Sabtu, 27 Juni 2015

Ali Alatas: Pemain ulung kartu diplomasi Indonesia

Indonesia-Swedia sedang seperti cuaca Sahara. Penyebabnya, Jakarta mendesak Stockholm agar segera menindak pemimpin Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro yang tinggal di sana. Tapi para pemimpin Swedia belum bersedia memenuhi tuntutan itu. Alasan mereka, belum ada bukti yang meyakinkan Pemerintah Swedia bahwa Tiro melanggar hukum. Menurut orang Swedia, mereka berada pada posisinya sama dengan Indonesia yang menolak menyerahkan Abu Bakar Baa’syir yang dituduh sebagai Pimpinan Jamaah Islamiyah dan otak terorisme ke Barat. 


Jakarta tentu saja tak tinggal diam dan memutuskan untuk mengirimkan tim khusus ke Swedia. Tim yang dipimpin oleh diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas bertugas membawa segepok bukti pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Hasan Tiro. Bukan sekali ini Ali Alatas mengemban misi penting negara. Sebagai salah satu diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri RI--selama tiga periode, di bawah dua presiden – sudah berulang kali dia mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik. Layaklah bila julukan singa tua diplomasi Indonesia disematkan ke pundaknya. 

Diplomasi adalah dunianya, meski pun dimasa kecilnya bercita-cita menjadi pengacara  Jakarta, Alex – panggilan akrab Ali Alatas – lulus dari Universitas Indonesia pada 1956. Setelah menikah masa kecil alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini bercita-cita menjadi pengacara. namun apa yang dia cita-citakan menjadi berbeda, dia pun mengangkat koper ke Bangkok, mengawali tugas diplomatnya yang pertama sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok. Selama dua dasawarsa lebih Ali Alatas memperlihatkan kelas tersendiri sebagai diplomat. Ia pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996.

Meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun, peran Alex tercetak dengan huruf tebal dalam catatan sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur. Kenyang menelan kritik dari pihak Barat yang menuding masuknya wilayah tersebut ke Indonesia sebagai buah dari sebuah invasi, Ali dan para koleganya berupaya keras melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mengubah citra buruk tersebut. “Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu,” katanya. 

Empat tahun menjalankan tugas di New York sebagai Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ali tak kurang-kurangnya berupaya membahas Timor Timur melalui jalur diplomasi. Dia mengatakan, yang terpenting bagi Indonesia adalah mencari jalan keluar bersama untuk mengatasi problem di Timor Timur--bukan soal memiliki wilayah tersebut. 

Pada 12 November 1991, pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang, Alex tampil untuk meredam kemurkaan dunia. Jaringan-jaringan LSM internasional menekan Indonesia dengan keras menggunakan isu itu. “Ibaratnya kita ini sudah terkepung. Hadiah Nobel 1996 (untuk Uskup Belo dan Ramos Horta) itu tanda betapa kita sudah dikepung,” Alex mengenang. Namun, dengan tenang dia meminta semua orang percaya bahwa pemerintah Indonesia dapat menyelesaikan soal tersebut. Ketika ratusan orang tewas dalam kerusuhan selepas referendum 1999, hujan kecaman kembali menerpa dari segala penjuru. Alex melompat dari satu meja perundingan ke meja perundingan lain untuk meyakinkan dunia bahwa kerusuhan itu bukan bikinan pemerintah Indonesia. Tak heran bila kemudian dia dijuluki sebagai “pemadam kebakaran” wilayah yang pernah bergolak itu.  Alatas punya keyakinan teguh pada jalan diplomasi--betapapun sulitnya sebuah situasi. Itu sebabnya dia menolak usulan jajak pendapat sebagai solusi bagi Timor Timur yang dilontarkan bosnya ketika itu, Presiden B.J. Habibie. “Apa pun hasilnya, pasti ada yang sakit hati,” ujarnya suatu ketika kepada majalah TEMPO. 

Benar juga. Mata diplomat tua ini berkaca-kaca sewaktu beberapa saat setelah referendum, semua saluran televisi menyiarkan Dili--kini ibu kota Republik Timor Loro Sa’e—dilibas api. Langit di kota itu kelabu oleh asap. Dan wanita-wanita tua meratapi jenazah anak-anak mereka yang menjadi korban kerusuhan selama berhari-hari.

Ia mengakhiri karir diplomatnya dengan posisi yang tidak kalah prestisius: sebagai Menteri Luar Negeri. Jabatan itu ia pegang dari masa Soeharto hingga pensiun di era Habibie. Tatkala menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu) pada 1987, ia bukan cuma menjadi orang terdepan dalam negosiasi nasib mantan provinsi termuda RI itu dengan pihak luar. Menlu empat kabinet (1987-1999) ini adalah orang pertama pula yang ditekan PBB dan dunia internasional saban kali Timor Loro Sa'e dibicarakan di forum resmi dunia. Lalu, tatkala negeri itu memilih berpisah dari Indonesia-dalam referendum Agustus 1998-orang menganggap ia gagal menjalankan politik luar negeri, bersama pendahulunya, Mochtar Kusumaatmadja. 

Selepas masa dinas, ia menjadi penasihat Menlu Alwi Shihab. Cita-citanya menjadi pengacara kesampaian juga sampai akhir hidupnya dan menghembuskan nafas terakhirnya dirumahnya yang asri di Kemang Timur, Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar