Kamis, 01 Agustus 2013

Syiah Indonesia: Minoritas yang terhempas dan kandas

Ramadan tahun ini menjadi bulan puasa kedua di penampungan bagi sekitar 200 orang Muslim Syiah di Jawa Timur. Terusir dari kampung halaman sejak 2012 setelah ratusan orang menyerbu dan membakar dusun mereka di Sampang, Madura, para jamaah ini kini menetap di sebuah rumah susun di kota Sidoarjo.
Hidup di pengungsian tercabut dari akar dan norma-norma sosial, waktu bagi mereka tak lagi punya harga, atau dalam istilah Buya Hamka "hidup yang sekedar hidup." Manusia tidak hanya membutuhkan sandang, pangan dan papan tapi juga interaksi, sosialisasi dan aktualisasi diri.

Tanpa pekerjaan atau pemasukan, rutinitas mereka hanya terdiri dari tidur, beribadah dan makan. Mereka merasa dilupakan dan ditelantarkan oleh negara, beruntung masih ada segelintir individu yang budi baiknya menjadi bara.
Situasi serupa juga dirasakan oleh warga Ahmadiyah Lombok yang sudah tujuh tahun hidup di pengungsian di Asrama Transito.
sampangRumah warga di Dusun Nangkernang di bakar massa pada 2012
Asrama itu menjadi rumah bagi 40 keluarga sejak marak kekerasan terhadap Ahmadiyah di Ketapang, Lombok Barat. Tidak ada bantuan atau perhatian negara terhadap mereka dan warga bertahan hidup dengan bekerja serabutan.
Kondisi ini menjadi ironis karena terjadi di negara dengan semboyan berbeda-beda tapi satu dan kepala negaranya mendapat penghargaan internasional karena dinilai mampu merawat toleransi beragama.
Bagi komunitas Syiah, ada secercah harapan yang bisa dijadikan penyemangat yaitu janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengupayakan mereka bisa kembali ke desa. Namun belum ada titik terang bagi jamaah Ahmadiyah yang terkatung-katung di Lombok.
Bagi mereka masa depan adalah pulang ke kampung dan hidup berdampingan dalam damai dengan warga sekitar tanpa terbelah oleh perdebatan apakah alif itu lurus atau bengkok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar