Pada 2010 lalu, Musiri sudah dua tahun berada di Inggris bersama majikan keluarga dokter asal Mesir yang menetap di London.
Tenaga kerja asal Bojonegoro, Jawa Timur ini, hanya digaji £110,
dengan kurs sekarang setara dengan R2,1 juta per bulan, jumlah yang
terlalu rendah untuk standar gaji di negara maju seperti Inggris.
Oleh karenanya, ia kabur dari majikan pada 2010, mendapat majikan baru dan sejak itu kondisi Musiri sudah berubah.
"Sekarang
saya dapat kerja lumayanlah buat biaya anak sekolah. Saya punya anak
dua, keduanya kuliah. Yang satu sudah lulus, sekarang sarjana. Terus
yang satu tahun ketiga, mengambil arsitek," kata Musiri.
Bekerja
untuk keluarga pengusaha asal Lebanon yang berdomisili di Inggris,
Musiri menerima gaji £1.800 (sekitar Rp35 juta) per bulan, lebih tinggi
dibandingkan upah standar nasional Inggris £1.152 bulan jika menggunakan
patokan upah nasional minimum £7.20 per jam dan bekerja selama 40 jam
per minggu.
Motor dan mobil
Jelas dengan pertambahan gaji tersebut, Musiri dapat
melakukan banyak hal di Bojonegoro. Ia mampu menguliahkan kedua
putrinya, dan membantu mengangkat taraf hidup keluarganya, termasuk
kedua orang tuanya.
"Selain itu, buat beli rumah, beli motor buat
dua anak saya dan dua keponakan saya, dan beli tanah juga. Alhamdulillah
senang," tuturnya.
"Sedikit-sedikit saya juga punya tabungan dan tahun depan beli mobil."
Dengan
mobil barunya nanti, Musiri berharap dapat menyetir sendiri dari rumah
kontrakannya ke rumah majikan orang Lebanon di gedung apartemen mewah
menghadap ke Sungai Thames, London.
'Terancam dipulangkan'
Di Southall, kantong komunitas India dan Pakistan
berbaur dengan komunitas dari negara-negara lain, termasuk tenaga kerja
asal Indonesia.
Di kawasan yang suasananya kental Asia Selatan
ini, saya ingin mencari, Ida, seorang tenaga kerja Indonesia yang enam
tahun lalu terancam dipulangkan karena masa berlaku visanya habis. Karena
paspor ditahan majikan, ia mengaku kabur tanpa dokumen setelah merasa
mendapat perlakuan buruk dari majikan, keluarga diplomat Indonesia.
Kini Ida tinggal di sebuah rumah tak jauh dari
keramaian jalan utama, dan sudah punya dua anak, masing-masing berusia
tiga bulan dan dua tahun. Soal visa serta paspor, ia mengaku sudah
mengantongi semuanya.
"Visa sudah beres, paspor juga sudah beres. Dan Insya Allah mengajukan lagi tahun 2018, visa domestic worker continue (perpanjangan visa pekerja domestik," Ida berkata.
Meskipun sudah memiliki dua anak, Ida mengaku masih bisa membantu ibunya di Lampung dengan mengirimkan uang secara berkala.
Kisah Musiri dan Ida, menurut Anis Hidayat Direktur
Migrant Care, LSM yang mengurusi buruh migran, mencerminkan mobilitas
sosial ekonomi pekerja domestik dan itu terbukti di kampung-kampung asal
mereka.
"Hasil penelitian Migrant Care tahun 2014 dan yang juga
kita lakukan lagi tahun 2015 itu menunjukkan bahwa memang buruh migran
perempuan yang bekerja sebagai PRT di banyak negara merupakan aktor
penting dari pembangunan di Indonesia.
Dan secara nyata
menggerakkan pembangunan. Di NTT misalnya, itu hampir mayoritas sarjana,
dan di NTB itu sumbangan buruh migran perempuan karena jerih payah
mereka di luar negeri," jelas Anis Hidayat.
Di samping "menelurkan
sarjana", Anis menambahkan, sebagian TKI yang pulang melanjutkan
pendidikan mereka ke perguruan tinggi. Yang sudah jamak dilihat adalah
hasil-hasil pembangunan fisik, terutama rumah, di kantong-kantong asal
TKI.
(Dikutip dari: BBC Indonesia)
Info menarik: Lowongan kerja di Telkom
Menelusuri rute masuk TKI ke Inggris
Info menarik: Lowongan kerja di Telkom
Menelusuri rute masuk TKI ke Inggris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar