempatan kepadanya untuk bekerja sebagai pelayan
di resepsi diplomatik. Membaca juga diwajibkan oleh ayahnya. Karena itu,
jika dia minta uang untuk membeli baju dan sepatu, hampir dipastikan akan
dipersulit jika dibandingkan untuk membeli buku.
"Dua
saudara saya juga sama. Tapi, penyalurannya berbeda. Kakak saya kebisnis,
adik saya ke dunia jurnalis. Saya menganggap ayah bukan hanya sebagai
ayah, tetapi sebagai mentor," jelasnya.
Dino
mengaku tidak tertekan dengan apa yang dilakukan ayahnya. Mengapa? Dia sendiri
bercita-cita menjadi diplomat, selain menjadi guru. Sebagai wujud ketertarikannya
di dunia diplomatik, jurusan yang diambil sewaktu kuliahadalah
jurusan ilmu politik dan hubungan internasional. Kebetulan, dua cita-cita
itu diraihnya. Untuk diketahui, sebelum menjadi diplomat, dia pernah
menjadi asisten dosen di sebuah perguruan tinggi di Kanada.
Apa
yang membuatnya suka pada dunia diplomatik? Sebagai diplomat, dia jelas terlibat
dalam hubungan antarbangsa, komunikasi antarbudaya, menyelesaikan konflik,
menghubungkan diplomasi dengan kepentingan masyarakat, seperti masalah
kerja sama pendidikan, mengurusi visa ke luar negeri. Semuanya ada sentuhan
pada kepentingan masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menarik
minatnya.
"Ada
dua pertimbangan (pilihan, Red) untuk menjadi diplomat. Untuk lifestyle atau
prestasi karir. Kalau lifestyle kita maunya ke Paris, London, atau NewYork.
Tapi, kalau untuk karir, pos seperti China dan Vietnam punya tantangandiplomatik
yang lebih penting."
Selama
menjalani profesi diplomat, dia sering mendapatkan pengalaman yang menurutnya
sangat mengesankan dan berarti. Dino bercerita, dirinya merasa menjadi
diplomat beneran saat mendampingi Wiryono yang saat itu menjabat Dirjen
Politik Deplu untuk menengahi konflik Kamboja (1991). Bukan hanya lika-liku
diplomatiknya yang dirasakan langsung, tapi apa yang dilakukannya telah
menyelamatkan ribuan, bahkan jutaan orang di negara Indo China itu dimasa
mendatang.
Dikatakannya, dengan satu aksi diplomatik, pihak Indonesia bisa
mempengaruhi kondisi suatu masyarakat secara makro dan untuk masa yang panjang.
Setelah
berselang 12 tahun, dirinya kembali ke Kamboja menghadiri KTT ASEAN. Di
waktu luang setelah KTT selesai, dia iseng-iseng menyewa ojek untuk berkeliling
kota Kamboja. Nah, saat itu si tukang ojek menanyakan asalnya dan
dia menjawab dari Indonesia. Tanpa diduga, si tukang ojek itu langsung mengacungkan
jempol sembari menyatakan bahwa kalau tidak ada Indonesia dan Ali
Alatas, Kamboja tetap perang hingga sekarang.
"Memang
luar biasa perbedaannya. Perbedaan dari segi tata kota, kemakmuran hidup,
ekonomi dan perdagangan, dan semangat rakyatnya," katanya.
Pengalaman
berharga lain dia dapatkan pada 1990 saat menangani persoalan Laut
China Selatan. Sejak tahun itu hingga 2000, dia menjadi anak buah langsung
dari ayahnya yang seorang pakar hukum laut internasional.
Selain
pengalaman manis, dia pernah merasakan pengalaman pahit. Yakni, saat tugas
yang dia lakukan tidak berhasil seperti diharapkan bangsa ini.
Pengalaman
itu terjadi saat dirinya ditunjuk menjadi Jubir Satgas P3TT (Pelaksana
Penentuan Pendapat di Timtim).
Jika
sewaktu kuliah, dia sering berteori dan kalau salah membuat analisis, tidak
ada risikonya. Paling-paling, hanya mendapat nilai C. Tapi di Timtim, dia
merasakan bangsa ini (Indonesia) telah melakukan miskalkulasi, dengan dampak yang sampai
sekarang masih harus ditanggung. Kesalahan kalkulasi itu di antaranya tidak
mengantisipasi terjadinya kerusuhan atau pelanggaran HAM setelah jajak pendapat.
"Jadi,
karena itu, jajak pendapat yang seharusnya memberikan kredit poin dan menciptakan
suasana damai, justru berbalik arah, mencoreng muka kita dan menimbulkan
kesengsaraan bagi orang. Padahal, seluruh tujuan dari proses perdamaian
itu untuk menstabilisasi dan menciptakan perdamaian."
Secara
pribadi, Dino menilai miskalkulasi disebabkan terlalu dipaksakannya timetable
jajak pendapat. Presiden Habibie saat itu menginginkan Timtim harus
tuntas pada 2000 sebelum pemerintahannya berakhir. Jika saat itu ada fleksibilitas
dan tidak terpenjara timetable, dia berani memastikan pemerintah
dapat meng-handle situasi. "Bayangkan, waktu itu dicapai kesepakatan
untuk melakukan jajak pendapat pada Agustus. PBB siap karena dipikir
Agustus tahun depan. Ternyata Agustus beberapa bulan lagi, merekapun
sangat kaget. Saya yang waktu itu di lapangan, melihat ada polarisasi yang
sangat tinggi yang tidak memungkinkan kondisi politik yang stabil untuk melakukan
referendum."
Dari
berbagai pengalaman itu, Dino akhirnya diangkat menjadi kepala Departemen
Politik KBRI di Washington DC AS pada 2000. Selang dua tahun, karirnya
pun menanjak. Dia ditarik ke Jakarta dan dipercaya memegang jabatan direktur
Amerika Utara dan Tengah.
Sibuk,
Urusan Pribadi Terbengkalai
Tak
bisa dipungkiri, karir Dino Patti Djalal memang sukses. Namun, ibarat pepatah,
tak ada manusia yang sempurna. Mungkin, karena kelewat asyik berkarir,
urusan pribadi Dino pun terbengkalai. Dalam usianya yang padatahun
ini genap 38 tahun, dia masih melajang.
"Saya
memang belum berkeluarga. Belum ada yang cocok," katanya saat ditemui di salah satu kafe di Plaza Senayan.
Dengan
segala kelebihan (karir, Red) yang dimilikinya, seharusnya Dino tidak kesulitan
mendapatkan pendamping hidup. Apalagi, secara fisik, dia tergolong ganteng.
Apakah semua itu belum cukup? Bagi Dino, masalah jodoh, tampaknya, tidak
mudah dipecahkan dengan seabrek prestasi yang dicapainya.
Di
antara tiga bersaudara, hanya Dino yang masih melajang. Kakaknya, IwanDjalal,
yang saat ini bekerja sebagai staf di MTV sudah ketemu jodoh, demikian
pula adiknya, Dini Djalal, wartawan Far Eastern Economic Review.
"Adik
saya mendapatkan jodoh orang Thailand dan kini menetap di AS," jelas anak
kedua di antara tiga bersaudara Prof Dr Hasyim Djalal tersebut.
Dulu,
Dino sempat diisukan dekat dengan artis penyanyi dangdut Iis Dahlia. Saat
ditanya soal kabar itu, Dino hanya tersenyum. "Iis itu hanya teman biasa.
Saya nggak mempunyai hubungan khusus dengannya. Pokoknya, saya belum berhasil
di bidang tersebut (menikah). Masih belum laku," ujarnya sambil tertawa.
Saat ditanya apakah tidak ada yang menawari, dia pun tersenyum.
"Belum
tuh. Nggak laku kali," ungkapnya.
Apa
terlalu pilih-pilih? "Nggak lah," tegasnya. Dia menjelaskan, salah satu penyebabnya
adalah mungkin kesibukannya yang luar biasa. "Mungkin, saya terlalu
sibuk dalam pekerjaan. Jadi, belum ada waktu saja. Dan, sekarang saya
belum bertemu orang yang cocok," jelasnya.
Dia
menceritakan, selain sibuk bekerja, waktunya digunakan untuk membaca buku
dan berolahraga. Salah satu olahraga kegemarannya adalah lari. "Lari kan
olahraga yang paling praktis. Tapi, sekarang saya sedang suka surfing.Ya,
pokoknya berolahraga untuk menjaga vitalitas kesehatan," ungkapnya.
------------------000------------------
Riwayat Singkat Dino Patti Djalal:
Dino Patti Djalal (lahir di Beograd, Yugoslavia, 10 September 1965; umur 48 tahun) adalah Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat,[1] yang bertugas sejak tahun 2010 hingga saat ini.
Dino lahir dari pasangan Hasyim Djalal (ayah) dan Jurni (ibu). Orang tuanya berasal dari Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya, Hasyim Djalal, juga merupakan seorang diplomat Indonesia ternama.
Kariernya dimulai tahun 1987
ketika masuk Departemen Luar Negeri. Berbagai penugasan penting pernah
diemban, antara lain sebagai Jubir Satgas P3TT (Pelaksana Penentuan
Pendapat di Timor Timur), Kepala Departemen Politik KBRI
Washington dan Direktur Amerika Utara dan Tengah Departemen Luar
Negeri. Ia sempat menjabat sebagai Direktur Urusan Amerika Utara dan
Amerika Tengah di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, sebelum akhirnya bersama Andi Mallarangeng kemudian ditunjuk sebagai juru bicara Presiden ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden Indonesia. Menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat tahun 2011.
Pendidikannya bermula dari SD dan SMP Al Azhar, kemudian dia melanjutkan pendidikan ke McLean High School, Amerika Serikat,
kemudian ke Universitas Carleton, Kanada (S1); gelar MA dari
Universitas Simon Frazer, Kanada hingga kemudian meraih gelar doktor
bidang hubungan internasional di London School for Economic and
Political Science, Inggris.
Istrinya, Rosa Raj Djalal, saat ini berprofesi sebagai dokter gigi. Dari
hasil pernikahannya dengan Rosa, Dino dikaruniai tiga orang anak :
Alexa, Keanu, dan Chloe[3]
Saudara laki-lakinya, Iwan Djalal, saat ini bekerja sebagai eksekutif
perusahaan swasta. Sedangkan saudara perempuannya, Dini Djalal, bekerja
sebagai wartawan di Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar