ARTIS, yang karena profesinya biasa tampil, bisa memberi banyak kontribusi pada partai politik yang menaungi. Dengan
memanfaatkan latar belakang sebagai artis, dalam acara-acara partai,
misalnya, mereka bisa menjadi pembawa acara, MC, atau bahkan jadi
pengisi acara kalau kebetulan bisa nyanyi, menari, atau melawak.
Partai
tak perlu repot lagi harus mengundang artis untuk jadi MC atau mengisi
acara dan mengeluarkan banyak dana. Cukup dengan mengerahkan kader yang
berprofesi artis.
Saat partai menggelar acara di daerah, kehadiran
kader artis juga bisa ikut memeriahkan suasana. Apalagi kalau si artis
tampan atau cantik. Masyarakat pasti senang melihat kehadiran mereka.
Dibanding bertemu politisi yang serius, dengan wajah kusut, apalagi
tidak terkenal, korup lagi, masyarakat pasti lebih antusias dan terhibur
bertemu artis yang berwajah rupawan.
Kalau pun tidak rupawan,
paling tidak keterkenalan si artis bisa jadi penggoda untuk mengumpulkan
kerumunan. Siapa juga yang tidak suka berdekatan dengan orang terkenal,
artis?
Artis, dengan popularitas yang dimiliki, juga bisa
mendongkrak popularitas partai tempatnya bernaung. Mungkin juga bisa
mengangkat para politisi di partai yang sama. Kalau Anda politisi tapi
sama sekali tidak terkenal, Anda bisa nebeng popularitas mereka. Hanya
dengan duduk berdampingan dengan artis dan disorot kamera wartawan, atau
sering bepergian berdua dengan si artis terkenal, pelan-pelan
popularitas Anda akan ikut terkerek.
Soal mengerek popularitas,
ini jurus yang biasa diterapkan dalam dunia selebriti. Manajemen yang
menangani artis baru yang akan merilis album, misalnya, biasa merekayasa
gosip. Salah satu cara yang biasa dipakai, si artis baru diisukan
pacaran dengan artis yang sudah terkenal yang kebetulan satu manajemen.
Begitu media heboh memberitakan, posisi si artis baru pun segera setara
dengan si artis senior yang sudah terkenal. Jurus menempelkan nama pada
artis yang sudah lebih dulu populer, ini sangat efektif menaikkan
popularitas pendatang baru.
Selain bisa mendatangkan kerumunan,
artis juga efektif untuk mendatangkan media. Contoh sederhana yang sudah
sering terjadi. Beberapa artis yang mendaftar sebagai caleg kemarin,
diliput media dengan heboh. Apa media mau berdatangan meliput kalau si
caleg bukan artis dan tidak terkenal? Partai butuh media untuk
mengkomunikasikan program. Media butuh nama dan peristiwa untuk
dijadikan berita. Dan, artis selalu menarik diberitakan.
Kader
artis yang memiliki pemahaman cukup pada visi misi dan kebijakan partai,
juga bisa berperan lebih efektif kalau dijadikan juru bicara atau
humas. Memajukan artis sebagai humas bisa membuat citra partai jadi
lebih ngepop, selain membuat wartawan lebih tertarik untuk mewancarai.
Pendeknya,
kehadiran artis bisa memberi banyak manfaat pada partai politik yang
menaungi. Dari sisi si artis, partai juga bisa menjanjikan peluang
karier baru yang tak kalah menjanjikan dibanding profesi awalnya.
Sama-sama menguntungkan, sama-sama mendapat manfaat.
***
Tapi adakah ruginya partai politik punya kader artis?
Tak
semua artis, baik yang terkenal apalagi kurang terkenal, bisa
mengangkat imej partai. Produsen satu produk, biasanya akan melakukan
kajian serius sebelum memilih satu artis untuk dijadikan bintang iklan
atau brand ambassador. Mereka akan memilih artis yang imejnya bisa
mengangkat imej produknya, bukan malah sebaliknya, merusak imej produk.
Partai politik juga perlu menggunakan teori ini sebelumnya memajukan
seorang artis sebagai representasi partai.
Satu lagi yang tak
kalah penting, pastikan artis yang sudah menjadi kader partai tidak
tersangkut kasus hukum. Karena, bila itu terjadi, tak hanya media umum
(yang biasa memberitakan isu politik) yang akan berdatangan meliput,
tapi juga situs hiburan seperti tabloidbintang.com ini, tabloid dan juga
infotainment.
Bisa sama-sama kita bayangkan dampaknya kalau satu
kasus tercela, diberitakan oleh berbagai media, umum dan hiburan, dengan
gencar dan terus menerus. Dari anak kecil sampai kakek-nenek,
laki-laki-perempuan, semua tahu artis A yang jadi kader partai X itu
koruptor. Di sini partai politik bisa mengukur seberapa besar dampak
pemberitaan masif media.
Kasus korupsi yang melibatkan kader
Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, misalnya, semula hanya diberitakan
media umum. Tapi begitu nama Angelina Sondakh juga ikut terlibat, jumlah
media yang meliput jadi berlipat. Media hiburan
online/cetak/infotaiment ramai-ramai ikut memberitakan.
Hal yang
sama juga terjadi pada kasus korupsi kuota impor daging dengan tersangka
Ahmad Fathanah dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan
Ishaaq. Media hiburan baru ikut heboh memberitakan setelah muncul
nama-nama artis (dari penyanyi dangdut sampai model seksi) dalam kasus
ini. Saking hebohnya pemberitaan nama-nama wanita yang ikut terseret
kasus ini, seolah mengalahkan isu korupsinya sendiri.
Tapi apakah
media hiburan lebih powerful, punya kemampuan memengaruhi yang lebih
dahsyat? Mungkin tidak. Tapi mereka yang mengonsumsi media hiburan ini
umumnya orang-orang yang tidak tertarik politik, dan sebagai warga
negara mereka mempunyai hak pilih yang akan digunakan pada waktunya.
Merekalah
calon pemilih, yang belum menentukan pilihan karena bukan kader partai
politik mana pun, yang tak bisa diabaikan. Dan, jumlah mereka terlalu
besar untuk tidak dianggap serius.***
(yb/ade)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar