Soedjatmoko (lahir dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat; lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 10 Januari 1922 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 21 Desember 1989 pada umur 67 tahun), juga dikenal dengan nama panggilan Bung Koko,[2] adalah seorang intelektual, diplomat, dan politikus Indonesia.
Soedjatmoko dilahirkan dalam keluarga bangsawan dan belajar kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta). Setelah dikeluarkan dari sekolah kedokteran oleh orang-orang Jepang pada tahun 1943, ia pindah ke Surakarta dan membuka praktik pengobatan bersama ayahnya. Pada tahun 1947, setelah kemerdekaan Indonesia, Soedjatmoko bersama dua pemuda lain dikirimkan ke Lake Success, New York, Amerika Serikat untuk mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah itu, Soedjatmoko menjalani beberapa kegiatan politik. Pada
tahun 1952 ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan pers beraliran sosialis dan Partai Sosialis Indonesia, lalu terpilih sebagai anggota Konstituante. Namun, karena pemerintahan Presiden Soekarno
semakin otoriter, Soedjatmoko mulai mengkritik pemerintah. Untuk
menghindari pencekalan pemerintah, Soedjatmoko pergi ke luar negeri dan
bekerja sebagai dosen di Universitas Cornell di Ithaca, New York selama dua tahun. Tiga tahun kemudian ia tidak lagi bekerja, biarpun telah kembali ke Indonesia.
Setelah pemerintah Sukarno diganti, Soejdatmoko dikirim sebagai salah
satu wakil Indonesia di PBB, dan pada tahun 1968 ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat; ia juga menjadi penasihat untuk menteri luar negeri Adam Malik. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1971, ia mendapatkan pencekalan pemerintah setelah peristiwa Malari pada Januari 1974, karena disangka telah merencanakan protes tersebut. Pada tahun 1978, Soedjatmoko menerima Penghargaan Ramon Masaysay untuk Hubungan Internasional, dan pada tahun 1980 ia diangkat sebagai rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa di Tokyo, Jepang.
Kehidupan awal
Soedjatmoko dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1922 di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat.[3] Ia merupakan anak kedua dari pasangan Saleh Mangoendiningrat, seorang dokter keturunan bangsawan Jawa asal Madiun, dan Isnadikin, seorang ibu rumah tangga asal Ponorogo; pasangan tersebut mempunyai tiga anak lain dan dua anak angkat.[1] Adik Soedjatmoko, Nugroho Wisnumurti, saat dewasa juga bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[2]
Saat menginjak usia dua tahun, Soedjatmoko bersama keluarganya pindah
ke Belanda setelah ayahnya mendapatkan beasiswa untuk belajar di negara
itu selama lima tahun.[4] Setelah kembali ke Indonesia, Soedjatmoko melanjutkan sekolahnya di suatu sekolah dasar di Manado, Sulawesi Utara.[1]
Soedjatmoko lalu bersekolah di HBS Surabaya sampai ia lulus pada tahun 1940.[5] Sekolah itu memperkenalkan ia dengan bahasa Latin dan Yunani Kuno,
dan salah satu gurunya memperkenalkan Soedjatmoko dengan kesenian
Eropa; dalam sebuah wawancara ketika ia dewasa, hal tersebut membuat ia
menganggap orang Eropa lebih dari sekadar kolonis.[1] Ia lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta).
Saat melihat daerah kumuh Jakarta, Soedjatmoko menjadi tertarik dengan
masalah kemiskinan; topik tersebutlah yang kemudian ditelitinya.[1] Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia, pada tahun 1943 ia dikeluarkan dari sekolah karena kekerabatannya dengan Sutan Sjahrir–yang telah menikah dengan kakak Soedjatmoko, Siti Wahyunah[2]–dalam protes terhadap pendudukan Jepang.
Setelah dikeluarkan, Soedjatmoko pindah ke Surakarta. Di sana, ia membaca tentang sejarah Barat dan ilmu politik yang memicu ketertarikannya dengan sosialisme;[5] ia juga bekerja di rumah sakit milik ayahnya. Setelah kemerdekaan Indonesia, Soedjatmoko diminta menjadi Wakil Kepala Bagian Pers Asing di Kementerian Penerangan.[1] Pada tahun 1946, ia bersama dua sahabatnya diminta oleh Sjahrir yang sudah menjadi Perdana Menteri Indonesia untuk mendirikan jurnal mingguan berbahasa Belanda, Het Inzicht (Di Dalam) sebagai tanggapan atas Het Uίtzicht (Pandangan) yang disponsori oleh Belanda. Tahun berikutnya, mereka menerbitkan jurnal sosialis Siasat yang juga diterbitkan setiap minggu.[5][6]
Dalam periode ini Soedjatmoko mulai tidak menggunakan nama
Mangoendiningrat, sebab nama bapaknya itu membuat ia teringat akan aspek
feudalisme dalam budaya Indonesia.[1]
Kerja di Amerika Serikat
Pada tahun 1947, Sjahrir mengirim Soedjatmoko ke New York sebagai anggota delegasi pengamat Indonesia di PBB.[5] Delegasi tiba di Amerika Serikat (AS) setelah singgah di Singapura dan Filipina. Saat mereka di Filipina, Presiden Manuel Roxas menjamin bahwa negaranya itu akan mendukung Indonesia di PBB.[1] Soedjatmoko dan kelompoknya tinggal di Lake Success, New York yang merupakan lokasi sementara PBB pada saat itu, dan mengikuti debat mengenai pengakuan Indonesia oleh negara lain.[7] Menjelang akhir waktunya di New York, Soedjatmoko masuk di Littauer Center milik Harvard; karena pada saat itu ia masih merupakan anggota delegasi PBB, ia harus pulang-pergi antara New York dan Boston
selama tujuh bulan masa kuliahnya. Setelah dibebastugaskan dari
delegasi, Soedjatmoko menghabiskan hampir satu tahun di Littauer Center;
namun, kuliahnya itu terganggu ketika selama tiga bulan ia menjadi chargé d'affaires–yang pertama untuk Indonesia–di bagian Hindia Belanda di Kedutaaan Besar Belanda di London, Inggris. Ia menjabat sementara selagi kedutaan besar Indonesia dibentuk.[1]
Pada tahun 1951, Soedjatmoko pindah ke Washington D.C. untuk mendirikan seksi politik di Kedutaan Besar Republik Indonesia di kota itu;[5]
ia juga menjadi Wakil Indonesia Alternat di PBB. Jadwal yang padat ini
memerlukan banyak waktu untuk perjalanan antara tiga kota itu, dan
dianggap terlalu berat sehingga Soedjatmoko mengundurkan diri dari
Litteaur Center.[1]
Pada akhir tahun 1951, ia mengundurkan diri dari pekerjaan lainnya dan
pergi ke Eropa selama sembilan bulan, mencari ilham politik. Di Yugoslavia, ia bertemu dengan Milovan Djilas yang membuatnya kagum.[1][5]
Kembali ke Indonesia
Setelah kembali ke Indonesia, Soedjatmoko kembali menjadi redaktur Siasat. Pada tahun 1952, ia menjadi salah satu pendiri harian Pedoman, yang dimiliki Partai Sosialis Indonesia (PSI); ini disusul oleh pendirian jurnal politik Konfrontasi. Soedjatmoko juga ikut serta dalam pendirian Penerbit Pembangunan yang ia pimpin hingga tahun 1961.[5] Soedjatmoko bergabung dengan PSI pada tahun 1955, dan terpilih sebagai anggota Konstituante pada tahun yang sama; Soedjatmoko bertugas dalam Konstituante hingga badan itu dibubarkan pada tahun 1959.[5] Pada tahun 1955 pula, ia menjadi bagian delegasi Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika; Soedjatmoko juga mendirikan Indonesian Institute of World Affairs dan menjadi sekretaris umum selama empat tahun.[8] Pada tahun 1958, Soedjatmoko menikah dengan Ratmini Gandasubrata. Mereka mempunyai tiga anak perempuan.[1][9]
Menjelang akhir dasawarsa 50-an, Soedjatmoko dan Presiden Soekarno
yang awalnya mempunyai hubungan baik, tidak lagi sejalan karena cara
memerintah Soekarno yang semakin otoriter. Pada tahun 1960, Soedjatmoko
menjadi salah satu pendiri Liga Demokratik yang berusaha untuk
mempromosikan demokrasi di Nusantara;[1] ia juga menolak kebijakan-kebijakan Demokrasi Terpimpin.[7] Ketika usaha itu gagal, Soedjatmoko kembali ke AS dan menjadi dosen di Universitas Cornell di Ithaca, New York.
Ketika ia kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1962, ia mengetahui
bahwa para pembesar PSI telah ditangkap, dan partai politik itu telah
dilarang; selain itu, baik Siasat maupun Pedoman tidak
diberikan izin terbit. Untuk menghindari masalah dengan pemerintah,
secara suka rela Soedjatmoko memilih untuk tidak bekerja sampai pada
tahun 1965, saat ia menjadi salah satu editor buku An Introduction to Indonesian Historiography.[1]
Menjadi duta dan akademisi
Setelah gagalnya Gerakan 30 September pada tahun 1965 dan digantikannya Soekarno oleh Soeharto sebagai Presiden Indonesia,
Soedjatmoko kembali berkontribusi untuk negaranya. Ia menjadi wakil
ketua delegasi Indonesia pada PBB pada tahun 1966, lalu pada tahun
berikutnya ditugaskan sebagai penasihat untuk delegasi PBB tersebut dan
juga untuk Menteri Luar Negeri Adam Malik. Ia juga menjadi anggota International Institute for Strategic Studies, sebuah wadah pemikir di London. Tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1968, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, sebuah jabatan yang ia pegang hingga tahun 1971. Selama menjadi duta besar, Soedjatmoko menerima beberapa gelar doktorat honoris causa (honorer) dari beberapa universitas di Amerika, di antaranya Cedar Crest College pada tahun 1969 dan Universitas Yale pada tahun 1970. Ia juga menerbitkan satu buku lagi, Southeast Asia Today and Tomorrow (Asia Tenggara: Kini dan Besok; 1969).[1]
Soedjatmoko kembali ke Indonesia pada tahun 1971. Setibanya di
Indonesia, ia menjadi Penasihat Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Ia juga menjadi anggota dewan International Institute for Environment
and Development, yang berbasis di London; ia memegang jabatan tersebut
sampai tahun 1976.[1] Pada tahun 1972, Soedjatmoko terpilih sebagai anggota dewan direktur Ford Foundation,
jabatan yang dipegangnya selama dua belas tahun. Pada tahun yang sama
ia menjadi Gubernur Asian Institute of Management, suatu jabatan yang
dipegang selama dua tahun.[1][6]
Tahun berikutnya ia menjadi Gubernur International Development Research
Centre. Pada tahun 1974, berdasarkan dokumen palsu ia dituduh telah
merencanakan peristiwa Malari
yang terjadi pada bulan Januari 1974, yaitu suatu peristiwa ketika
mahasiswa melakukan demonstrasi dan akhirnya massa berhuru-hara di
tengah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.
Soedjatmoko ditahan selama dua setengah minggu untuk interogasi, dan ia
tidak diizinkan meninggalkan Indonesia selama dua setengah tahun.[1] Pada masa pemerintahan Orde Baru, Soedjatmoko termasuk salah seorang yang sangat kritis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah waktu itu.[10]
Pada tahun 1978, Soedjatmoko menerima Penghargaan Ramon Magsaysay untuk Hubungan Internasional yang kerap disebut Nobel Prize untuk Asia.[1][6] Alasan mengapa penghargaan itu diberikan kepadanya dikutip sebagian di bawah:
“ | Dengan mendorong baik orang Asia maupun orang luar untuk melihat cara tradisional pedesaan yang mereka hendak memodernisir, [Sodjatmoko] membuat orang semakin sadar akan dimensi manusia yang diperlukan dalam pembangunan. [...] Tulisannya sudah menambahkan banyak pengetahuan dalam pemikiran internasional mengenai apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi salah satu tantangan terbesar masa kini; bagaimana membuat kehidupan lebih baik dan memuaskan untuk 40 persen orang Asia Tenggara dan Asia Selatan yang paling miskin.[7] | ” |
Dalam menanggapi penghargaan itu, Soedjatmoko menyatakan bahwa ia
merasa "rendah hati, karena kesadaran[nya] bahwa sumbangan sekecil
apapun yang [ia] buat masih jauh lebih kecil daripada masalah kemiskinan
dan kesengsaraan manusia di Asia, dan seberapa banyak kerja yang mesti
diselesaikan."[11]
Universitas PBB dan kematian
Pada tahun 1980 Soedjatmoko pindah ke Tokyo, Jepang. Pada bulan September, ia mulai berjabat sebagai rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa,
menggantikan James M. Hester. Di universitas tersebut, Soedjatmoko
menjadi rektor hingga tahun 1987. Selama di Jepang ia menerbitkan dua
buku lagi, The Primacy of Freedom in Development dan Development and Freedom. Pada tahun 1985, ia menerima penghargaan Masyarakat Asia (Asia Society Award), dan mendapatkan Universities Field Staff International Award untuk Distinguished Service to the Advancement of International Understanding tahun berikutnya.[6][9] Soedjatmoko meninggal karena serangan jantung pada tanggal 21 Desember 1989, saat tengah menyampaikan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar