Jumat, 09 Januari 2015

Mengenal Gus Dur lebih dekat



Abdurahman Wahid atau yang dikenal denganpanggilan akrab Gus Dur adalah sosok manusia yang sulit diduga kemauannya dan controversial sejak mudanya. Pembawaan sulit diduga ini tidak pandang waktu dan jaman walaupun sudah menjadi presiden RI yang keempat. Kalau dalam posisi bukan presiden, tidak begiu merepotkan, tetapi sebagai presiden akan merepotkan.

Penulis mengenal dan berhubungan langsung dengan Gus Dur dimulai bulan Desember 1998 pada saat Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU dan Ketua Fordem (Forum Demokrasi) berkunjung ke Belanda dengan jumlah rombongan yang cukup besar yaitu 12 orang dan tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya sudah sampai di masjid Al Hikmah, masjid masyarakat Indonesia di Den Haag. Sejak tahun 1997 penulis ditugaskan oleh Dubes sebagai Ketua Pengurus masjid Al Hikmah.

Ikut dalam rombongan ibu Nuriyah Wahid yang duduk diatas kurs roda dan tokoh-tokoh lintas agama. Begitu rombongan tiba di masjid, penjaga masjid menelpon mengenai kedatangan Gus Dur dan rombongan yang tiba-tiba telah sampai di masjid Al Hikmah. Langsung penulis menemui rombongan dan begitu penulis mengenalkan diri sebagai Ketua Pengurus masjid Al Hikmah, Gus Dur langsung berkata “Pak Mus saya ingin tidur di masjid ini” yang membuat semua rombongan terkaget-kaget, termasuk juga penulis. Hal ini mengingat masjid tidak ada fasilitas kamar tidur.

Keinginan yang kuat dan sepertinya tidak mungkin ditolak. Untunglah di gudang KBRI tersedia beberapa kasur yang diperlukan, yang disiapkan untuk para pengawal KBRI. Bagi rombongan yang berlatar belakang pendidikan pesantren tidak masalah tidur di masjid, meskipun tanpa kasur dan cukup diatas karpet sajadah. Ibu Nuriyah Wahid disiapkan tidur di rumah penjaga masjid yang letaknya berdampingan dengan masjid, sedangkan rombongan lainnya memilih tidur di hotel.

Kunjungan  kedua bulan September 1999 bersama Bapak Alwi Sihab yang juga tidak ada pemberitahuan sebelumnya dan kali ini menginap di hotel Carlton. Begitu penulis menemui Gus Dur, langsung beliau mengenalkan “Kenalkan Pak Alwi Sihab calon menlu kita”. Agak mengejutkan, mengingat pilpres masih bulan Oktober 1999 dan sepertinya sudah yakin akan terpilih.

Setelah menjadi Presiden, bulan Februari 2000 Gus Dur mengadakan kunjungan kerja ke Eropa termasuk Belanda. Oleh Ratu Beatrix, Gus Dur dan keluarga disediakan penginapan di istana karena merupakan kunjungan resmi kenegaraan. KBRI menempatkan satu orang staf untuk mendampingin Gus Dur kalau ada keinginan mendadak. Ternyata benar ada keinginan tak terduga yaitu Gus Dur ingin teman-temannya di Belanda menemui di tempat Gus Dur menginap di istana.

Karena menginapnya di kompleks istana dan tidak boleh sembarangan orang masuk, keinginan Gus Dur tersebut disampaikan kepada pihak protokol istana. Keputusan protokol istana tidak mengijinkan Gus Dur menerima tamu-tamunya di tempatnya menginap. Akhirnya teman-teman Gus Dur tersebut diundang ke Wisma Indonesia dalam acara yang sudah dijadwalkan yaitu pertemuan antara presiden dengan masyarakat Indonesia.

Disinilah penulis mengetahui bagaimana kalau seorang Gus Dur marah yang meledak-ledak karena keinginannya tidak dipenuhi. Mungkin salah informasi mengenai keinginannya bertemu dengan teman-temannya seolah-olah ditolak, padahal hanya tempatnya yang dipindahkan ke Wisma Indonesia. Setelah dijelaskan, amarahnya reda.

Dalam kunjungan tersebut Gus Dur juga berpidato di depan anggota Parlemen Belanda. Ditengah-tengah pidato, tiba-tiba Kepala Biro Protokol Setneg menghampiri dan memberitahu bahwa presiden ingin menelpon seseorang, agar dicarikan nomor teleponnya. Suatu permintaan yang tak terduga. Untung di KBRI ada posko dan akirnya setelah dicari informasi melalui beberapa jaringan KBRI, ditemukanlah nomor telepon yang bersangkutan. Tidak terbayangkan marahnya Gus Dur kalau nomor telepon yang dicari tidak ditemukan.

Setelah kunjungannya ke AS September 2000 pesawat kepresidenan yang membawa Gus Dur akan singgah di Amsterdam di hari Minggu. Segala macam urusan perijinan terbang lewat wilayah udara Belanda, mendarat di bandara Schiphol, mengisi bahan bakar, persiapan ruang tunggu dsb sudah diselesaikan karena ada pemberitahuan sebelumnya. Tiba-tiba di hari Sabtu pukul 11.00 sehari sebelum kedatangan presiden, ada telepon dari New York ke HP penulis yang memberitahukan bahwa dalam persinggahan presiden Gus Dur di Amsterdam, beliau minta PM Belanda datang menemui Gus Dur di bandara. Suatu permintaan yang betul-betul tak terduga.

Hampir saja jantung tak berdetak, karena permintaan yang tak terduga tersebut tidak mungkin akan dipenuhi mengingat pesawat datang pukul 06.00 pagi di hari Minggu, dan yang diminta menemui tidaj tanggung-tanggung seorang PM. Dari segi protokoler pun suatu hal yang tidak mungkin walaupun antara kedua pemimpin meruapak teman yang akrab. Pada saat tersebut Dubes sedang tidak ada ditempat dan baru malam hari kembali ke Den Haag. Informasi tersebut dilaporkan kepada Wakepri.

Untung di Kemlu ada yang piket dan dijanjikan permintaan Presiden Gus Dur akan disampaikan ke Sekretaris PM. Dua jam kemudian ada jawaban dari Kemlu bahwa PM tidak bisa menemui Gus Dur di bandara karena sedang berada di luar kota. Ini jawaban diplomatis untuk menolak karena diketahui PM ada di Den Haag. Penulispun diberi nomor telepon khusus Sekpri PM yang sewaktu-waktu dapat dihubungi.

Pagi harinya pesawat kepresidenan mendarat dan penulis ikut menunggu keluarnya Presiden Gus Dur dari pesawat untuk menuju ke ruang tunggu. Dubes dan staf yang menunggu tampak tegang bagaiama nanti reaksi Presien Gus Dur mengenai permintaannya yang tidak dapat dipenuhi, mengingat pengalaman waktu Gus Dur marah meledak-ledak dalam kunjungan sebelumnya.

Setelah DUbes menyambut kedatangan Presiden Gus Dur  dan menyampaikan informasi tersebut, di luar dugaan Presiden Gus Dur dengan gaya khasnya menjawab “Tidak bisa ya tidak apa-apa, begitu saja kok repot” dengan ketawa lepas. Plong rasanya hati ini, bagaikan beban segunung yang menghimpit terangkat sudah. Dari pihak Belanda yang menyambut protokol Kemlu. Mereka tertawa-tawa mendengar gurauan khas Gus Dur. Tiba-tiba Presiden Gus Dur bertanya kepada menulis “Mus kamu pulang kapan?” seolah-olah sudah tahu kalau tahun itu penulis pulang. “Bulan Oktober 2000 nanti” jawab penulis. “Kalau sudah pulang ke Jakarta nanti temui saya di istana” jawab presiden. Setelah pulang ke Jakarta dan dipertimbangkan untuk tidak  menemui Gus Dur.
(Ditulis oleh: Mustakim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar