Photo Antara |
TEMPO.CO, Jakarta–Taufik alias Opik, 37 tahun, sibuk mengamati para pedagang yang mendaftar untuk mendapatkan kios di Blok G Pasar Tanah Abang,
Jakarta Pusat. "Yang ini pedagang di Kebon Kacang, yang ini saya tidak
tahu," katanya kepada Tempo sambil memperhatikan satu per satu berkas
pendaftar di kantor Kecamatan Tanah Abang, Jumat pekan lalu. "Saya sudah
hafal nama, wajah, dan alamat PKL."
Taufik adalah satu dari puluhan "anak wilayah" di Pasar Tanah Abang
yang berperan dalam proses verifikasi. Lelaki yang mengenakan baju koko
ini tahu betul siapa-siapa PKL di sepanjang Jalan K.H. Mas Mansyur
sampai Pasar Jati. Namun Taufik menolak dikatakan sebagai anak wilayah.
"Itu maknanya terlalu luas," ujarnya. Dia lebih setuju disebut sebagai
pedagang yang telah turun-temurun berjualan di Tanah Abang.
"Anak wilayah" lainnya, Aris, 45 tahun, mengaku pasrah karena
sekarang jasa keamanan yang dia jual kepada PKL tak laku lagi. "Dulu
pendapatan saya sampai Rp 2 juta sebulan," kata mantan preman Tanah
Abang yang mengurus sekitar 40 PKL ini.
Aris mengatakan tidak ada paksaan setiap kali memungut uang dari para
pedagang. "Istilahnya suka sama suka," ujarnya. "Tapi kadang kami
negosiasi. Kalau pedagang mampu membayar Rp 200 ribu per hari, ditawar
jadi Rp 300 ribu. Mereka mau." Sama seperti Taufik, Aris juga tahu betul
mana PKL Tanah Abang dan mana yang bukan.
Camat Tanah Abang, Hidayatullah, mengatakan pemerintah sengaja
merangkul 75 "anak wilayah" dalam proses penyaringan pedagang Blok G
karena merekalah yang tahu betul PKL yang berjualan di Tanah Abang.
"Sekaligus agar anak wilayah ini tak mengajak para PKL untuk kembali
turun ke jalan," ujarnya. Pendekatan kepada mereka, menurut
Hidayatullah, dilakukan sejak awal Juli lalu.
Meski sudah didekati, toh upaya pembongkaran lapak PKL di Blok F
beberapa hari setelah Lebaran berlangsung ricuh. Sejumlah anak wilayah
menyerang petugas. Setelah itu, dilakukan pendekatan lagi sampai
dituangkan dalam surat perjanjian. "Nantinya, anak wilayah itu akan
menjadi petugas keamanan," kata Hidayatullah.
Dalam wawancara dengan Tempo, dua pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan
membenahi PKL di Tanah Abang tak sesulit di Solo. "Dulu sampai tujuh
bulan dengan 54 kali pertemuan, tapi ini tidak sampai 10 kali," katanya.
Mantan Wali Kota Solo itu memerintahkan Wali Kota Jakarta Pusat
Saefullah bernegosiasi dengan mereka yang punya kepentingan di Tanah
Abang. "Kalau mentok, baru ke saya."
Ihwal penertiban PKL Tanah Abang, mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo
berharap agar langkah itu tak berhenti. "Saya doakan mudah-mudahan
langgeng," ujarnya. Menurut Fauzi, PKL memang harus ditertibkan dari
jalan karena mengakibatkan kemacetan lalu lintas.
Belum juga PKL resmi berjualan di Blok G pada 1 September nanti,
sejumlah bekas PKL Tanah Abang menyatakan bakal nekat berjualan di jalan
jika tak mendapat kios. "Saya mau dagang lagi di Jalan Kebon Jati,"
kata Iwan, 30 tahun, pedagang jilbab di Tanah Abang sejak 2004. Dia
mengaku tak takut digaruk petugas dan disidang karena melanggar aturan.
"Bukan cuma saya kok, teman-teman yang lain juga mau nekat sebagai
bentuk protes."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar