Papua Barat sekarang adalah nama yang digunakan oleh para pendukung
kemerdekaan wilayah tersebut guna menyebut dua provinsi ujung timur
Indonesia yang berbatasan dengan Papua Nugini. Secara
administratif kawasan pegunungan ini terdiri dari Provinsi Papua dan
Papua Barat dan menjadi rumah bagi sekitar 250 suku dari golongan etnis
Melanesia. Gerakan separatis di Papua Barat masih menjadi isu sensitif bagi Indonesia. Berikut lima hal yang perlu anda ketahui untuk melihat apa yang terjadi di kawasan tersebut.
Melihat kembali sejarah Papua Barat
Daerah
bekas jajahan Belanda, yang sebelumnya disebut sebagai Irian Jaya,
sebenarnya bersiap untuk memerdekakan diri sebelum Indonesia menyebut
bagian ini sebagai wilayahnya di tahun 1962.
Papua
Barat secara resmi dinyatakan sebagai wilayah Indonesia setelah adanya
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di tahun 1969 - sebuah referendum
yang diawasi pelaksanaannya oleh PBB.
Ketika
itu, sekitar 1.026 warga Papua dipilih sebagai perwakilan untuk
menentukan apakah wilayah itu akan tetap bersama Republik Indonesia.
Setelah itu, di kawasan tersebut
terjadi bentrokan senjata dan tindak kekerasan antara aparat keamanan
Indonesia dengan pendukung pro-kemerdekaan.
Papua Barat adalah salah satu propinsi termiskin di Indonesia meskipun memiliki kekayaan mineral salah satu terbesar di dunia.
Menurut
Australian Institute of Internatonal Affairs, tingkat kemiskinan di
Papua Barat tiga kali lebih tinggi dari angka rerata di Indonesia.
Apa yang terjadi baru-baru ini?
Bulan
Juni lalu, sebuah koalisi organisasi Papua Barat disetujui menjadi
pengamat dalam kelompok bernama Melanesia Spearhead Group (MSG), sebuah
blok regional yang meliputi Fiji, Vanuatu, Papua New Guinea, and Solomon
Islands.
Kelompok
bernama The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengajukan
diri menjadi anggota penuh, dengan harapan gerakan mereka akan mendapat
pengakuan lebih tinggi.
AnggotaULMWP yang menghadiri KTT tersebut di Honiara menyambut keputusan MSG sebagai langkah bersejarah bagi Papua Barat.
Paula
Makabory berasal dari Koalisi Nasional Pembebasan Papua Barat (West
Papua National Coalition of Liberation) salah satu organisasi perlawanan
yang bekerja berdampingan dengan ULMWP.
Dia
mengatakan kepada ABC bahwa mereka akan terus berusaha menjadi anggota
MSG karena 'kami adalah bagian dari keluarga Melanesia'.
"Kami bukan Asia. Secara geografis, secara kultur kami adalah Melanesian," kata Makabory.
"Bagi
saya di dalam MSG, meskipun hanya sebagai pengamat, adalah kesempatan
untuk berada di sana juga untuk berbicara dengan Indonesia, karena kami
sudah mendorong Indonesia bagi adanya perundingan yang damai,"
tambahnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Para
pemimpin MSG memutuskan menerima Indonesia sebagai anggota sehingga
membuka jalan bagi kerjasama yang lebih kuat antara Jakarta dan
negara-negara Melanesia.
Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama mengatakan kedaulatan Indonesia atas Papua Barat "Tidak bisa dipertanyakan lagi".
"Provinsi
itu adalah bagian integral dari Indonesia, sehingga ketika kami
berbicara mengenai Papua Barat dan penduduknya, MSG tidak memiliki
pilihan kecuali berhubungan dengan Indonesia, dalam bentuk yang positif
dan konstruktif," katanya.
Sade Bimantara, juru bicara KBRI di
Canberra mengatakan ada 11 juta warga Indonesia keturunan Melanesia
yang tersebar di lima provinsi di bagian timur Indonesia.
"Keangggotaan
Indonesia' di MSG akan membuka dan memperkuat koneksi antara warga
Indonesia dan saudara-saudara Melanesia di Pasifik Selatan." katanya.
Sejak
tahun 1998, Bimantara mengatakan usaha sudah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Indonesia
khususnya di Papua.
Lembaga
Human Rights Watch mengatakan bahwa perilaku militer Indonesia di Papua
menjadi salah satu faktor yang menciptakan perasaan antipati warga Papua
terhadap pemerintah.
Apakah Ada Perubahan Situasi di Papua?
Pengamat
politik di Indonesia mengatakan Presiden Joko Widodo, berbeda dengan
pendahulunya, berusaha membawa pendekatan berbeda soal Papua Barat.
"Pemerintahan
Jokowi berusaha meningkatkan situasi hak asasi manusia, perekonomian
dan juga kondisi keamanan di Papua." kata Dr Ikrar Nusa Bhakti dari
LIPI.
"Jokowi sudah mengunjungi Papua
empat kali, dan menjadi presiden Indonesia pertama yang memberikan
perhatian dan waktunya untuk mengurusi Papua."
Selama
kunjungannya bulan Mei lalu, Presiden Jokowi memberikan pengampuan
kepada lima tahanan politik Papua sebagai bagian dari 'usaha pemerintah
menghilangkan stigma bahwa Papua adalah daerah konflik."
Dia juga mengumumkan pembatasan kunjungan media asing ke kawasan itu dicabut.
Dalam situasi keamanan, juru bicara KBRI Sade Bimantara mengatakan masih banyak tantangannya. "Kekerasan
yang terhadap di kedua belah pihak, baik terhadap penduduk sipil,
individu dan kelompok separatis bersenjata juga terhadap pasukan
keamanan," katanya.
"Ketika
terjadi pelanggaran, polisi harus bertindak, dan bila diperlukan
misalnya membubarkan massa, ini dilakukan sesuatu dengan peraturan
bagaimana menangani massa," ujar Sade Bimantara.
"Tuduhan adanya pelanggaran yang dilakukan pasukan keamanan selalu ditanggapi dengan serius oleh pemerintah Indonesia," katanya.
Apa yang selanjutnya akan terjadi?
Pegiat
hak asasi Paula Makabory mengatakan dia meragukan bahwa pemerintah
Indonesia akan menepati janji untuk menyelesaikan masalah Papua Barat.
"Tidaklah
mengejutkan bagi saya untuk melihat Jokowi menjanjikan semua ini, sama
seperti yang sebelumnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan yang
lain," katanya.
Makabory mengatakan kelompoknya akan terus melanjutkan kerja mereka bagi penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.
"Untuk mendapatkan kemerdekaan. itulah tujuannya." katanya. "Kami memerlukan referendum yang benar sehingga warga bisa memilih. Ini bukan keputusan saya."
Ia
menambahkan, "Saya akan senang bisa hidup di negeri sendiri, di tanah
sendiri, di tanah nenek moyang saya, yang perlu dijaga bagi generasi
berikutnya."
Juru bicara KBRI di Canberra mengatakan tidak ada pemungutan suara lagi yang bakal terjadi. "Tidak ada referendum yang direncanakan dan akan direncanakan untuk Papua Barat," tegas Bimantara.
"Di
tahun 1969, pemerintah Indonesia, Belanda, PBB dan anggotanya, dan yang
terpenting warga Papua Barat mengukuhkan lagi bahwa Papua Barat adalah
bagian tidak terpisahkan dari Indonesia," katanya.
Australia
sendiri mengakui kedaulatan penuh Indonesia atas Papua, seperti
tercantum dalam Perjanjian Lombok tahun 2006 antara Indonesia dan
Australia. Kedaulatan Indonesia atas wilayah ini juga diakui secara luas oleh dunia internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar