Senin, 15 Juli 2013

Akhir Tugas Sebagai Diplomat Yang Menegangkan

  Barangkali pengalaman yang saya alami yang akan saya ceritakan ini juga pernah dialami oleh rekan yang lainnya. Namun demikian, apa yang saya alami menjelang akhir tugas setelah 40 tahun mengabdikan diri pada Departemen Luar Negeri RI (Deplu) dan sebagai diplomat, merupakan pengalaman yang mengesankan dan mendebarkan dan nyaris membawa kegagalan tugas sebagai wakil Negara Republik Indonesia di Negara Akreditasi.

     Adalah merupakan kehormatan dan kebahagian bagi seorang Kepala Perwakilan mendapat kesempatan untuk menerima kunjungan Kepala Negara ke negara akriditasinya, apalagi ini merupakan yang ke-2 kalinya saya mendapat kehormatan atas kunjungan Kepala Negara, yang pertama pada waktu saya menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Houston, Amerika Serikat. Kunjungan balasan Presiden RI ini dilakukan pada waktu hubungan politik antara Afrika Selatan dan Indonesia agak terganggu oleh masalah Timor Timur (Timtim). Afrika Selatan yang baru saja bebas dari pemerintahan aparteid, mendukung kemerdekaan Timor Timur dan menginginkan agar Xanana Gusmao dilepas dari tahanannya yang katanya merupakan kunci penyelesaian masalah Tim Tim. Persiapan kunjungan ini sebagaimana biasa didahului dengan kedatangan 'advance team' ke Pretoria; mereka meninjau lokasi yang akan dikunjungi juga membuat acara kunjungan sesuai kesepakatan ke dua belah pihak. Presiden RI akan diterima Presiden Repbulik Afrika Selatan di Cape Town karena pada waktu itu sedang berlangsung Sidang Parlemen Afrika Selatan dan Presiden Mandela sesuai kebiasaan untuk beberapa waktu berada di sana. Perlu diketahui Afrika Selatan mempunyai 3 Ibu kota, Pretoria untuk Ibu Kota Eksekutif, Cape Town untuk Legislatif dan Bloem Fountein untuk Yudikatif.
     Hari pertama kunjungan presiden berjalan dengan lancar, demikian pula acara makan malam. Hadir dari pihak Indonesia kecuali delegasi RI resmi juga semua anggota rombongan KADIN yang mengikuti kunjungan Presiden RI. Hari berikutnya, hari Jum'at pagi Presiden mengunjungi pameran yang diselenggarakan oleh beberapa pengusaha Indonesia, siangnya rencana semula akan bersembahyang di Masjid yang bersejarah dimana penyebaran Agama Islam dimulai oleh Syekh Yusuf, Pejuang Indonesia asal Makasar yang diasingkan Pemerintah Belanda ke sana. Akan tetapi acara ini dibatalkan atas pertimbangan keamanan dan bersembahyang Jum'at berlangsung di Grand Ballroom di Hotel dimana Presiden dan rombongan menginap, dengan Imam dan Khotib seorang tokoh keturunan Indonesia, Syeik A Gabier, Pengurus Indonesia South African Freindship Society (SAFS). Malam harinya ada perundingan antara kedua delegasi, fokus pada masalah Tim Tim. Jalannya perundingan ini tegang dan tidak ada kesepakatan yang dihasilkan, masing-masing pihak mempertahankan argumen dan pendiriannya. Kembali ke kamar di Hotel, saya ditelpon oleh Sekretaris Kabinet yang pada saat itu dijabat oleh Prof. Jakes Gerwel, menanyakan konfirmasi tentang rencana penganugerahan Bintang kepada Presiden Soeharto oleh Presiden Nelson Mandela sebelum rombongan Presiden RI meninggalkan Afrika Selatan. Saya pikir saya harus menanyakan kepada Menlu, Mensekneg dan Kepala Protokol Negara. Acara itu memang tercantum dalam buku acara kunjungan, akan tetapi rupanya Afrika Selatan ingin kepastian Presiden Soeharto menerima bintang tersebut. Dari ketiga pejabat pejabat tersebut saya tidak memperoleh jawaban yang pasti dan saya janjikan kepada Sekretaris Kabinet bahwa saya akan menyampaikan konfirmasi tersebut segera setelah saya peroleh. Besok, hari ketiga kunjungan direncanakan mengunjungi makam Syekh Yusuf. Pagi-pagi sebelum berangkat saya ditelpon lagi oleh Sekkab dan Dubes Afrika Selatan untuk Indonesia, BS Kubheka. Saya janjikan sepulang dari kunjungan ke makam Syekh Yusuf akan saya sampaikan. Saya merasa mendapat tekanan, karena itu saya harus mendapat konfirmasi hari ini, satu-satunya jalan ialah berbicara langsung dengan Presiden.
     Dalam perjalanan ke makam, saya mendampingi Presiden dalam satu mobil dan inilah kesempatan saya bicara. Saya katakan bahwa dari Sekretaris Kabinet ada telpon menanyakan konfirmasi penganugerahan Bintang tertinggi Afrika Selatan, yaitu: Good Hope Grand Cross Gold Class, Bintang kehormatan yang hanya dianugaerahkan kepada perorangan tertentu terutama Kepala Negara, bagaiaman perkenan Bapak Presiden. Beliau terdiam dan tidak ada kata yang diucapkannya.
Saya menunggu dengan berdebar, tapi lama tidak ada jawaban. Saya belokkan pembicaraan pada keadaan kehidupan kulit hitam di Afrika Selatan, mereka bermukim terpisah dari pemukiman kulit putih, lokasi itu dinamakan Township, warisan pemerintah apartheid. Juga tentang tempat-tempat berburu dan masalah pertanian/perkebunan yang dikuasai kulit putih. Rupanya ceritera itu menarik bagi beliau. Ada beberapa perkataan yang beliau keluarkan sehingga suasana tegang menjadi cair, tapi jawaban yang saya tunggu-tunggu tidak keluar juga. Saya harus berusaha terus. Perjalanan tidak terlalu lama, kita sampai di makam dan saya belum mengantongi jawaban dari beliau mengenai pertanyaan yang saya ajukan. Saya agak khawatir dan makin berdebar-debar. Saya tidak dapat berkonsentrasi dalam kunjungan ke makam tersebut, padahal Presiden Soeharto memberikan sumbangan untuk mendirikan masjid dan pemeliharaan makam Syekh Yusuf. Dalam pada itu Dubes Afrika Selatan di Jakarta  mengejar saya terus dengan nada yang agak tinggi menanyakan hal tersebut. Ditambahkan lagi Presiden Mandela sudah menunggu di Johanesburg. Saya katakan nati saya akan hubungi sepulang dari kunjungan itu, karena saya yakin saya akan mendapat jawaban positif. Rupanya Kubheka juga khawatir acara tersebut akan batal. Tidak mungkin Pak Harto tidak mau menerima Bintang tersebut, karena hal itu tidak bijaksana, bagaimana akibatnya apabila hal itu terjadi. Saya harus memperolah konfirmasi dari beliau. Selama kunjungan tersebut saya berfikir terus bagaimana caranya untuk memperoleh jawaban itu. Kunjungan selesai dan saya kembali mendampingi Pak Harto dalam mobil kepresidenan. Di tengah perjalanan saya terfikir akan mengubah pertanyaan yang saya akan ajukan kepada beliau dan saya ucapkan begini: Mohon maaf Pak, apakah acara besok pagi tidak ada perubahan?. Beliau terdiam sejenak, tidak langsung menjawab, kemudian beliau berkata kepada ajudan beliau yang duduk di depan /di samping supir: Siapkan perjalanan pulang besok pagi sesuai acara. Betapa saya gembira mendengar ucapan itu, karena dengan ucapan itu berarti pak Harto dapat menerima acara penganugerahan Bintang.
     Sesampai di hotel saya sampaikan kepada kawan-kawan yang telah saya sebutkan diatas dan pada Prof. Jakes Gerwel dan kawan saya Dubes Kubheka. Saya merasa beban saya enteng dan merasa bahwa tugas saya, selaku Kepala Perwakilan telah saya lakukan sebagaimana mestinya. 
Hubungan antara kedua negara tidak mengalami kehebohan dan adalah tugas seorang Duta Besar antara lain untuk memelihara hubungan baik antara kedua negara.
    Saya menduga sikap beliau begitu rupa karena didasari kekecewaan beliau atas hasil perundingan semalam terutama sikap Afrika Selatan yang tetap kukuh pada pendiriannya semula, padahal Indonesia selalu membantu Afrika Selatan untuk terlepas dari kekuasaan apartheid dan sesudah itu, tapi itu hanya dugaan saya saja. Wallahualam bissawab.
     Setelah peristiwa itu saya percaya apa yang dikatakan orang bahwa kita harus pandai-pandai mengartikan ucapan maupun gerakan yang diisyaratkan dan diperlihatkan Pak Harto, seperti kalau beliau 'mangguk-mangguk' itu tidak berarti beliau setuju. Dalam perjalanan ke Airport rombongan singgah dahulu di Istana Presiden Afrika Selatan di Cape Town untuk suatu upacara resmi penganugerahan Bintang Good Hope Grand Cross Gold Class, yang disampaikan oleh Presiden Mandela kepada Presiden Soeharto. Kurang lebih setahun setengah kemudian, saya mengakhiri tugas di Afriak Selatan dan sekaligus juga mengakhiri karir di Deplu karena saya sudah melampui batas usia pensiun. Alhamdulillah tugas saya dapat saya selesaikan dengan membawa kenangan dan dari sekian kenangan yang menyenangkan dan menyakitkan yang saya alami, kenganan yang satu ini yang paling berkesan. Kembali ke Jakarta pada waktu itu tampuk pimpinan Pemerintahan Indonesia sudah berganti.
----*Rachadi Iskandar*----
--- Penulis adalah Pensiunan Deplu---

4 komentar:

  1. Kepri Houston kok ngurusin kunjungan presiden di Afsel, trus katanya ada 2, mana pengalaman keduanya...???!!!

    BalasHapus
  2. Sewaktu menjabat sebagai keppri di Houston, beliau (pak Harto) pernah datang kesana. dan pada jabatan berikutnya sebagai Keppri di Afsel pak Harto juga berkunjung ke Afsel. Demikian penjelasan.

    BalasHapus
  3. Keppri pertama di Houston, Amerika Serikat, kedua di Roma, Italia dan ketiga di Pretoria, Afrika Selatan.

    BalasHapus
  4. Keppri pertama di Houston, Amerika Serikat, kedua di Roma, Italia dan ketiga di Pretoria, Afrika Selatan.

    BalasHapus