Merdeka.com - Tokoh militer dianggap punya ketegasan memimpin. Tetapi bagi Jenderal
Wiranto, tidak semua petinggi tentara memiliki sikap semacam itu. Menurut
ketua umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) ini, pemimpin harus
mempunyai pengalaman, bukan hanya ketegasan atau pengetahuan mumpuni.
Kita butuh pemimpin ke depan tidak untung-untungan lagi, tidak spekulasi
lagi, karena taruhannya pemerintah, negara dan rakyat, kata Wiranto
kepada merdeka.com di kantor Dewan Pimpinan Pusat Hanura akhir bulan
lalu.
Berikut penuturan Wiranto kepada Arbi Sumandoyo, Alwan Ridha Ramdani, Faisal Assegaf, serta juru foto Muhammad Luthfi Rahman.
Kalau visi dan misi itu bisa diperdebatkan. Apa kelebihan Anda secara kepribadian?
Sebaiknya saya tanya kepada Anda. Jangan Anda tanya kepada saya. Kalau jujur, Anda bisa membandingkan. Saya sangat sulit menjelaskan karena nanti bisa berbau kesombongan. Kalau saya menjawab, orang sudah berprasangka, sudah bias.
Tapi marilah ke tolak ukur, yakni pemimpin akan membawa Indonesia bisa eksis dan menang pada persaingan global. Kalau keunggulan komperatif sudah begitu tinggi, seharusnya juga unggul kompetitif. Kenyataannya kita unggul secara komperatif, SDM besar, sumber daya alam besar, budaya tinggi, etos kerja lumayan, tapi kenapa dalam setiap penilaian lembaga internasional kita pada umumnya cukup memprihatinkan.
Indeks perkembangan manusia kita memprihatinkan. Negara paling berutang, kita masuk di dalamnya. Persaingan di Asean saja kita bukan negara utama. Ini semua membuat kita prihatin. Maka kita butuh pemimpin ke depan tidak untung-untungan lagi, tidak spekulasi lagi, karena taruhannya pemerintah, negara, dan rakyat.
Pemimpin ke depan sebaiknya punya pengalaman. Anda bandingkan pengalaman saya dengan yang lain. Punya pengetahuan, ukurannya apa? pendidikan, sekolah, ukuranya apa? diploma, yang bisa dibandingkan. Mempunyai perilaku baik, bisa dibandingkan. Perilaku menyangkut bagaimana keluarganya, mendidik anak-anaknya, dan punya kecerdasan spiritual. Bagaimana kekuatan spiritual kepada Tuhan Maha Kuasa, perilaku sehari hari.
Saya hanya bisa memberikan satu acuan untuk Anda membandingkan dengan yang lain. Sekarang silakan membandingkan. Kalau Pak Wiranto dianggap pengalamannya cukup, terima kasih. Saya juga secara ilmu pengetahuan terus mengejar karena pengetahuan bagian dari kebijakan.
Sekarang saya masih ikut kuliah S-3 di Universitas Negeri Jakata, bukan doktor Honoris Causa. Saya tahu banyak sekali ilmu secara teoretis sangat berguna kita praktekkan sebagai pemimpin, sehingga bisa menambah bobot kebijakan. Jadi apa kelebihan saya, saya kembalikan kepada Anda. Anda menghitung-hitung sendiri.
Masyarakat kadang menilai pemimpin tegas ada di tokoh militer. Anda setuju dengan pendapat ini?
Saya tidak setuju sepenuhnya karena eks militer pun ada pembagiannya. Di militer saat akan menentukan seorang komandan pada pendidikan lebih tinggi, ada psikotes, Hanya akan menjurus kepada apakah orang ini mempunyai talenta sebagai komandan atau staf. Itu sangat dipercayai oleh angkatan darat. Kalau komandan, dia memang cerdas, bersedia ambil risiko atas keputusan. Kalau staf, ya memang di staf.
Anda punya tawaran lain?
Tawarannya adalah acuan: punya pengalaman, pengetahuan, perilaku tegas, punya perilaku bagus. Ketegasan ada di sana. Tegas tapi tidak punya pengalaman, mana bisa. Orang tegas tapi punya pengalaman, kalau ngawur nanti bagaimana.
Orang tegas secara teori, ada kaidah-kaidah dia langgar bagaimana? Jadi harus ada kelengkapan pemimpin ke depan, yakni memiliki pengalaman, pengetahuan, perilaku terpuji, dan kecerdasan spiritual.
Anda akan kompromi jalan tengah dari pada ribut ribut?
Nggak bisa, saya tidak setuju. Karena ini urusan negara, kualitas pemimpin Indonesia ke depan tidak bisa dikompromikan. Taruhannya hidup mati bangsa Indonesia. Anda mengkompromikan kualitas pemimpin sama saja menjual negara ini kepada orang lain. Ketemu nanti pemimpin tidak berguna, negeri ini akan hancur-hancuran.
Apa yang akan anda lakukan bila yang terpilih pemimpin tidak berkualitas?
Kemarin saya tidak bersikap apa-apa, saya berjuang terus. 2004, saya tidak berhasil, hasilnya negara kaya apa? Saya tidak berontak. Saya bikin partai baik-baik, membesarkan partai, dan berjuang dalam koridor konstitusional. Kalau saya berontak, saya tidak akan bikin partai politik.
Artinya begini, perih saja, prihatin, dan sedih. Karena kebetulan saya tidak mengklaim saya paling hebat, kebetulan tahu masalah. Orang sudah mengawal tiga presiden, melihat negara dari atas, ikut mengatur, paling tidak punya pengalaman, pengetahuan, bagaimana negara ini diatur seharusnya.
Misalkan Anda gagal lagi, Anda akan pensiun dari politik?
Saya bukan kemudian menolak pertanyaan Anda, tapi saya belum berpikir ke arah sana. Akan banyak cara mencari satu perjuangan berbeda. Tapi yang saya pikir sekarang harus menang, harus menang, dan harus menang. Jadi kalau kalah nanti, saya beberapa kali kalah gampang saja hidup saya. Tidak pernah surut saya.
Berikut penuturan Wiranto kepada Arbi Sumandoyo, Alwan Ridha Ramdani, Faisal Assegaf, serta juru foto Muhammad Luthfi Rahman.
Kalau visi dan misi itu bisa diperdebatkan. Apa kelebihan Anda secara kepribadian?
Sebaiknya saya tanya kepada Anda. Jangan Anda tanya kepada saya. Kalau jujur, Anda bisa membandingkan. Saya sangat sulit menjelaskan karena nanti bisa berbau kesombongan. Kalau saya menjawab, orang sudah berprasangka, sudah bias.
Tapi marilah ke tolak ukur, yakni pemimpin akan membawa Indonesia bisa eksis dan menang pada persaingan global. Kalau keunggulan komperatif sudah begitu tinggi, seharusnya juga unggul kompetitif. Kenyataannya kita unggul secara komperatif, SDM besar, sumber daya alam besar, budaya tinggi, etos kerja lumayan, tapi kenapa dalam setiap penilaian lembaga internasional kita pada umumnya cukup memprihatinkan.
Indeks perkembangan manusia kita memprihatinkan. Negara paling berutang, kita masuk di dalamnya. Persaingan di Asean saja kita bukan negara utama. Ini semua membuat kita prihatin. Maka kita butuh pemimpin ke depan tidak untung-untungan lagi, tidak spekulasi lagi, karena taruhannya pemerintah, negara, dan rakyat.
Pemimpin ke depan sebaiknya punya pengalaman. Anda bandingkan pengalaman saya dengan yang lain. Punya pengetahuan, ukurannya apa? pendidikan, sekolah, ukuranya apa? diploma, yang bisa dibandingkan. Mempunyai perilaku baik, bisa dibandingkan. Perilaku menyangkut bagaimana keluarganya, mendidik anak-anaknya, dan punya kecerdasan spiritual. Bagaimana kekuatan spiritual kepada Tuhan Maha Kuasa, perilaku sehari hari.
Saya hanya bisa memberikan satu acuan untuk Anda membandingkan dengan yang lain. Sekarang silakan membandingkan. Kalau Pak Wiranto dianggap pengalamannya cukup, terima kasih. Saya juga secara ilmu pengetahuan terus mengejar karena pengetahuan bagian dari kebijakan.
Sekarang saya masih ikut kuliah S-3 di Universitas Negeri Jakata, bukan doktor Honoris Causa. Saya tahu banyak sekali ilmu secara teoretis sangat berguna kita praktekkan sebagai pemimpin, sehingga bisa menambah bobot kebijakan. Jadi apa kelebihan saya, saya kembalikan kepada Anda. Anda menghitung-hitung sendiri.
Masyarakat kadang menilai pemimpin tegas ada di tokoh militer. Anda setuju dengan pendapat ini?
Saya tidak setuju sepenuhnya karena eks militer pun ada pembagiannya. Di militer saat akan menentukan seorang komandan pada pendidikan lebih tinggi, ada psikotes, Hanya akan menjurus kepada apakah orang ini mempunyai talenta sebagai komandan atau staf. Itu sangat dipercayai oleh angkatan darat. Kalau komandan, dia memang cerdas, bersedia ambil risiko atas keputusan. Kalau staf, ya memang di staf.
Anda punya tawaran lain?
Tawarannya adalah acuan: punya pengalaman, pengetahuan, perilaku tegas, punya perilaku bagus. Ketegasan ada di sana. Tegas tapi tidak punya pengalaman, mana bisa. Orang tegas tapi punya pengalaman, kalau ngawur nanti bagaimana.
Orang tegas secara teori, ada kaidah-kaidah dia langgar bagaimana? Jadi harus ada kelengkapan pemimpin ke depan, yakni memiliki pengalaman, pengetahuan, perilaku terpuji, dan kecerdasan spiritual.
Anda akan kompromi jalan tengah dari pada ribut ribut?
Nggak bisa, saya tidak setuju. Karena ini urusan negara, kualitas pemimpin Indonesia ke depan tidak bisa dikompromikan. Taruhannya hidup mati bangsa Indonesia. Anda mengkompromikan kualitas pemimpin sama saja menjual negara ini kepada orang lain. Ketemu nanti pemimpin tidak berguna, negeri ini akan hancur-hancuran.
Apa yang akan anda lakukan bila yang terpilih pemimpin tidak berkualitas?
Kemarin saya tidak bersikap apa-apa, saya berjuang terus. 2004, saya tidak berhasil, hasilnya negara kaya apa? Saya tidak berontak. Saya bikin partai baik-baik, membesarkan partai, dan berjuang dalam koridor konstitusional. Kalau saya berontak, saya tidak akan bikin partai politik.
Artinya begini, perih saja, prihatin, dan sedih. Karena kebetulan saya tidak mengklaim saya paling hebat, kebetulan tahu masalah. Orang sudah mengawal tiga presiden, melihat negara dari atas, ikut mengatur, paling tidak punya pengalaman, pengetahuan, bagaimana negara ini diatur seharusnya.
Misalkan Anda gagal lagi, Anda akan pensiun dari politik?
Saya bukan kemudian menolak pertanyaan Anda, tapi saya belum berpikir ke arah sana. Akan banyak cara mencari satu perjuangan berbeda. Tapi yang saya pikir sekarang harus menang, harus menang, dan harus menang. Jadi kalau kalah nanti, saya beberapa kali kalah gampang saja hidup saya. Tidak pernah surut saya.
[fas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar