Beruntung saya berkesempatan menonton Slumdog Millionaire lewat cd, tentu saja cd bajakan di rumah teman. Seorang teman mantan Menteri mengatakan kepada saya film Danny Boyle pemenang award itu sangat bagus. Sayang saya gagal mengejarnya ketika disajikan oleh layar theater Blitz.
Babak demi babak film itu memaparkan apa yang kita lihat di Indonesia. Anehnya pada awal-awal ceritanya saya mereasa menonton film yang shootingnya di Jakarta atau sekitarnya--atau di mana pun daerah kumuh yang luas di negara kita. Tergambar gerbong kereta api yang sesak dengan penumpang yang berjuntai-juntai, anak-anak miskin yang dijuragani 'taoke' mengemis kian kemari. Bedeng-bedeng dengan kekumuhan mencolok dan anak-anak berlari kian kemari melangkahi timbunan kotoran di hampir semua permukaan tanah. Anak-anak perempuan ingusan yang jatuh ke jurang pelacuran; dan yang laki-laki terjerumus dalam dunia hitam penuh kekerasan. Film ini dibuat di India dan diperankan pula oleh orang India.
Bagi kita pengembangan film itu adalah realita, dapat ditonton dengan kasat mata di banyak tempat di ibukota kita. Yang diluar realita dalam film tersebut adalah jalinan cerita yang sinematik, ada jalinan cinta dan ada kemujuran. Jamal, pemeran pria anak-anak dan kemudian berangkat remaja, dpat menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan host program Who Want To Be Millionaire. Pengalaman yang mampu diserapnya dalam hidup keras itu bermanfaat baginya untuk memenangkan program kuis tersebut. Dia dengan ajaib pula tetolong oleh kemujuran.
Itulah film dan filmisasi. Gabungan kenyataan berat dan nestapa berakhir dengan ending yang fantastis.. Ending untuk memuaskan hati dan harapan penonton.
Bagi kita film itu menyajikan pesan tersendiri, mungkin. Bisa saja ada keberuntungan bagi anak daerah kumuh atau anak jalanan untuk maju ke depan, entah karena memanfaatkan pengalaman yang dilaluinya, entah juga karena ditambah dengan kemujuran. Keberuntungan itu memang sudah juga diraih oleh beberapa diantara mereka, seperti salah seorang pemenang Indonesian Idol.
Pesan lain adalah membukakan mata kita lebih lebar. Jangan karena kejenuhan kita melihat kemiskinan di seluruh tapak kehidupan maka kita lebih merasa terhidubur dengan menonton sinetron yang penuh dengan glamor, tangisan picisan, sesak dengan perselingkuhan dan sarat dengan kedengkian-yang sama sekali tidak menggambarkan kehidupan yang riil pada umumnya dinegeri ini.
Bagi produser film, semoga mendekati alam realistis Indonesia. Lebih banyak kehidupan nyata itu yang menanti penggarapan-dan lebih mengandung makna-daripada "mengelabui" diri sendiri.
Anak-anak dan keluargayang tidak beruntung dan tertekan dalam kehidupan yang berat, hendaknya dengan cepat dapat ditolong-dan jika mungkin menolong diri sendiri dengan lebih kreatif.
"Anjing Kumuh" bukanlah suatu celaan. Ia mengingatkan betapa beratnya kehidupan di daerah kumuh. Tanpa kemudahan, tanpa kehidupan yang layak. Istilah slumdog melukiskan realitas berat yang perlu segera lebih diperhatikan dengan hati sanubari, dengan kesadaran semua pihak yang lebih beruntung.
----Amiruddin Noor-----
----Penulis adalah Pensiunan Pegawai Negeri-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar