Minggu, 04 Januari 2015

Kementrian Luar Negeri RI Diawal Kemerdekaan



Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Menteri Luar Neger pertama Achmad Subardjo ditunjuk oleh Presiden Soekarno, harus bekerja mulai dari nol dalam arti harus menjalankan tugas di bidang politik luar negeri tanpa ditunjang oleh aparatur atau organisasi pemerintahan dan tenaga kerja yang memadai. Hal ini berbeda dengan menteri-menteri lainnya dalam Kabinet RI yang pertama yang dapat mengambil alih organisasi yang ada yang ditinggalkan Pemerintahan Kolonial Belanda atau Jepang. Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo pada waktu itu hanya dibantu oleh dua orang tenaga wanita yaitu Herawati Diah dan Jo Abdurrachman serta beberapa pemuda. Kantor pun masih berlokasi di rumah pribadi beliau di jalan Cikini Raya no 80-82.

Rekruitmen tenaga kerja atau pegawai Kemlu baru dimulai ketika sudah mendapat kantor di jalan CIlacap no 4 yaitu menumpang di gedung Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat dua gedung tersebut. Tenaga kerja diseleksi dari mereka yang menjawab iklan yang disebarkan melalui surat-surat kabar. Selanjutnya pelaksanaan tugas sehari-hari dipimpin oleh Sudjono yang berperan sebagai Sekretaris Departemen dengan status “Pegawai Negeri TInggi”. 

Pada bulan Oktober 1945 akhirnya Kemlu mendapat kantor sendiri di jalan Pegangsaaan Timur (sekarang jalan Proklamasi). Namun Kemlu tetap belum dapat berfungsi secara penuh karena pada waktu itu RI belum mempunyai perwakilan di luar negeri, meski secara organisasi sedikit demi sedikit mulai berkembang dengan terbentuknya bagian-bagian yang melasakanakan tugas tertentu.

Pada tahun 1946, Utoyo Ramelan diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Kemlu yang pertama namun belum sempat melaksanakan tugas, beliau dikirim ke Singapura sebagai Wakil RI. Tugas Sekjen kemudian dilaksanakan oleh Pandhu Suradhiningrat selaku Pj. Sekjen. Selanjutnya menyusul agresi Belanda, pada tahun 1974, Kemlu dibentuk di Yogjakarta dan beberapa tenaga muda dikirim dari Jakarta, sementara pegawai-pegawai lain untuk sementara di bebas tugaskan. Tugas Kemlu Yogjakarta pada waktu itu lebih ditekankan pada membantu delegasi ke perundingan-perundingan dengan Belanda. Sesuai dengan politik Pemerintah untuk mendobrak isolasi dan blockade Belanda terhadap Indonesia, maka Kemlu berusaha membuka beberapa perwakilan di luar negeri. Perhatian utamanya ditujukan kepada Negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaya, Australia, Thailand, Sri Lanka, India, dan Pakistan. Di luar itu, perhatian juga ditujukan ke London dan Markas Besar PBB (masih di Lake Success, New York). Di samping itu, kepentingan Indonesia di luar negeri juga dipsatkan pada negara-negara dimana terdapat masyrakat Indonesia. Tersiarnya kemerdekaan RI telah membangkitkan rasa patriotism orang-orang Indonesia ini dan Kemlu membina hubungan dengan mereka sehingga dapat membantu perjuangan RI di luar negeri. Hubungan Kemlu dengan masyarakat Indonesia di negara-negara asing ini dapat dikatakan merupakan awal dari kegiatan Kemlu di luar negeri.

Setelah dicapai perjanjian Roem-Royen, pegawai-pegawai Kemlu yang tadinya terpencar karena agresi Belanda mulai dipekerjakan kembali. Selanjutnya pada bulan Desember 1949, melalui persetujuan Hatta-Stikker (Menlu RI dan Menlu Belanda), tujuh tenaga muda Indonesia ditempatkan pada Ministerie van Buitenlandse Zaken di Den Haag untuk mengikuti kursus dinas luar negeri sambil menimba pengalam dalam tugas di Kementerian Luar Negeri.

Pembukaan Indonesian Office di Singapura dan Penang Sebelum pengakuan kedaulatan RI merupakan perwakilan RI yang pertama dan peran kedua perwakilan ini amat penting dalam memperjuangkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya perwakilan-perwakilan lain juga dibuka di sejumlah negara antara lain New Delhi, Rangoon, Kairo, Canberra, Washington DC, London serta New York (Lake Success). Pada waktu itu pimpinan perwakilan disebut sebagai “Wakil RI” yang umumnya merupakan pejabat yang dikirim oleh Menteri Luar Negeri dari Jakarta, sedangkan para staf yang kebanyakan masih direkrut dari pejuang-pejuang Indonesia telah bermukim di luar negeri, tidak mempunyai sebutan apa-apa. Baru sesudah pengakuan kedaulatan, Indonesia harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan internasional sehingga perwakilan-perwakilan RI dijadikan perwakilan-perwakilan diplomatik atau konsuler. Tenaga-tenaga kerja yang ada di Kemlu juga mulai dikategorikan dalam golongan-golongan Pegawai Dinas Dalam Negeri dan Pegawai Dinas Luar Negeri.

Sementara itu sebagai kantor, pada awal tahun 1950 akhirnya Kemlu mendapat gedung yang lebih layak yang terletak di Taman Pejambon 6 (alamat yang sama sampai sekarang : red.). sebelum Perang Dunia Kedua gedung ini digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat persidangan Volksraad (Dewan Rakyat) sedangkan pada masa pendudukan Jepang digunakan sebagai tempat sidang Panitia Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Gedung ini juga dikenal sebagai tempat Ir. Soekarno yang merupakan salah satu anggota Panitia di atas, mengucapkan pidato pada tanggal 1 Juni 1945, tentang sendi-sendi Pancasila yang kemudian menjadi falsafah negara. Karena itulah gedung itu dikenal sampai sekarang sebagai Gedung Pancasila.

Sebagaimana disebutkan di atas, pengakuan kedaulatan oleh Belanda juga membawa dampak structural pada status dan organisasi perwakilan RI. Untuk itu, beberapa langkah di ambil antara lain: mendirikan perwakilan tersendiri di negara-negara penting bagi Indonesia yang lepas dari perwakilan Belanda; mengakreditasikan duta besar RI pertama di berbagai negara; dan mengisi perwakilan-perwakilan RI dengan home staff. Dengan langkah di atas,  pada tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, Indonesia mempunyai 28 perwakilan di luar negeri dengan 94 Pejabat Diplomatik / Konsuler dan seorang Konsul Kehormatan. Di dalam negeri terdapat 47 Pejabat Diplomatik/Konsuler.

Untuk memenuhi keperluan Pejabat Diplomatik/Konsuler pendidikan atau Kursus Diplomatik/Konsuler dimulai sejak tahun 1950 yang dilakukan di Jakarta dan kursus kanselir di Singapura. Selanjutnya, dibuka Akademi Dinas Luar Negeri yang menghasilkan 13 lulusan pertamanya pada tahun 1953

Tidak ada komentar:

Posting Komentar