Indonesia-Swedia sedang seperti cuaca Sahara. Penyebabnya,
Jakarta mendesak Stockholm agar segera menindak pemimpin Gerakan Aceh
Merdeka Hasan Tiro yang tinggal di sana. Tapi para pemimpin Swedia belum
bersedia memenuhi tuntutan itu. Alasan mereka, belum ada bukti yang
meyakinkan Pemerintah Swedia bahwa Tiro melanggar hukum. Menurut orang Swedia, mereka
berada pada posisinya sama dengan Indonesia yang menolak menyerahkan Abu
Bakar Baa’syir yang dituduh sebagai Pimpinan Jamaah Islamiyah dan otak
terorisme ke Barat.
Jakarta tentu saja tak
tinggal diam dan memutuskan untuk mengirimkan tim khusus ke Swedia. Tim
yang dipimpin oleh diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri Ali
Alatas bertugas membawa segepok bukti pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh Hasan Tiro. Bukan sekali ini Ali Alatas
mengemban misi penting negara. Sebagai salah satu diplomat senior dan
mantan Menteri Luar Negeri RI--selama tiga periode, di bawah dua
presiden – sudah berulang kali dia mewakili Indonesia di pelbagai meja
perundingan dan jalur diplomatik. Layaklah bila julukan singa tua
diplomasi Indonesia disematkan ke pundaknya.
Diplomasi adalah dunianya, meski pun dimasa kecilnya bercita-cita menjadi pengacara Jakarta, Alex –
panggilan akrab Ali Alatas – lulus dari Universitas Indonesia pada 1956.
Setelah menikah masa kecil alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini
bercita-cita menjadi pengacara. namun apa yang dia cita-citakan menjadi berbeda, dia pun mengangkat koper ke Bangkok, mengawali tugas
diplomatnya yang pertama sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI
Bangkok. Selama dua dasawarsa lebih Ali Alatas memperlihatkan kelas
tersendiri sebagai diplomat. Ia pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB
oleh sejumlah negara Asia pada 1996.
Meniti karier sebagai
diplomat sejak berusia 22 tahun, peran Alex tercetak dengan huruf tebal
dalam catatan sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur. Kenyang
menelan kritik dari pihak Barat yang menuding masuknya wilayah tersebut
ke Indonesia sebagai buah dari sebuah invasi, Ali dan para koleganya
berupaya keras melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mengubah citra
buruk tersebut. “Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan
semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu,”
katanya.
Empat tahun menjalankan tugas di New
York sebagai Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Ali tak kurang-kurangnya berupaya membahas Timor Timur melalui jalur
diplomasi. Dia mengatakan, yang terpenting bagi Indonesia adalah mencari
jalan keluar bersama untuk mengatasi problem di Timor Timur--bukan soal
memiliki wilayah tersebut.
Pada 12 November 1991, pecah
insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang, Alex tampil untuk
meredam kemurkaan dunia. Jaringan-jaringan LSM internasional menekan
Indonesia dengan keras menggunakan isu itu. “Ibaratnya kita ini sudah
terkepung. Hadiah Nobel 1996 (untuk Uskup Belo dan Ramos Horta) itu
tanda betapa kita sudah dikepung,” Alex mengenang. Namun, dengan tenang
dia meminta semua orang percaya bahwa pemerintah Indonesia dapat
menyelesaikan soal tersebut. Ketika ratusan orang tewas
dalam kerusuhan selepas referendum 1999, hujan kecaman kembali menerpa
dari segala penjuru. Alex melompat dari satu meja perundingan ke meja
perundingan lain untuk meyakinkan dunia bahwa kerusuhan itu bukan
bikinan pemerintah Indonesia. Tak heran bila kemudian dia dijuluki
sebagai “pemadam kebakaran” wilayah yang pernah bergolak itu. Alatas punya keyakinan teguh
pada jalan diplomasi--betapapun sulitnya sebuah situasi. Itu sebabnya
dia menolak usulan jajak pendapat sebagai solusi bagi Timor Timur yang
dilontarkan bosnya ketika itu, Presiden B.J. Habibie. “Apa pun hasilnya,
pasti ada yang sakit hati,” ujarnya suatu ketika kepada majalah TEMPO.
Benar juga. Mata diplomat tua
ini berkaca-kaca sewaktu beberapa saat setelah referendum, semua
saluran televisi menyiarkan Dili--kini ibu kota Republik Timor Loro
Sa’e—dilibas api. Langit di kota itu kelabu oleh asap. Dan wanita-wanita
tua meratapi jenazah anak-anak mereka yang menjadi korban kerusuhan
selama berhari-hari.
Ia mengakhiri karir
diplomatnya dengan posisi yang tidak kalah prestisius: sebagai Menteri
Luar Negeri. Jabatan itu ia pegang dari masa Soeharto hingga pensiun di
era Habibie. Tatkala menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu) pada 1987, ia
bukan cuma menjadi orang terdepan dalam negosiasi nasib mantan provinsi
termuda RI itu dengan pihak luar. Menlu empat kabinet (1987-1999) ini
adalah orang pertama pula yang ditekan PBB dan dunia internasional saban
kali Timor Loro Sa'e dibicarakan di forum resmi dunia. Lalu, tatkala
negeri itu memilih berpisah dari Indonesia-dalam referendum Agustus
1998-orang menganggap ia
gagal menjalankan politik luar negeri, bersama pendahulunya, Mochtar
Kusumaatmadja.
Selepas masa dinas, ia menjadi penasihat Menlu Alwi Shihab. Cita-citanya
menjadi pengacara kesampaian juga sampai akhir hidupnya dan menghembuskan nafas terakhirnya dirumahnya yang asri di Kemang Timur, Jakarta Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar