Tidak banyak tempat hiburan di Banda
Aceh selain warung kopi yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat makan
dan minum tapi juga bersosialisasi dan berselancar di internet. Namun
kehadiran warung-warung kopi ini dikhawatirkan berdamptak negatif.
Kedai-kedai
itu menyediakan aneka minuman, penganan dan juga makanan. Dengan
Rp15.000, pengunjung bisa menyeruput satu cangkir kopi dan lima potong
kue. Bila mau makan nasi lengkap dengan lauk diperlukan Rp10.000. Yang
gratis adalah layanan internet wifi. Jadi pengunjung kafe bisa duduk
berjam-jam sambil menjelajahi dunia maya di sana tanpa dikenakan biaya
selain membayar apa yang dimakan dan diminum.
Orang Aceh, kata
ahli sosiologi dari Universitas Syah Kuala, Profesor Bahrein T Sugihen,
memang sudah terbiasa nongkrong di kedai kopi sejak dulu.
Tetapi
frekuensinya mungkin tidak sesering beberapa tahun belakangan dengan
jumlah kafe yang menjamur pasca tragedi gempa dan tsunami 26 Desember
2004 ketika banyak orang dari luar Aceh, terutama dari luar Indonesia
berdatangan untuk membantu program rekonstruksi dan rehabilitasi.
Di satu sisi bantuan dalam negeri maupun internasional mampu
membangun kembali Aceh dari puing-puing kehancuran tsunami, bahkan mampu
membangun lebih baik, sumbangan itu menimbulkan ketergantungan.
“Kita
sudah selesai menadahkan tangan atas bantuan jadi hidup harus kembali
berjalan normal dan kita bisa melanjutkan kehidupan, ekonomi dan
lain-lain dengan berdiri dengan kaki kita sendiri. Tetapi sampai hari
ini masyarakat masih ada ketergantungan-ketergantungan pada bantuan
itu,” papar Uzair, seorang wartawan senior di Banda Aceh.
Atas
timbulnya masalah-masalah sosial, sejumlah kalangan menyerukan agar
syariah Islam diterapkan secara lebih ketat di provinsi dengan status
khusus ini.
Kepala Dinas Syariah Islam Aceh Profesor Syahrizal menuturkan penerapan syariah Islam dengan baik akan bisa mengatasi banyak persoalan, termasuk masalah sosial.
Tsunami
merupakan peristiwa yang membuat masyarakat Aceh berubah. Selain efek
negatif dari keterbukaan dan pembangunan di bagian atas, sebagian
penduduk Aceh lebih taat menjalankan ajaran agama atas landasan
keyakinan bahwa di Aceh banyak orang berdosa maka bala ditimpakan ke
Aceh melalui tsunami.
“Yang kita inginkan bahwa 10 tahun tsunami
ini, bukan saja Aceh membangun dari segi fisik infrastruktur tapi yang
paling penting ialah bagaimana Aceh bisa membangun dirinya dengan
membangun jiwa-jiwa masyarakatnya,” kata Mujiburrizal, seorang tokoh
masyarakat Desa Lampulo, Banda Aceh.
Syariah Islam diberlakukan di
Aceh sebagai kelanjutan nota kesepahaman perdamaian antara Gerakan Aceh
Merdeka dan pemerintah Indonesia. Namun penerapan syariah tersebut
acapkali dianggap berlebihan dan kaku sehingga menimbulkan kekhawatiran
bagi orang luar Aceh untuk membuka usaha, misalnya.
Dalam upacara
puncak peringatan 10 tahun tsunami di Banda Aceh, Jumat (26/12),
Gubernur Zaini Abdullah di hadapan perwakilan 35 negara donor sampai
perlu menegaskan bahwa Syariah Islam hanya berlaku bagi warga Muslim.
'Ibarat angin'
Sebagian
kalangan, termasuk ulama dan politikus tokoh, khawatir kehadiran
kafe-kafe itu menimbulkan persoalan negatif yang sulit dibendung,
walaupun di kafe-kafe juga terlihat diskusi hangat atau pembicaraan
bisnis.
Di antara contoh yang disebutkan adalah hubungan bebas dan
konsumsi narkoba. Fenomena ini bukan khas Aceh saja tetapi umum terjadi
di kota-kota lain. Bedanya, di Aceh hal-hal itu mungkin baru mencuat
belakangan ketika tercipta perdamaian dan ketika Aceh terbuka pasca
musibah 2004.
"Perubahan ini tidak mungkin kita stop, dia seperti
air mengalir. Dia hanya bisa dibendung, kalau dibendung kuat, dia akan
loncat lewat bendungan. Kalau air lewat, tepiannya akan tergerus.
Maknanya apa? Korbannya kita,” kata sosiolog dari Universitas Syah Kuala
Profesor Bahrein T Sugihen.
Salah satu fasilitas hiburan yang
tidak ada di Aceh adalah gedung bioskop dan kafe dengan hiburan musik.
Tidak heran jika anak-anak muda memilih berlama-lama di warung kopi yang
menyediakan fasilitas wifi. Tetapi bagi seorang anak muda, Wildan Iena
Yuwa, hal yang memprihatinkan justru bukan kekhawatiran akan ancaman
tergerusnya moral melainkan tatanan sosial yang luntur.
“Kalau
orang-orang zaman dulu kalau ada sesuatu masalah, bantuannya erat.
Saling tolong menolong. Tapi kalau sekarang, nafsi-nafsi atau
sendiri-sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa dengan adanya bantuan
yang datang,” tuturnya. (BBC Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar