Jumat, 24 Juni 2016

Manuver Jendral Salon

Jan Willem Janssens (lahir di Nijmegen, 12 Oktober 1762 – meninggal di Den Haag, 23 Mei 1838 pada umur 75 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-37. Dia menggantikan Herman Willem Daendels pada tanggal 20 Februari 1811 dan tiba di Istana Bogor (Buitenzorg) pada tanggal 15 Mei 1811.

Ia memulai masa jabatannya dalam kondisi genting. Banyak prajurit tinggalan Daendels yang tidak cakap menjadi prajurit, sehingga ia mudah dikalahkan Inggris dan terpaksa menyerah pada tanggal 18 September 1811 kepada Thomas Stamford Raffles dalam Kapitulasi Tuntang.

Karena masa pemerintahannya yang sangat singkat ini, dapat dikatakan bahwa ia tidak meninggalkan apa-apa. Ia seolah-olah hanya ditugaskan untuk menjaga bendera Perancis yang berkibar di Hindia Belanda selama enam bulan


PADA 9 Juli 1810 Belanda ditaklukan oleh Napol on Bonaparte. Dengan demikian seluruh daerah koloni Belanda juga berada di bawah kekuasaan Prancis sebagai penakluk, tak terkecuali Jawa. Telah sejak lama Jawa dikenal sebagai pulau yang subur nan kaya, namun Prancis sepertinya agak gegabah dalam mempertahankan pulau ini. Alih-alih memerintahkan pertahanan total bagi Jawa, Napol on malah memilih seorang jenderal logistik: Jean-Guillaume Janssens. 

Janssens memulai karirnya di usia sembilan tahun sebagai kadet pada 1771. Karena jujur dan cermat, dia naik pangkat menjadi letnan di usia 15 tahun dan menjadi pejabat logistik. Ketika terjadi pemberontakan kaum patriotik pada 1787, dia memihak Stadtholder (raja).

Pada 1795, berdiri Republik Belanda yang pro-Prancis, maka Janssens pensiun karena terluka di medan perang. Sejak itu dia bekerja di administrasi, namun tetap bertugas menyediakan makanan dan sandang kepada prajurit baru kiriman Prancis yang kelaparan dan compang-camping. Ternyata Napol on puas dengan perlakuan baik itu. 

Pada 1802 Napol on mengangkat Janssens jadi gubernur jenderal di Tanjung Harapan, Afrika. Semua terkejut bukan kepalang, karena di usia 39 tahun, setelah bekerja tujuh tahun di bagian adminstrasi yang sepele, Janssens mendadak lompat pangkat dari kapten menjadi jenderal divisi. 

Ketika Inggris kembali menyatakan perang terhadap Belanda pada 16 Mei 1803, Janssens diperintah mengirimkan bantuan ke Jawa – yang dianggap lebih penting dari Tanjung Harapan. Dia mengirim batalyon ke-23, kesatuan bandit dan preman yang lebih pandai memerkosa dan berpesta daripada memanggul senjata, yang direkrut di wilayah terkumuh di Prancis dan Belanda. 

Tapi sial bagi Janssens saat Jendral Baird, panglima pasukan Inggris tiba di Tanjung Harapan disertai 10.000 balatentaranya pada 4 Maret 1806. Karena tak sebanding jumlah pasukan, Janssens menyerah dan direpatriasi ke Belanda pada Juni 1806. Saat itu takhta diduduki Raja Louis, salah satu adik Napol on. Janssens diangkat menjadi Menteri Peperangan Kerajaan Belanda pada 7 Desember 1807. Meskipun sukses meniti karier, ambisi Janssens yang belum terwujud yaitu menjadi gubernur jenderal di Batavia, koloni terjauh namun termakmur. Dia tahu sekali kalau kehidupan di Jawa jadi dambaan seorang gubernur jenderal karena mempunyai istana, pasukan pelayan, penghibur –seluruh kenyamanan yang dilukiskan oleh para musafir sebagai surga dunia. Dia membayangkan kehidupan yang serba mewah itu dan menimbulkan rasa iri kepada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Janssens segera menebar hujatan dan fitnah yang dibocorkan oleh pejabat tinggi Belanda mengenai langkah kejam yang diambil oleh Daendels yang otoriter. Berbagai gosip itu berkesan bahwa Daendels memperlakukan pribumi secara tidak manusiawi. Lebih buruk lagi, Daendels dianggap gila: “tiran yang berkuasa itu menjadikan dirinya raja Jawa.”

Kesempatan untuk menggantikan Daendels segera terwujud baginya saat Napol on mengakuisisi Kerajaan Belanda ke dalam Kekaisaran. Tak seorang pun berani menyerahkan surat pernyataan tunduk kepada kaisar, kecuali Janssens. Hasilnya, Napol on bukan saja mengangkatnya sebagai jenderal divisi dalam angkatan bersenjata Prancis, juga memberinya pangkat perwira tinggi legiun kehormatan. Pucuk dicinta ulam tiba, Janssens pun diangkat sebagai gubernur jenderal menggantikan Daendels.

Napol on yang masih ingat lepasnya Tanjung Harapan ke tangan Inggris berkata kepada Janssens, “Jangan lupa, seorang jenderal Prancis tidak menyerah untuk kedua kalinya.”

Dalam novel sejarah ini, Jean Rocher, mantan atase pertahanan Kedutaan Besar Prancis di Jakarta (1993-1997) menceritakan kekalahan kedua yang memalukan Gubernur Jenderal Janssens melawan Inggris dalam perang di daerah Meester Cornelis (sekarang Jatinegara dan Matraman) pada Agustus 1811 –yang mungkin salah satu perang terbesar di Jawa pada awal abad ke-19.

Sesuai petunjuk Pemerintah Inggris dan kepentingan the old Lady atau East India Company (Serikat Dagang Hindia Timur Inggris) saingannya VOC, komandan pasukan Inggris Lord Minto memutuskan untuk menaklukkan wilayah terakhir yang masih dikuasai Prancis di Samudra Hindia, yaitu Pulau Jawa. Minto menyadari tidak mudah merebut Jawa dari Prancis. Sebab, Daendels telah membangun benteng Meester Cornelis dan Jalan Raya Pos, yang menyusuri pesisir utara Jawa. Di mana pun Inggris mendarat, Daendels memungkinkan untuk mengirim dengan cepat infanteri, kavaleri, dan artileri yang mampu mengusir musuh kembali ke laut. Sayangnya, sang “Marsekal Besi” meninggalkan Jawa pada 29 Juni 1811 dan tiba di Prancis pada Oktober 1811. Janssens menggantikan Daendels pada 16 Mei 1811.

Ketidaksukaan Janssens kepada Daendels membuatnya tak ingin memakai strategi yang telah dibangun Daendels. Dia malah membuat taktik konyol, yaitu memusnahkan logistik yang disimpan di gudang, sebelah utara Kota Batavia. Barang kebutuhan pokok itu benar-benar harta berharga untuk menjamin pembayaran utang negara kepada swasta.

Bagi Inggris, Janssens bukan Mass na, Ney, ataupun Davout –jenderal-jenderal andalan Napol on di Eropa. Yang paling disukai Janssens adalah berlama-lama mendiskusikan urusan remeh-temeh. Dia adalah perwira salon? “Tidak juga, lebih tepat kalau dia disebut perwira logistik,” kata Lord Minto. 

Sekitar 70 armada Inggris mendarat di Cilincing pada 4 Agustus 1811, tanpa perlawanan. Mereka menguasai segala posisi di Ancol. Janssens mengosongkan kota dan mundur ke Weltevreden, sekitar empat kilometer ke selatan. Dia memerintahkan untuk membakar gudang yang masih tegak beridiri. Inggris menguasai kota tua dan menyebarkan pamflet berbahasa Belanda. Isinya bahwa tujuan pendaratan Inggris adalah menghilangkan “akuisisi Pulau Jawa yang tidak adil oleh pasukan Prancis dan penempatannya di bawah proteksi Britania Raya.”
Sejak pendaratan pasukan Inggris, perang baru pecah pada 10 Agustus 1811, ketika 2.500 serdadu Inggris dari arah Batavia masuk ke Cham de Mars (sekarang Lapangan Monas), kemudian mengarah ke jalan utama menuju Bogor, yang melewati sepanjang kamp Prancis. Meriam Prancis mulai memuntahkan peluru dan segera pasukan Inggris menyebar di medan perang. Pasukan Prancis dipukul mundur. Janssens juga mundur ke benteng berparit Meester Cornelis. 

Alih-alih memompa semangat pasukan Prancis dengan mengadakan pesta “Santo Napol on” untuk kali pertama di Jawa selama tiga hari, pesta tersebut malah membuat pasukan tidak disiplin. Setelah apel pagi, mereka luntang-lantung ke warung. Sementara itu, Inggris berada pada posisi on fire siap menyerang. Serangan Inggris berhasil meledakkan gudang peluru Prancis dan menawan dua jenderal, dua ajudan jenderal Janssens, kepala zeni, komisaris jenderal, para menteri daerah jajahan, lima kolonel, 21 letnan kolonel, empat mayor, 60 kapten, dan 134 letnan, serta 280 meriam disita. 

Janssens disertai sepasukan kavalerinya melarikan diri ke Bogor, lalu ke Semarang. Dia masih memiliki pasukan garnisun di Surabaya dan Semarang. Dia juga memperoleh pasukan dari Yogyakarta dan Surakarta, ditambah dari Pangeran Prang Wedono yang disebut legiun Mangkunegaran II. Mereka telah menjanjikan bantuan dan pasukan kepada Prancis pada masa Daendels. Menurut perwira penerangan Inggris, jumlahnya mencapai 8.000 prajurit.

Perang kembali berkobar di Jatingaleh, Semarang. Meski gabungan pasukan Prancis menjanjikan, namun tidak memiliki tekad yang kuat, sehingga bisa dikalahkan oleh sekitar 1.700 pasukan Inggris. Akhirnya Janssens menandatangani pernyataan menyerah dan bendera Prancis diturunkan pada 18 September 1811. Setelah dipenjara satu tahun di Inggris, Janssens direpatriasi ke Prancis pada 11 November 1812.

Meski Janssens dan pasukannya “kocar-kacir”, Napol on tetap membenarkan seluruh keputusan dan tindakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar