A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (bahasa Indonesia: Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia), atau lebih umum dikenal sebagai Cornell Paper, adalah publikasi ilmiah yang mengungkapkan kegagalan kudeta [1] oleh Gerakan 30 September dengan sangat rinci. Artikel ini dipublikasikan pada tanggal 10 Januari 1966. Studi paper ini ditulis oleh Benedict Anderson and Ruth Mcvey, dengan pertolongan Frederick Burnell, dengan menggunakan informasi dari berbagai sumber berita Indonesia pada saat itu. Pada saat paper ini ditulis, ketiga orang ini adalah anggota dari Ikatan Alumni Universitas Cornell dan adalah ahli dalam bidang sejarah Asia Tenggara.
Dalam paper ini Anderson dan Mcvey memaparkan teori bahwa PKI maupun Sukarno
tidak terlibat dalam gerakan kudeta ini; bahkan mereka adalah korban
dari gerakan ini. Berdasarkan informasi dan dokumen-dokumen yang
Anderson dan McVey gunakan, mereka memberikan teori bahwa kudeta adalah
sebuah masalah internal dalam tentara yang bertujuan menggeser beberapa
jendral yang dikatakan bekerja sama dengan CIA [2]. Dalam waktu seminggu Gerakan 30 September diberantas oleh Mayor Jendral Suharto,
yang mengambil alih pertanggung jawaban untuk menggalakkan keamamanan.
Paper ini juga mengajukan alternative teori yang akhirnya ditolak. Salah
satu diantaranya adalah teori yang didukung secara resmi oleh
pemerintah Indonesia sampa saat ini yaitu PKI adalah dalang dari kudeta
ini.
Publikasi ini awalnya dirahasiakan, tetapi bocor pada tanggal 5 Maret 1966 dengan munculnya artikel di Koran The Washington Post
oleh jurnalis Joseph Kraft. Sampai tahun 1971, Cornell menolak aksess
ke publikasi ini dan artikel ini banyak disalah gunakan atau
diinterpretasikan tidak benar. Permintaan kepada pemerintah Indonesia
untuk menyumbangkan dokument-dokument tambahan yang berhubungan dengan
kejadian kudeta ditolak oleh pemerintah Indonesia. Akhirnya paper ini
dipublikasikan pada tahun 1971 tanpa tambahan apa-apa. Sejak publikasi
resmi, paper ini menjadi bahan analisa dan juga bahan koreksi.
Sekitar pukul 7:15 pagi waktu Indonesia bagian barat tanggal 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia
di Jakarta mengumumkan bahwa Gerakan 30 September yang dikatakan
beroperasi sendiri telah melakukan operasi dengan tujuan menghindari
kudeta yang direncanakan oleh kumpulan jenderal. Kumpulan jenderal ini
dikatakan mempunyai niat yang kontroversial dan disponsori oleh CIA.
Dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Syamsuri dari Tjakrabirawa, pasukan keamanan presiden [3],
gerakan ini menahan beberapa jenderal and mengatakan telah mengontrol
media dan pers. Juga dikatakan telah mengamankan presiden Sukarno [2]
Untung kemudian mendeklarasikan pendirian Badan Revolusi Indonesia yang
terdiri dari anggota sipil dan militer dan bertugas membantu gerakan
ini dengan tujuan “mengamankan Indonesia dari Dewan Jendral dan
oknum-oknumya yang licik”. [4]
George McTurnan Kahin,
seorang ahli terkemuka dalam sejarah Asia Tenggara dan direktur dari
Project Modern Indonesia Cornell University, memberikan kesaksian
sebagai berikut ketika ia mendengar berita gerakan kudeta ini.
Saya menerima kabar ini (interview dengan radio Boston di bulan september 1965), dan perhatian saya yang waktu itu ditujukan kepada perang Vietnam dengan tiba-tiba perhatian saya ditujukan ke Indonesia[…]. Saya terkejut ketika mendengar berita dari awak radio sebelum dia meninggalkan posnya […] ada berita datang bahwa ada kudeta militer di Indonesia […] Saya tidak sepenuhnya mengikuti perkembangan di Indonesia, tetapi bila pun saya mengikuti dengan seksama, saya akan tetap terkejut atas kejadian di negara yang saya kira saya tahu betul.—George McTurnan Kahin, "Southeast Asia: A testament, halaman 178."
Ketika Kahin kembali ke Cornell, mahasiswa pasca sarjana dan ahli ilmuwan bidang sejarah Indonesia Benedict Anderson dan Frederick Bunnell telah mulai bekerja sama dengan Ruth McVey,
mahasiswi yang meraih gelar pada tahun 1961 dan juga ilmuwan yang
bekerja di Universitas Cornell bagian hubungan internasional. Mereka
bekerja sama untuk mengumpulkan informasi tentang berita kudeta. Dengan
memanfaatkan koleksi-koleksi dari Universitas Cornell yang berupa
koran-koran nasional dan daerah dan juga dengan mendengarkan
siaran-siaran radio Indonesia, Anderson dan McVey mulai menulis
penemuan-penemuan dan analisa mereka. Suatu versi yang bersifat
"sementara" tercipta yang terdiri dari 162 halaman yang meringkas dan
menganalisa kejadian-kejadian bersangkutan dengan kudeta. Versi ini
diselesaikan pada tanggal 10 januari 1966 dan berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (bahasa Indonesia: Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia).[5]
Ringkasan
Di dalam essay ini Anderson dan McVey membahas sebuah teori tentang
terjadinya Gerakan 30 September. Teori ini dikenal sebagai teori
"masalah internal militer" dan merupakan salah satu dari berbagai teori
mengenai Gerakan 30 September. Teori internal militer mengungkapkan
bahwa Gerakan 30 September adalah sepenuhnya berasal dari konflik di
dalam tentara. Hal ini juga telah diutarakan oleh PKI. Anderson dan
McVey berpendapat bahwa gerakan ini adalah inisiatif dari generasi muda
di dalam militer yang tidak puas dengan situasti di dalam dunia militer.
Kesempatan untuk naik pangkat sangat sulit dan ketidakpuasan ini juga
ditujukan kepada jenderal-jenderal yang mereka anggap korupsi dan
mempunyai gaya hidup yang dekaden.
Kelompok generasi muda di dalam tentara ini menyatakan bahwa PKI
terlibat dalam gerakan ini dengan menyebutkan beberapa bukti, antara
lain adanya pendeportasian Aidit ke Halim. Tuduhan ini cukup aneh dan
membuat bukti lebih nyata bahwa sebenarnya militer adalah dalang dari
Gerakan 30 September.
Anderson memperluas teori ini dengan menyatakan bahwa usaha kudeta
ini adalah hampir sepenuhnya konflik internal di dalam tentara dan peran
PKI sama sekali tidak berarti. Jenderal-Jenderal sayap kanan yang
dibunuh pada tanggal 1 Oktober itu, menurut Anderson, adalah Dewan
Jendral yang berencana membunuh Sukarno dan kemudian mendirikan
pemerintahan militer. Anderson berpendapat bahwa Gerakan 30 September
didalangi oleh oknum militer yang setia terhadap Sukarno dan berusaha
melindungi pemerintahan Sukarno, jadi bukan untuk menggulingkan Sukarno.
Versi yang lebih radikal dari teori ini adalah bahwa Suharto sebenarnya
mengetahui akan adanya gerakan ini sebelumnya.
Teori Anderson ini berpusat dari suatu analisa terhadap seorang tokoh militer yang tidak banyak dikenal, Kolonel Abdul Latief.
Latief mempunyai karir yang cukup lama di tentara, sangat setia kepada
Sukarno dan juga teman Suharto. Setelah penculikan dan pembunuhan
jenderal-jenderal, Latief dipenjara akibat keterlibatannya dalam Gerakan
30 September dan dituduh sebagai pengkhianat negara. Ketika ia diadili
di dalam pengadilan militer di tahun 70-an, Latief membuat suatu klaim
bahwa Suharto terlibat di dalam Gerakan 30 September dan telah
mengkhianati tokoh lainnya yang terlibat di dalam gerakan ini dengan
tujuan untuk melindungi kepentingannya sendiri.
Menurut Anderson, Suharto sendiri telah dua kali mengaku bertemu
Latief di rumah sakit tanggal 30 september 1965. Kedua pengakuan dari
Suharto ini tidak konsekuen. Ketika di wawancara oleh jurnalis Amerika
Arnold Brackman, Suharto menyatakan bahwa kunjungan Latief ke rumah
sakit untuk mencek keadaan Suharto, karena waktu itu anaknya mengalami
luka bakar dan dirawat di rumah sakit. Ketika setelah itu Suharto
diwawancara oleh Der Spiegel,
Suharto menyatakan bahwa Latief ke rumah sakit untuk membunuhnya,
tetapi kemudian Latif hilang nyali. Menurut Anderson, pada wawancara
pertama, Suharto tidak terus terang dan pada wawancara kedua Suharto
bohong.
Untuk memperkuat teorinya Anderson menyebutkan beberapa bukti yang
tidak langsung bahwa Suharto terlibat dalam gerakan 30 september.
Bukti-bukti ini antara lain:
- Hampir semua tokoh militer yang berpartisipasi dalam gerakan 30 september adalah bawahan dekat Suharto. Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief, dan Brigadir Jenderal Supardjo di Jakarta dan Kolonel Suherman, Major Usman, dan rekan-rekannya dari divisi Diponegoro di Semarang.
- Hubungan Suharto khususnya dekat dengan Untung dan Latief. Sangat dekat dilihat dari fakta bahwa mereka saling mengunjungi satu sama lainnya dalam hubungan keluarga, seperti pernikahan Untung dan perayaan sunat anak-anak mereka.
- Dua jenderal yang mempunyai kekuasaan komando atas tentara di Jakarta (dengan pengecualian Tjakrabirawa, yang melaksanakan Gerakan 30 September) adalah Suharto dan Umar Wirahadikusumah, komando militer Jakarta. Dua tokoh ini tidak diculik dan dibunuh oleh Gerakan 30 September, dan memang dua tokoh ini bukan target dari Gerakan 30 September.
- Pada waktu penculikan dan pembunuhan sedang direncanakan, Suharto yang waktu itu mengepalai Kostrad, menunjukkan gelagat yang mendua. Suharto mengetahui informasi rahasia tentang masalah Konfrontasi dengan Malaysia. Anak buahnya, Ali Murtopo, kepala badan intelijen, aktif berhubungan dan memberikan informasi kepada negara konflik Malaysia, Singapore, Inggris, dan Amerika Serikat. Operasi ini dilaksanakan oleh Benny Moerdani dari Thailand. Moerdani kemudian diangkat jadi kepala intelijen di pemerintahan Suharto.
Teori Anderson didasarkan pada penyelidikan yang cermat. Meskipun
demikian masih ada hal-hal yang dipertanyakan. Bila benar Suharto
mengetahui akan terjadinya Gerakan 30 September, ini membuka beberapa
kemungkinan:
- Suharto terlibat langsung dalam Gerakan 30 September dan setelah itu berkhianat
- Suharto terlibat sebagai spion yang bekerja untuk Dewan Jenderal,
- Suharto tidak tertarik untuk melibatkan dirinya di dalam konflik militer antara Dewan Jenderal dan Gerakan 30 September.
Tanggapan Indonesia
Pada tahun 1966, Nugroho Notosusanto
dari Pusat Sejarah TNI menerbitkan versi resmi Indonesia yang pertama
tentang Gerakan 30 September. Versi ini sebagian besarnya adalah
rangkuman dari versi propaganda militer untuk membuktikan bahwa upaya kudeta itu didalangi oleh komunis.[6]
Pada tahun 1967, Guy Pauker, seorang analis masalah Indonesia dari Rand
Corporation menginformasikan militer akan keberadaan “Cornell Paper”
dan teori yang dipaparkannya. Menurut Katharine E. McGregor, ilmuwan
dari Universitas Melbourne, RAND Corporation membantu aktif pemerintah
Orde Baru untuk mempertahankan versi pemerintah dan membuat versi itu
legitim.[7]
Bekerja sama dengan Letnan Kolonel Ismail Saleh
dan Pauker, Nugroho membuat versi bahasa Inggris dari versi militer
atas Gerakan 30 September dengan bertujuan untuk dibawa dalam kunjungan
ke California pada tahun 1967. Kata pengantar dari paper ini menyatakan
bahwa "versi ini ditulis untuk menjawab kampanye yang dilancarkan oleh
aliran tertentu dari Barat yang menentang pemerintah Orde Baru." Tulisan
Nugroho ini berargumentasi bahwa internal militer tidak terlibat dalam
usaha kudeta. Pernyataan ini didasarkan oleh kesaksian dari
angota-anggota PKI sewaktu pengadilan militer.[8]
Ketika Kahin mengunjungi Indonesia pada bulan Juni tahun 1967, ia
bertemu dengan seorang anggota badan intelijen yang bertanggung jawab
atas interogasi orang-orang yang terpidana politik. Pejabat ini juga
mengkoordinasi pembuatan versi pemerintah Orde Baru. Kahin mengajukan
permintaan untuk mendapatkan dokumentasi-dokumentasi yang relevan atas
usaha kudeta dengan tujuan agar dapat membuat laporan yang lebih lengkap
dan ilmiah tentang Gerakan 30 September.[9]
Kahin mengajukan permintaan yang sama kepada jaksa penuntut umum Kabul
Arifin. Kedua pejabat ini menjanjikan akan memenuhi permintaan Kahin
untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang akan melengkapi sumber informasi
atas Gerakan 30 September. Tetapi dokumen-dokumen itu tidak pernah
diberikan. Kahin mengajukan permohonan baru di tahun 1971. Ini juga
tidak dipenuhi. Setelah permohonan tidak dipenuhi, Cornell Modern
Indonesia Project menerbitkan karya Anderson and McVey di tahun yang
sama, tanpa input dari pemerintah Orde Baru.
Menurut Kahin permohonannya kepada dua pejabat itu tidak
diperpolehkan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pemerintah Indonesia
berusaha untuk meyakinkan Anderson untuk merevisi papernya supaya cocok
dengan versi pemerintah yang dikeluarkan oleh Suharto dan anak buahnya
sewaktu kunjungan di tahun 1967 dan 1968. Tetapi Anderson mempertanyakan
akurasi dan kredibilitas dari versi pemerintah.[10]
Di bulan oktober tahun 1975, sepuluh tahun setelah kejadian dan
setelah Suharto menjadi presiden, pemerintah Indonesia mengirim delegasi
yang terdiri dari militer dan intelektual, dipimpin oleh Ali Murtopo dan Benny Moerdani,
yang bertujuan untuk menyajikan uraian lengkap dari usaha kudeta dan
apa yang terjadi setelah itu. Dalam pertemuan tertutup dengan Kahin,
Anderson, McVey, dan Bunnell, delegasi Indonesia menjanjikan akan
memberikan dokumen-dokumen yang diminta setelah delapan tahun,
selekasnya setelah delegasi kembali ke Jakarta.
Pada tanggal 27 November tahun 1976, suatu delegasi yang dipimpin
oleh Murdani membawa lebih dari 100 kilogram dokumen-dokumen dari
pengadilan arsip tentang adanya konspirasi kudeta, tetapi tidak satupun
dokumen yang diminta oleh ilmuwan-ilmuwan Cornell itu dibawa oleh
delegasi Indonesia.[11]
Sebagai tanggapan dari pemerintah Indonesia atas permohonan Kahin
yang gigih dan perlawanan Anderson akan versi pemerintah, pemerintah
Indonesia kemudian mencantumkan kedua ilmuwan ini ke dalam daftar hitam dan menjatuhkan larangan untuk masuk ke Indonesia. Kahin diijinkan untuk mengunjungi Indonesia lagi di tahun 1991 [11], sedangkan Anderson baru diijinkan masuk ke Indonesia di tahun 1999, setelah Suharto jatuh.[10]
Publikasi
Pada saat publikasinya Anderson dan McVey memberikan komentar sebaga berikut.
Kami berpendapat bahwa penerbitan dari interpretasi kejadian ini penting walaupun pada saat penerbitannya masih belum lengkap. Ini penting karena teori kami atas siapa yang bertanggung jawab atas kudeta ini belum pernah disingkapkan sebelumnya. Dan kami akan sangat menyesalkan bila kami menunggu sampai teori kami selesai, oknum-oknum yang bertanggung jawab akan terhapus selamanya di atas pasir sejarah.—Benedict Richard O'Gorman Anderson and Ruth Thomas McVey, "Memorandum", A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia
(sumber: Wikipedia.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar