Jumat, 20 September 2013

Dino Patti Djalal: Diprogram Jadi Diplomat Sejak Bayi


Minggu, 26 Okt 2003
Dr Dino Patti Djalal, Sosok dan Kiprahnya

Diprogram Jadi Diplomat sejak Bayi
Muda, keren orangnya, dan keren pula jabatannya. Itulah Dino Patti Djalal,direktur Amerika Utara dan Amerika Tengah Departemen Luar Negeri (Deplu) RI.
Bagi kalangan muda, khususnya mahasiswa yang belajar ilmu hubunganinternasional, jabatan diplomat dengan karir mengkilap jelas menjadi impian. Dan, impian itu sudah dipegang Dino, putra diplomat kawakan Prof Dr HasyimDjalal (mantan Dubes Keliling urusan Maritim dan Hukum Laut).

"Mungkin karena faktor luck. Saya kebetulan beruntung, saya orangnyabiasa-biasa, bukan diplomat yang cerdas. Tapi, saya beruntung karena beradapada the right place and the right time," ujar Dino.



Dino boleh merendah. Tapi, apa yang didapatkan selama ini jelas tidak datang begitu saja. Kerja keras dan kesungguhan jelas modal utamanya. Ini dibuktikan saat mempersiapkan kunjungan Presiden Amerika Serikat GeorgeWalker Bush ke Bali pada 22 Oktober 2003 lalu. Sebagai direktur Amerika Utara danAmerika Tengah Deplu, dia harus bertanggung jawab untuk menyukseskan gawe besar itu. Hal itu tidak hanya mempertaruhkan karir, tetapi juga citrabangsa ini di mata internasional.



Karena itulah, beberapa hari menjelang kunjungan Bush ke Bali, dia memutuskan stand by di Hotel The Patra Bali Resort and Villas yang menjadi tempat pertemuan bilateral Bush dengan Presiden Megawati Soekarnoputri,serta pertemuan presiden negara adidaya itu dengan sejumlah tokoh agama.

Dino bersama Dubes Indonesia untuk AS Sumadi Brotodiningrat mengecek persiapan teknis protokoler, mulai mengecek jumlah kursi, siapa yang hadir, letak bendera, kesiapan bandara, menu makan siang untuk menjamu Bush, hingga keamanan.



Menyambut kedatangan Bush memang berbeda dengan menyambut kepala negara lain. Pada penyambutan pemimpin negara lain kesibukan terfokus pada masalah substansial, seperti sulitnya membuat joint statemen. Tapi, untuk yang satu ini, masalah prosedural dan aturan pengamanan, terasa sangat sulit. Salah satunya, bagaimana harus berhadapan dengan Secret Sevice (SS) Police. 
"Kita  sangat hati-hati dan profesional. Mungkin bisa dimengerti, karena kita tidak menghadapi ancaman yang mereka hadapi. Mereka kan benar-benar target bagi kelompok-kelompok teroris. Tapi, kita juga dibayangi rasa lega bahwa Hambali sudah tertangkap. Kalau Hambali belum tertangkap, percaya deh tingkat paranoid-nya akan jauh lebih tinggi," katanya.



Selain faktor luck dan kerja keras, sebagai anak diplomat tentu saja dia mempunyai nilai lebih bila dibanding diplomat lain. Apalagi, begitu terlahirdi dunia, sepertinya dia sudah tampil sebagai diplomat bayangan, membayangi ke mana saja ayahnya pergi untuk menunaikan tugas diplomatnya.



Beruntung pula, dia mempunyai ayah yang memikirkan masa depannya. Dia merasasejak bayi sudah diprogram dan di-brainwash menjadi diplomat. Pada saatmakan bersama, misalnya, dia selalu diajak berdiskusi mengenai masalah politik internasional. 
Saat nonton TV, dia selalu diminta memberikan komentar. Lebih terarah lagi, ayahnya sering mengajaknya membuat konsep pidato, dan juga memberikan kesempatan kepadanya untuk bekerja sebagai pelayan di resepsi diplomatik. Membaca juga diwajibkan oleh ayahnya. Karena itu, jika dia minta uang untuk membeli baju dan sepatu, hampir dipastikan akan dipersulit jika dibandingkan untuk membeli buku.



"Dua saudara saya juga sama. Tapi, penyalurannya berbeda. Kakak saya kebisnis, adik saya ke dunia jurnalis. Saya menganggap ayah bukan hanya sebagai ayah, tetapi sebagai mentor," jelasnya.



Dino mengaku tidak tertekan dengan apa yang dilakukan ayahnya. Mengapa? Dia sendiri bercita-cita menjadi diplomat, selain menjadi guru. Sebagai wujud ketertarikannya di dunia diplomatik, jurusan yang diambil sewaktu kuliahadalah jurusan ilmu politik dan hubungan internasional. Kebetulan, dua cita-cita itu diraihnya. Untuk diketahui, sebelum menjadi diplomat, dia pernah menjadi asisten dosen di sebuah perguruan tinggi di Kanada.



Apa yang membuatnya suka pada dunia diplomatik? Sebagai diplomat, dia jelas terlibat dalam hubungan antarbangsa, komunikasi antarbudaya, menyelesaikan konflik, menghubungkan diplomasi dengan kepentingan masyarakat, seperti masalah kerja sama pendidikan, mengurusi visa ke luar negeri. Semuanya ada sentuhan pada kepentingan masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menarik

minatnya.



"Ada dua pertimbangan (pilihan, Red) untuk menjadi diplomat. Untuk  lifestyle atau prestasi karir. Kalau lifestyle kita maunya ke Paris, London, atau NewYork. Tapi, kalau untuk karir, pos seperti China dan Vietnam punya tantangandiplomatik yang lebih penting."



Selama menjalani profesi diplomat, dia sering mendapatkan pengalaman yang menurutnya sangat mengesankan dan berarti. Dino bercerita, dirinya merasa menjadi diplomat beneran saat mendampingi Wiryono yang saat itu menjabat Dirjen Politik Deplu untuk menengahi konflik Kamboja (1991). Bukan hanya lika-liku diplomatiknya yang dirasakan langsung, tapi apa yang dilakukannya telah menyelamatkan ribuan, bahkan jutaan orang di negara Indo China itu dimasa mendatang. 
Dikatakannya, dengan satu aksi diplomatik, pihak Indonesia bisa mempengaruhi kondisi suatu masyarakat secara makro dan untuk masa yang panjang.



Setelah berselang 12 tahun, dirinya kembali ke Kamboja menghadiri KTT ASEAN. Di waktu luang setelah KTT selesai, dia iseng-iseng menyewa ojek untuk berkeliling kota Kamboja. Nah, saat itu si tukang ojek menanyakan asalnya dan dia menjawab dari Indonesia. Tanpa diduga, si tukang ojek itu langsung mengacungkan jempol sembari menyatakan bahwa kalau tidak ada Indonesia dan Ali Alatas, Kamboja tetap perang hingga sekarang.



"Memang luar biasa perbedaannya. Perbedaan dari segi tata kota, kemakmuran  hidup, ekonomi dan perdagangan, dan semangat rakyatnya," katanya.



Pengalaman berharga lain dia dapatkan pada 1990 saat menangani persoalan Laut China Selatan. Sejak tahun itu hingga 2000, dia menjadi anak buah langsung dari ayahnya yang seorang pakar hukum laut internasional.



Selain pengalaman manis, dia pernah merasakan pengalaman pahit. Yakni, saat tugas yang dia lakukan tidak berhasil seperti diharapkan bangsa ini.

Pengalaman itu terjadi saat dirinya ditunjuk menjadi Jubir Satgas P3TT (Pelaksana Penentuan Pendapat di Timtim).



Jika sewaktu kuliah, dia sering berteori dan kalau salah membuat analisis, tidak ada risikonya. Paling-paling, hanya mendapat nilai C. Tapi di Timtim, dia merasakan bangsa ini (Indonesia) telah melakukan miskalkulasi, dengan dampak yang sampai sekarang masih harus ditanggung. Kesalahan kalkulasi itu di antaranya tidak mengantisipasi terjadinya kerusuhan atau pelanggaran HAM setelah jajak pendapat.



"Jadi, karena itu, jajak pendapat yang seharusnya memberikan kredit poin  dan menciptakan suasana damai, justru berbalik arah, mencoreng muka kita dan menimbulkan kesengsaraan bagi orang. Padahal, seluruh tujuan dari proses perdamaian itu untuk menstabilisasi dan menciptakan perdamaian."



Secara pribadi, Dino menilai miskalkulasi disebabkan terlalu dipaksakannya timetable jajak pendapat. Presiden Habibie saat itu menginginkan Timtim harus tuntas pada 2000 sebelum pemerintahannya berakhir. Jika saat itu ada fleksibilitas dan tidak terpenjara timetable, dia berani memastikan pemerintah dapat meng-handle situasi. "Bayangkan, waktu itu dicapai kesepakatan untuk melakukan jajak pendapat pada Agustus. PBB siap karena dipikir Agustus tahun depan. Ternyata Agustus beberapa bulan lagi, merekapun sangat kaget. Saya yang waktu itu di lapangan, melihat ada polarisasi yang sangat tinggi yang tidak memungkinkan kondisi politik yang stabil untuk melakukan referendum."



Dari berbagai pengalaman itu, Dino akhirnya diangkat menjadi kepala Departemen Politik KBRI di Washington DC AS pada 2000. Selang dua tahun, karirnya pun menanjak. Dia ditarik ke Jakarta dan dipercaya memegang jabatan direktur Amerika Utara dan Tengah.




Sibuk, Urusan Pribadi Terbengkalai


Tak bisa dipungkiri, karir Dino Patti Djalal memang sukses. Namun, ibarat pepatah, tak ada manusia yang sempurna. Mungkin, karena kelewat asyik berkarir, urusan pribadi Dino pun terbengkalai. Dalam usianya yang padatahun ini genap 38 tahun, dia masih melajang.



"Saya memang belum berkeluarga. Belum ada yang cocok," katanya saat ditemui di salah satu kafe di Plaza Senayan.



Dengan segala kelebihan (karir, Red) yang dimilikinya, seharusnya Dino tidak kesulitan mendapatkan pendamping hidup. Apalagi, secara fisik, dia tergolong ganteng. Apakah semua itu belum cukup? Bagi Dino, masalah jodoh, tampaknya, tidak mudah dipecahkan dengan seabrek prestasi yang dicapainya.



Di antara tiga bersaudara, hanya Dino yang masih melajang. Kakaknya, IwanDjalal, yang saat ini bekerja sebagai staf di MTV sudah ketemu jodoh, demikian pula adiknya, Dini Djalal, wartawan Far Eastern Economic Review.



"Adik saya mendapatkan jodoh orang Thailand dan kini menetap di AS,"  jelas anak kedua di antara tiga bersaudara Prof Dr Hasyim Djalal tersebut.



Dulu, Dino sempat diisukan dekat dengan artis penyanyi dangdut Iis Dahlia. Saat ditanya soal kabar itu, Dino hanya tersenyum. "Iis itu hanya teman biasa. Saya nggak mempunyai hubungan khusus dengannya. Pokoknya, saya belum berhasil di bidang tersebut (menikah). Masih belum laku," ujarnya sambil tertawa. Saat ditanya apakah tidak ada yang menawari, dia pun tersenyum.

"Belum tuh. Nggak laku kali," ungkapnya.


Apa terlalu pilih-pilih? "Nggak lah," tegasnya. Dia menjelaskan, salah satu penyebabnya adalah mungkin kesibukannya yang luar biasa. "Mungkin, saya terlalu sibuk dalam pekerjaan. Jadi, belum ada waktu saja. Dan, sekarang saya belum bertemu orang yang cocok," jelasnya.



Dia menceritakan, selain sibuk bekerja, waktunya digunakan untuk membaca buku dan berolahraga. Salah satu olahraga kegemarannya adalah lari. "Lari kan olahraga yang paling praktis. Tapi, sekarang saya sedang suka surfing.Ya, pokoknya berolahraga untuk menjaga vitalitas kesehatan," ungkapnya. 

------------------000------------------


Riwayat Singkat Dino Patti Djalal:
Dino Patti Djalal (lahir di Beograd, Yugoslavia, 10 September 1965; umur 48 tahun) adalah Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat,[1] yang bertugas sejak tahun 2010 hingga saat ini.
Dino lahir dari pasangan Hasyim Djalal (ayah) dan Jurni (ibu). Orang tuanya berasal dari Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya, Hasyim Djalal, juga merupakan seorang diplomat Indonesia ternama.

Kariernya dimulai tahun 1987 ketika masuk Departemen Luar Negeri. Berbagai penugasan penting pernah diemban, antara lain sebagai Jubir Satgas P3TT (Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Timur), Kepala Departemen Politik KBRI Washington dan Direktur Amerika Utara dan Tengah Departemen Luar Negeri. Ia sempat menjabat sebagai Direktur Urusan Amerika Utara dan Amerika Tengah di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, sebelum akhirnya bersama Andi Mallarangeng kemudian ditunjuk sebagai juru bicara Presiden ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden Indonesia. Menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat tahun 2011.

Pendidikannya bermula dari SD dan SMP Al Azhar, kemudian dia melanjutkan pendidikan ke McLean High School, Amerika Serikat, kemudian ke Universitas Carleton, Kanada (S1); gelar MA dari Universitas Simon Frazer, Kanada hingga kemudian meraih gelar doktor bidang hubungan internasional di London School for Economic and Political Science, Inggris.

Istrinya, Rosa Raj Djalal, saat ini berprofesi sebagai dokter gigi. Dari hasil pernikahannya dengan Rosa, Dino dikaruniai tiga orang anak : Alexa, Keanu, dan Chloe[3] Saudara laki-lakinya, Iwan Djalal, saat ini bekerja sebagai eksekutif perusahaan swasta. Sedangkan saudara perempuannya, Dini Djalal, bekerja sebagai wartawan di Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar