Abdurahman Wahid atau yang
dikenal denganpanggilan akrab Gus Dur adalah sosok manusia yang sulit diduga
kemauannya dan controversial sejak mudanya. Pembawaan sulit diduga ini tidak
pandang waktu dan jaman walaupun sudah menjadi presiden RI yang keempat. Kalau
dalam posisi bukan presiden, tidak begiu merepotkan, tetapi sebagai presiden
akan merepotkan.
Penulis mengenal dan berhubungan
langsung dengan Gus Dur dimulai bulan Desember 1998 pada saat Gus Dur sebagai
Ketua Umum PBNU dan Ketua Fordem (Forum Demokrasi) berkunjung ke Belanda dengan
jumlah rombongan yang cukup besar yaitu 12 orang dan tiba-tiba tanpa
pemberitahuan sebelumnya sudah sampai di masjid Al Hikmah, masjid masyarakat
Indonesia di Den Haag. Sejak tahun 1997 penulis ditugaskan oleh Dubes sebagai
Ketua Pengurus masjid Al Hikmah.
Ikut dalam rombongan ibu Nuriyah
Wahid yang duduk diatas kurs roda dan tokoh-tokoh lintas agama. Begitu
rombongan tiba di masjid, penjaga masjid menelpon mengenai kedatangan Gus Dur
dan rombongan yang tiba-tiba telah sampai di masjid Al Hikmah. Langsung penulis
menemui rombongan dan begitu penulis mengenalkan diri sebagai Ketua Pengurus
masjid Al Hikmah, Gus Dur langsung berkata “Pak Mus saya ingin tidur di masjid
ini” yang membuat semua rombongan terkaget-kaget, termasuk juga penulis. Hal
ini mengingat masjid tidak ada fasilitas kamar tidur.
Keinginan yang kuat dan
sepertinya tidak mungkin ditolak. Untunglah di gudang KBRI tersedia beberapa
kasur yang diperlukan, yang disiapkan untuk para pengawal KBRI. Bagi rombongan
yang berlatar belakang pendidikan pesantren tidak masalah tidur di masjid,
meskipun tanpa kasur dan cukup diatas karpet sajadah. Ibu Nuriyah Wahid
disiapkan tidur di rumah penjaga masjid yang letaknya berdampingan dengan
masjid, sedangkan rombongan lainnya memilih tidur di hotel.
Kunjungan kedua bulan September 1999 bersama Bapak Alwi
Sihab yang juga tidak ada pemberitahuan sebelumnya dan kali ini menginap di
hotel Carlton. Begitu penulis menemui Gus Dur, langsung beliau mengenalkan
“Kenalkan Pak Alwi Sihab calon menlu kita”. Agak mengejutkan, mengingat pilpres
masih bulan Oktober 1999 dan sepertinya sudah yakin akan terpilih.
Setelah menjadi Presiden, bulan
Februari 2000 Gus Dur mengadakan kunjungan kerja ke Eropa termasuk Belanda.
Oleh Ratu Beatrix, Gus Dur dan keluarga disediakan penginapan di istana karena
merupakan kunjungan resmi kenegaraan. KBRI menempatkan satu orang staf untuk
mendampingin Gus Dur kalau ada keinginan mendadak. Ternyata benar ada keinginan
tak terduga yaitu Gus Dur ingin teman-temannya di Belanda menemui di tempat Gus
Dur menginap di istana.
Karena menginapnya di kompleks
istana dan tidak boleh sembarangan orang masuk, keinginan Gus Dur tersebut
disampaikan kepada pihak protokol istana. Keputusan protokol istana tidak
mengijinkan Gus Dur menerima tamu-tamunya di tempatnya menginap. Akhirnya
teman-teman Gus Dur tersebut diundang ke Wisma Indonesia dalam acara yang sudah
dijadwalkan yaitu pertemuan antara presiden dengan masyarakat Indonesia.
Disinilah penulis mengetahui
bagaimana kalau seorang Gus Dur marah yang meledak-ledak karena keinginannya
tidak dipenuhi. Mungkin salah informasi mengenai keinginannya bertemu dengan
teman-temannya seolah-olah ditolak, padahal hanya tempatnya yang dipindahkan ke
Wisma Indonesia. Setelah dijelaskan, amarahnya reda.
Dalam kunjungan tersebut Gus Dur
juga berpidato di depan anggota Parlemen Belanda. Ditengah-tengah pidato,
tiba-tiba Kepala Biro Protokol Setneg menghampiri dan memberitahu bahwa
presiden ingin menelpon seseorang, agar dicarikan nomor teleponnya. Suatu
permintaan yang tak terduga. Untung di KBRI ada posko dan akirnya setelah
dicari informasi melalui beberapa jaringan KBRI, ditemukanlah nomor telepon
yang bersangkutan. Tidak terbayangkan marahnya Gus Dur kalau nomor telepon yang
dicari tidak ditemukan.
Setelah kunjungannya ke AS
September 2000 pesawat kepresidenan yang membawa Gus Dur akan singgah di
Amsterdam di hari Minggu. Segala macam urusan perijinan terbang lewat wilayah
udara Belanda, mendarat di bandara Schiphol, mengisi bahan bakar, persiapan
ruang tunggu dsb sudah diselesaikan karena ada pemberitahuan sebelumnya.
Tiba-tiba di hari Sabtu pukul 11.00 sehari sebelum kedatangan presiden, ada
telepon dari New York ke HP penulis yang memberitahukan bahwa dalam
persinggahan presiden Gus Dur di Amsterdam, beliau minta PM Belanda datang
menemui Gus Dur di bandara. Suatu permintaan yang betul-betul tak terduga.
Hampir saja jantung tak berdetak,
karena permintaan yang tak terduga tersebut tidak mungkin akan dipenuhi
mengingat pesawat datang pukul 06.00 pagi di hari Minggu, dan yang diminta
menemui tidaj tanggung-tanggung seorang PM. Dari segi protokoler pun suatu hal
yang tidak mungkin walaupun antara kedua pemimpin meruapak teman yang akrab.
Pada saat tersebut Dubes sedang tidak ada ditempat dan baru malam hari kembali
ke Den Haag. Informasi tersebut dilaporkan kepada Wakepri.
Untung di Kemlu ada yang piket
dan dijanjikan permintaan Presiden Gus Dur akan disampaikan ke Sekretaris PM.
Dua jam kemudian ada jawaban dari Kemlu bahwa PM tidak bisa menemui Gus Dur di
bandara karena sedang berada di luar kota. Ini jawaban diplomatis untuk menolak
karena diketahui PM ada di Den Haag. Penulispun diberi nomor telepon khusus
Sekpri PM yang sewaktu-waktu dapat dihubungi.
Pagi harinya pesawat kepresidenan
mendarat dan penulis ikut menunggu keluarnya Presiden Gus Dur dari pesawat
untuk menuju ke ruang tunggu. Dubes dan staf yang menunggu tampak tegang
bagaiama nanti reaksi Presien Gus Dur mengenai permintaannya yang tidak dapat
dipenuhi, mengingat pengalaman waktu Gus Dur marah meledak-ledak dalam
kunjungan sebelumnya.
Setelah DUbes menyambut
kedatangan Presiden Gus Dur dan
menyampaikan informasi tersebut, di luar dugaan Presiden Gus Dur dengan gaya
khasnya menjawab “Tidak bisa ya tidak apa-apa, begitu saja kok repot” dengan
ketawa lepas. Plong rasanya hati ini, bagaikan beban segunung yang menghimpit
terangkat sudah. Dari pihak Belanda yang menyambut protokol Kemlu. Mereka
tertawa-tawa mendengar gurauan khas Gus Dur. Tiba-tiba Presiden Gus Dur
bertanya kepada menulis “Mus kamu pulang kapan?” seolah-olah sudah tahu kalau
tahun itu penulis pulang. “Bulan Oktober 2000 nanti” jawab penulis. “Kalau
sudah pulang ke Jakarta nanti temui saya di istana” jawab presiden. Setelah pulang
ke Jakarta dan dipertimbangkan untuk tidak menemui Gus Dur.
(Ditulis oleh: Mustakim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar