Sabtu, 27 Desember 2014

Rekonstruksi Aceh dan Warung Kopi

Tidak banyak tempat hiburan di Banda Aceh selain warung kopi yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat makan dan minum tapi juga bersosialisasi dan berselancar di internet. Namun kehadiran warung-warung kopi ini dikhawatirkan berdamptak negatif.




Kedai-kedai itu menyediakan aneka minuman, penganan dan juga makanan. Dengan Rp15.000, pengunjung bisa menyeruput satu cangkir kopi dan lima potong kue. Bila mau makan nasi lengkap dengan lauk diperlukan Rp10.000. Yang gratis adalah layanan internet wifi. Jadi pengunjung kafe bisa duduk berjam-jam sambil menjelajahi dunia maya di sana tanpa dikenakan biaya selain membayar apa yang dimakan dan diminum.

Orang Aceh, kata ahli sosiologi dari Universitas Syah Kuala, Profesor Bahrein T Sugihen, memang sudah terbiasa nongkrong di kedai kopi sejak dulu.

Tetapi frekuensinya mungkin tidak sesering beberapa tahun belakangan dengan jumlah kafe yang menjamur pasca tragedi gempa dan tsunami 26 Desember 2004 ketika banyak orang dari luar Aceh, terutama dari luar Indonesia berdatangan untuk membantu program rekonstruksi dan rehabilitasi.

Di satu sisi bantuan dalam negeri maupun internasional mampu membangun kembali Aceh dari puing-puing kehancuran tsunami, bahkan mampu membangun lebih baik, sumbangan itu menimbulkan ketergantungan.

“Kita sudah selesai menadahkan tangan atas bantuan jadi hidup harus kembali berjalan normal dan kita bisa melanjutkan kehidupan, ekonomi dan lain-lain dengan berdiri dengan kaki kita sendiri. Tetapi sampai hari ini masyarakat masih ada ketergantungan-ketergantungan pada bantuan itu,” papar Uzair, seorang wartawan senior di Banda Aceh.

Atas timbulnya masalah-masalah sosial, sejumlah kalangan menyerukan agar syariah Islam diterapkan secara lebih ketat di provinsi dengan status khusus ini. Kepala Dinas Syariah Islam Aceh Profesor Syahrizal menuturkan penerapan syariah Islam dengan baik akan bisa mengatasi banyak persoalan, termasuk masalah sosial.

Tsunami merupakan peristiwa yang membuat masyarakat Aceh berubah. Selain efek negatif dari keterbukaan dan pembangunan di bagian atas, sebagian penduduk Aceh lebih taat menjalankan ajaran agama atas landasan keyakinan bahwa di Aceh banyak orang berdosa maka bala ditimpakan ke Aceh melalui tsunami.
“Yang kita inginkan bahwa 10 tahun tsunami ini, bukan saja Aceh membangun dari segi fisik infrastruktur tapi yang paling penting ialah bagaimana Aceh bisa membangun dirinya dengan membangun jiwa-jiwa masyarakatnya,” kata Mujiburrizal, seorang tokoh masyarakat Desa Lampulo, Banda Aceh.

Syariah Islam diberlakukan di Aceh sebagai kelanjutan nota kesepahaman perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia. Namun penerapan syariah tersebut acapkali dianggap berlebihan dan kaku sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi orang luar Aceh untuk membuka usaha, misalnya.

Dalam upacara puncak peringatan 10 tahun tsunami di Banda Aceh, Jumat (26/12), Gubernur Zaini Abdullah di hadapan perwakilan 35 negara donor sampai perlu menegaskan bahwa Syariah Islam hanya berlaku bagi warga Muslim.

'Ibarat angin'

Sebagian kalangan, termasuk ulama dan politikus tokoh, khawatir kehadiran kafe-kafe itu menimbulkan persoalan negatif yang sulit dibendung, walaupun di kafe-kafe juga terlihat diskusi hangat atau pembicaraan bisnis.

Di antara contoh yang disebutkan adalah hubungan bebas dan konsumsi narkoba. Fenomena ini bukan khas Aceh saja tetapi umum terjadi di kota-kota lain. Bedanya, di Aceh hal-hal itu mungkin baru mencuat belakangan ketika tercipta perdamaian dan ketika Aceh terbuka pasca musibah 2004.

"Perubahan ini tidak mungkin kita stop, dia seperti air mengalir. Dia hanya bisa dibendung, kalau dibendung kuat, dia akan loncat lewat bendungan. Kalau air lewat, tepiannya akan tergerus. Maknanya apa? Korbannya kita,” kata sosiolog dari Universitas Syah Kuala Profesor Bahrein T Sugihen.

Salah satu fasilitas hiburan yang tidak ada di Aceh adalah gedung bioskop dan kafe dengan hiburan musik. Tidak heran jika anak-anak muda memilih berlama-lama di warung kopi yang menyediakan fasilitas wifi. Tetapi bagi seorang anak muda, Wildan Iena Yuwa, hal yang memprihatinkan justru bukan kekhawatiran akan ancaman tergerusnya moral melainkan tatanan sosial yang luntur.

“Kalau orang-orang zaman dulu kalau ada sesuatu masalah, bantuannya erat. Saling tolong menolong. Tapi kalau sekarang, nafsi-nafsi atau sendiri-sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa dengan adanya bantuan yang datang,” tuturnya. (BBC Indonesia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar