Jan Willem Janssens (lahir di Nijmegen, 12 Oktober 1762 – meninggal di Den Haag, 23 Mei 1838 pada umur 75 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-37. Dia menggantikan Herman Willem Daendels pada tanggal 20 Februari 1811 dan tiba di Istana Bogor (Buitenzorg) pada tanggal 15 Mei 1811.
Ia memulai masa jabatannya dalam kondisi genting. Banyak prajurit
tinggalan Daendels yang tidak cakap menjadi prajurit, sehingga ia mudah
dikalahkan Inggris dan terpaksa menyerah pada tanggal 18 September 1811 kepada Thomas Stamford Raffles dalam Kapitulasi Tuntang.
Karena masa pemerintahannya yang sangat singkat ini, dapat dikatakan
bahwa ia tidak meninggalkan apa-apa. Ia seolah-olah hanya ditugaskan
untuk menjaga bendera Perancis yang berkibar di Hindia Belanda selama enam bulan
PADA 9 Juli 1810 Belanda ditaklukan oleh Napol on Bonaparte. Dengan
demikian seluruh daerah koloni Belanda juga berada di bawah kekuasaan
Prancis sebagai penakluk, tak terkecuali Jawa. Telah sejak lama Jawa
dikenal sebagai pulau yang subur nan kaya, namun Prancis sepertinya agak
gegabah dalam mempertahankan pulau ini. Alih-alih memerintahkan
pertahanan total bagi Jawa, Napol on malah memilih seorang jenderal
logistik: Jean-Guillaume Janssens.
Janssens memulai karirnya di usia sembilan tahun sebagai kadet pada
1771. Karena jujur dan cermat, dia naik pangkat menjadi letnan di usia
15 tahun dan menjadi pejabat logistik. Ketika terjadi pemberontakan kaum
patriotik pada 1787, dia memihak Stadtholder (raja).
Pada 1795, berdiri Republik Belanda yang pro-Prancis, maka Janssens
pensiun karena terluka di medan perang. Sejak itu dia bekerja di
administrasi, namun tetap bertugas menyediakan makanan dan sandang
kepada prajurit baru kiriman Prancis yang kelaparan dan compang-camping.
Ternyata Napol on puas dengan perlakuan baik itu.
Pada 1802 Napol on mengangkat Janssens jadi gubernur jenderal di
Tanjung Harapan, Afrika. Semua terkejut bukan kepalang, karena di usia
39 tahun, setelah bekerja tujuh tahun di bagian adminstrasi yang sepele,
Janssens mendadak lompat pangkat dari kapten menjadi jenderal divisi.
Ketika Inggris kembali menyatakan perang terhadap Belanda pada 16 Mei
1803, Janssens diperintah mengirimkan bantuan ke Jawa – yang dianggap
lebih penting dari Tanjung Harapan. Dia mengirim batalyon ke-23,
kesatuan bandit dan preman yang lebih pandai memerkosa dan berpesta
daripada memanggul senjata, yang direkrut di wilayah terkumuh di Prancis
dan Belanda.
Tapi sial bagi Janssens saat Jendral Baird, panglima pasukan Inggris
tiba di Tanjung Harapan disertai 10.000 balatentaranya pada 4 Maret
1806. Karena tak sebanding jumlah pasukan, Janssens menyerah dan
direpatriasi ke Belanda pada Juni 1806. Saat itu takhta diduduki Raja
Louis, salah satu adik Napol on. Janssens diangkat menjadi Menteri
Peperangan Kerajaan Belanda pada 7 Desember 1807. Meskipun sukses meniti
karier, ambisi Janssens yang belum terwujud yaitu menjadi gubernur
jenderal di Batavia, koloni terjauh namun termakmur. Dia tahu sekali
kalau kehidupan di Jawa jadi dambaan seorang gubernur jenderal karena
mempunyai istana, pasukan pelayan, penghibur –seluruh kenyamanan yang
dilukiskan oleh para musafir sebagai surga dunia. Dia membayangkan
kehidupan yang serba mewah itu dan menimbulkan rasa iri kepada Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels.
Janssens segera menebar hujatan dan fitnah yang dibocorkan oleh
pejabat tinggi Belanda mengenai langkah kejam yang diambil oleh Daendels
yang otoriter. Berbagai gosip itu berkesan bahwa Daendels memperlakukan
pribumi secara tidak manusiawi. Lebih buruk lagi, Daendels dianggap
gila: “tiran yang berkuasa itu menjadikan dirinya raja Jawa.”
Kesempatan untuk menggantikan Daendels segera terwujud baginya saat
Napol on mengakuisisi Kerajaan Belanda ke dalam Kekaisaran. Tak seorang
pun berani menyerahkan surat pernyataan tunduk kepada kaisar, kecuali
Janssens. Hasilnya, Napol on bukan saja mengangkatnya sebagai jenderal
divisi dalam angkatan bersenjata Prancis, juga memberinya pangkat
perwira tinggi legiun kehormatan. Pucuk dicinta ulam tiba, Janssens pun
diangkat sebagai gubernur jenderal menggantikan Daendels.
Napol on yang masih ingat lepasnya Tanjung Harapan ke tangan Inggris
berkata kepada Janssens, “Jangan lupa, seorang jenderal Prancis tidak
menyerah untuk kedua kalinya.”
Dalam novel sejarah ini, Jean Rocher, mantan atase pertahanan
Kedutaan Besar Prancis di Jakarta (1993-1997) menceritakan kekalahan
kedua yang memalukan Gubernur Jenderal Janssens melawan Inggris dalam
perang di daerah Meester Cornelis (sekarang Jatinegara dan Matraman)
pada Agustus 1811 –yang mungkin salah satu perang terbesar di Jawa pada
awal abad ke-19.
Sesuai petunjuk Pemerintah Inggris dan kepentingan the old Lady
atau East India Company (Serikat Dagang Hindia Timur Inggris)
saingannya VOC, komandan pasukan Inggris Lord Minto memutuskan untuk
menaklukkan wilayah terakhir yang masih dikuasai Prancis di Samudra
Hindia, yaitu Pulau Jawa. Minto menyadari tidak mudah merebut Jawa dari
Prancis. Sebab, Daendels telah membangun benteng Meester Cornelis dan
Jalan Raya Pos, yang menyusuri pesisir utara Jawa. Di mana pun Inggris
mendarat, Daendels memungkinkan untuk mengirim dengan cepat infanteri,
kavaleri, dan artileri yang mampu mengusir musuh kembali ke laut.
Sayangnya, sang “Marsekal Besi” meninggalkan Jawa pada 29 Juni 1811 dan
tiba di Prancis pada Oktober 1811. Janssens menggantikan Daendels pada
16 Mei 1811.
Ketidaksukaan Janssens kepada Daendels membuatnya tak ingin memakai
strategi yang telah dibangun Daendels. Dia malah membuat taktik konyol,
yaitu memusnahkan logistik yang disimpan di gudang, sebelah utara Kota
Batavia. Barang kebutuhan pokok itu benar-benar harta berharga untuk
menjamin pembayaran utang negara kepada swasta.
Bagi Inggris, Janssens bukan Mass na, Ney, ataupun Davout
–jenderal-jenderal andalan Napol on di Eropa. Yang paling disukai
Janssens adalah berlama-lama mendiskusikan urusan remeh-temeh. Dia
adalah perwira salon? “Tidak juga, lebih tepat kalau dia disebut perwira
logistik,” kata Lord Minto.
Sekitar 70 armada Inggris mendarat di Cilincing pada 4 Agustus 1811,
tanpa perlawanan. Mereka menguasai segala posisi di Ancol. Janssens
mengosongkan kota dan mundur ke Weltevreden, sekitar empat kilometer ke
selatan. Dia memerintahkan untuk membakar gudang yang masih tegak
beridiri. Inggris menguasai kota tua dan menyebarkan pamflet berbahasa
Belanda. Isinya bahwa tujuan pendaratan Inggris adalah menghilangkan
“akuisisi Pulau Jawa yang tidak adil oleh pasukan Prancis dan
penempatannya di bawah proteksi Britania Raya.”
Sejak pendaratan pasukan Inggris, perang baru pecah pada 10 Agustus
1811, ketika 2.500 serdadu Inggris dari arah Batavia masuk ke Cham de
Mars (sekarang Lapangan Monas), kemudian mengarah ke jalan utama menuju
Bogor, yang melewati sepanjang kamp Prancis. Meriam Prancis mulai
memuntahkan peluru dan segera pasukan Inggris menyebar di medan perang.
Pasukan Prancis dipukul mundur. Janssens juga mundur ke benteng berparit
Meester Cornelis.
Alih-alih memompa semangat pasukan Prancis dengan mengadakan pesta
“Santo Napol on” untuk kali pertama di Jawa selama tiga hari, pesta
tersebut malah membuat pasukan tidak disiplin. Setelah apel pagi, mereka
luntang-lantung ke warung. Sementara itu, Inggris berada pada posisi on fire siap
menyerang. Serangan Inggris berhasil meledakkan gudang peluru Prancis
dan menawan dua jenderal, dua ajudan jenderal Janssens, kepala zeni,
komisaris jenderal, para menteri daerah jajahan, lima kolonel, 21 letnan
kolonel, empat mayor, 60 kapten, dan 134 letnan, serta 280 meriam
disita.
Janssens disertai sepasukan kavalerinya melarikan diri ke Bogor, lalu
ke Semarang. Dia masih memiliki pasukan garnisun di Surabaya dan
Semarang. Dia juga memperoleh pasukan dari Yogyakarta dan Surakarta,
ditambah dari Pangeran Prang Wedono yang disebut legiun Mangkunegaran
II. Mereka telah menjanjikan bantuan dan pasukan kepada Prancis pada
masa Daendels. Menurut perwira penerangan Inggris, jumlahnya mencapai
8.000 prajurit.
Perang kembali berkobar di Jatingaleh, Semarang. Meski gabungan
pasukan Prancis menjanjikan, namun tidak memiliki tekad yang kuat,
sehingga bisa dikalahkan oleh sekitar 1.700 pasukan Inggris. Akhirnya
Janssens menandatangani pernyataan menyerah dan bendera Prancis
diturunkan pada 18 September 1811. Setelah dipenjara satu tahun di
Inggris, Janssens direpatriasi ke Prancis pada 11 November 1812.
Meski Janssens dan pasukannya “kocar-kacir”, Napol on tetap membenarkan seluruh keputusan dan tindakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar