Terorisme Timur Tengah dan Sistem Ideologi Amerika (1/3)
Oleh: Noam Chomsky
Pada 17 Oktober 1985, Presiden Reagan bertemu di
Washington dengan Perdana Menteri Israel Shimon Peres, yang
berkata kepadanya bahwa Israel telah siap mengambil
"langkah- langkah besar" di Timur Tengah dan memperluas
"tangan perdamaian" ke Yordania. "Kunjungan Mr. Peres
berlangsung pada saat hubungan Amerika-Israel sangat
harmonis," komentar David Shipler di Times, mengutip
seorang pejabat Departemen Luar Negeri yang melukiskan
hubungan AS dan Israel sebagai "luar biasa kuat dan
intimnya". Dan memang, Peres disambut hangat oleh media
Amerika sebagai tokoh perdamaian, dan memuji
komitmen-kukuhnya untuk "lebih baik menanggung biaya
perdamaian daripada membayar harga peperangan", dalam
kata-katanya sendiri. Presiden berkata bahwa ia dan Mr.
Peres membahas "momok bengis terorisme, yang telah membegal
begitu banyak korban Israel, Amerika, dan Arab, dan
menimbulkan petaka kepada banyak orang lainnya", lalu
menambahkan, "Kami sepakat bahwa terorisme tidak boleh
merintangi upaya-upaya kami untuk mencapai perdamaian di
Timur Tengah."1
Agaknya dibutuhkan bakat-bakat seorang Jonathan Swift
untuk bertindak adil terhadap pembicaraan antara dua
komandan teroris terkemuka dunia ini, yang sama-sama
memegang konsepsi tentang "perdamaian" yang, selanjutnya,
menggusur sepenuhnya salah satu dari kedua kelompok yang
mengklaim hak menentukan nasib sendiri di bekas Palestina:
penduduk asli. Lembah Yordan merupakan "bagian tak
terpisahkan dari Negara Israel," kata sang tokoh perdamaian
Shimon Peres ketika mengunjungi permukiman-permukiman Israel
di sana pada 1985, konsisten dengan pendirian-gigihnya bahwa
"Masa silam itu abadi dan Alkitab adalah dokumen yang tegas
dalam menentukan nasib tanah air kita", dan bahwa sebuah
negara Palestina akan "mengancam langsung eksistensi
Israel".2
Konsepsinya tentang sebuah negara Yahudi, yang banyak dipuji
di Amerika lantaran moderasinya, tidak mengancam,
tetapi cuma melenyapkan eksistensi bangsa Palestina.
Tetapi, konsekuensi ini dianggap sepele saja, paling buruk
hanya dipandang sebagai cacat kecil dalam sebuah dunia yang
memang tak sempurna.
Baik Peres maupun semua pemimpin lain Israel tak pernah
beringsut seinci pun dari posisi Chaim Herzog pada 1972,
bahwa bangsa Palestina tidak akan pernah menjadi "mitra
dalam segala bentuk di tanah yang telah dinyatakan suci
untuk bangsa kita selama beribu-ribu tahun", walaupun para
"merpati" lebih menginginkan supaya daerah-daerah Tepi Barat
yang padat penduduk Arab dikeluarkan dari Negara Yahudi
untuk menghindari apa yang secara eufimistis mereka sebut
"problem kependudukan". Mantan kepala dinas intelijen
Israel, Shlomo Gazit, pejabat senior dalam pemerintahan
militer dari 1967 sampai 1973, menyatakan prinsip dasarnya
adalah "bahwa dirasa perlu untuk mencegah penduduk
daerah-daerah (pendudukan) dari keikutsertaan dalam mewarnai
masa depan politik di wilayah itu, dan mereka tidak boleh
dipandang sebagai mitra untuk berhubungan dengan Israel";
sehingga, "dilarang mutlak (bagi mereka) untuk menjalankan
segala macam organisasi politik, sebab sudah dengan jelas
dipahami oleh setiap orang bahwa jika organisasi dan
aktivitas politik diizinkan, para pemimpinnya akan menjadi
peserta-peserta potensial dalam urusan politik".
Pertimbangan-pertimbangan serupa mengharuskan "penghancuran
semua prakarsa dan setiap upaya di pihak penduduk
daerah-daerah itu untuk berperan sebagai saluran bagi
perundingan-perundingan dan untuk menjadi penghubung bagi
para pemimpin Arab Palestina di luar daerah-daerah
tersebut". Gazit menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah
Israel adalah sebuah "kisah sukses", sebab tujuan-tujuan ini
--yang tetap kukuh sampai hari ini-- telah tercapai. Posisi
Israel, dengan didukung AS, tetap seperti sikap Perdana
Menteri (sekarang Menteri Pertahanan) Yitzhak Rabin, ketika
PLO dan negara-negara Arab mengajukan usulan untuk pemecahan
damai dua-negara kepada PBB pada Januari 1976: Israel akan
menolak setiap perundingan dengan PLO, bahkan sekalipun ia
mengakui Israel dan menghentikan terorisme, dan tidak akan
masuk dalam "perundingan-perundingan politik dengan bangsa
Palestina", PLO atau bukan.3
Baik Peres maupun Reagan tidak akan mau untuk sekadar
mempertimbangkan usulan-usulan jelas PLO --yang diketahui
oleh keduanya memperoleh dukungan melimpah di kalangan
bangsa Palestina dan betul-betul sama sahnya dengan yang
dilakukan organisasi Zionis pada 1947-- untuk
menyelenggarakan perundingan-perundingan yang mengarah pada
pengakuan timbal-balik dalam pemecahan dua-negara, sesuai
dengan konsensus internasional luas yang telah dirintangi
pada setiap kesempatan oleh AS dan Israel selama
bertahun-tahun.4
Realitas-realitas politik yang rawan ini memberi kerangka
yang perlu bagi setiap pembahasan tentang "momok bengis
terorisme". Dalam pengertian-pengertian rasis dalam
diskursus Amerika, hal ini berarti menunjuk pada aksi-aksi
teroris oleh bangsa Arab, tapi tidak oleh Yahudi,
sebagaimana "perdamaian'" berarti penanganan yang
menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Yahudi,
tapi tidak bagi bangsa Palestina.
Peres tiba di Washington untuk membicarakan perdamaian
dan terorisme dengan mitra kriminalnya, langsung setelah ia
mengirim pesawat-pesawat pembom untuk menyerang Tunisia. Di
sinilah tempat mereka membunuh 20 orang Tunisia dan 55 orang
Palestina, menurut wartawan Israel Amnon Kapeliouk yang
melaporkan dari tempat kejadian. Sasarannya sama sekali tak
punya pertahanan: "sebuah kompleks peristirahatan yang
terdiri dari beberapa lusin rumah, penginapan-penginapan,
dan kantor-kantor PLO yang bersebelahan dan bercampur
sedemikian rupa sehingga dilihat dari dekat pun kita sukar
membedakan" tempat-tempat itu.
Senjata-senjatanya lebih canggih daripada yang digunakan
di Beirut, tampaknya "bom-bom pintar", yang meremukkan
sasaran-sasaran mereka sampai jadi abu. "Orang-orang yang
berada di gedung-gedung yang dibom remuk sampai tak dapat
dikenali. Mereka menunjukkan kepada saya foto-foto korban.
'Anda boleh mengambilnya,' kata mereka kepada saya. Saya
meninggalkan foto-foto itu di kantor. Tidak ada satu pun
surat kabar di dunia ini yang akan memuat foto-foto
menyeramkan semacam itu. Saya diberi tahu bahwa seorang
bocah Tunisia yang sedang menjual roti di dekat markas besar
(PLO) hancur berkeping-keping. Ayahnya mengenali tubuhnya
dari sebuah bekas luka di pergelangan kakinya. 'Sebagian
yang terluka dikeluarkan dari reruntuhan, kelihatannya
sehat-sehat saja dan tidak parah,' tutur pemandu kepada
saya. 'Setengah jam kemudian mereka menggelepar-gelepar dan
pingsan, lalu mati. Rupanya organ-organ dalam mereka hancur
karena kekuatan ledakan'."5
Tunisia menerima pejuang Palestina atas perintah Reagan
setelah mereka terusir dari Beirut dalam invasi dukungan AS
yang menewaskan sekitar 20.000 orang dan menghancurkan
bagian-bagian besar negeri itu. "Kalian memakai godam untuk
membunuh kupu-kupu," begitu dikatakan kepada wartawan
militer Israel Ze'ev Schiff oleh "tokoh penting Pentagon,
seorang jenderal yang sangat mengenal dinas militer Israel
(IDF) dan beberapa angkatan darat lain di kawasan ini".
"Kalian menghajar banyak penduduk sipil tanpa perlu. Kami
sangat kaget melihat sikap kalian terhadap penduduk sipil
Lebanon." Keterkejutan serupa juga dirasakan oleh serdadu
dan para perwira senior Israel yang ngeri menyaksikan
kebuasan serangan ini dan perlakuan kejam terhadap penduduk
sipil dan Para tawanan6
--walaupun dukungan di Israel untuk agresi ini dan tim
Begin-Sharon meningkat seiring dengan
penganiayaan-penganiayaan, yang mencapai puncak amat tinggi
setelah pemboman dahsyat atas Beirut pada
Agustus.7 Shimon
Peres, sang tokoh perdamaian dan figur terpandang dalam
Sosialis Internasional, tetap membungkam sampai harga-harga
yang harus dibayar Israel mulai memuncak dengan
pembantaian-pembantaian pasca-perang di Sabra dan Shatila,
dan biaya itu dibayarkan kepada pertahanan rakyat Lebanon,
yang melenyapkan rencana Israel untuk membentuk "Orde Baru"
di Lebanon. Israel menguasai kawasan-kawasan luar di selatan
dan sisanya digenggam oleh sekutu-sekutu Phalangis Israel
dan elite-elite Muslim tertentu.
Tidak dapat diragukan, komentar Kapeliouk, bahwa Arafat
merupakan sasaran serangan Tunisia itu. Di kantor PLO tempat
ia ,diamankan, sebuah foto Arafat berdiri di tengah
reruntuhan dengan judul, "Mereka mau membunuhku, bukan ingin
berunding denganku".
"PLO ingin sekali mengadakan perundingan-perundingan,"
kata seorang tokoh PLO kepada Kapeliouk, "tapi Israel
menolak setiap pembicaraan"--sebuah pernyataan gamblang
tentang fakta yang dengan efektif disembunyikan oleh media
AS atau, lebih buruk lagi, dikubur lantaran tak relevan
menurut premis-premis rasis yang dijadikan pedoman.
Keterlibatan AS dalam serangan Tunisia juga tak dapat
diragukan dengan serius. AS bahkan tak memperingatkan para
korban --sekutu-sekutu dekat Amerika-- bahwa para pembunuh
sedang mengintai. Orang yang mempercayai kepura-puraan AS
bahwa Armada Keenam dan sistem pengawasan ekstensif AS di
kawasan itu tak mampu mendeteksi pesawat-pesawat Israel yang
mengisi bahan bakar selama terbang di atas Mediterania,
perlu meminta penyelidikan Konggres tentang ketidakandalan
total militer Amerika, yang jelas akan membiarkan kita dan
sekutu-sekutu kita terbuka lebar bagi serangan musuh.
"Laporan-laporan berita kini mengutip sumber-sumber
pemerintah yang mengatakan bahwa Armada Keenam AS pasti tahu
tentang datangnya serangan, tapi memutuskan untuk tak
memberi tahu para pejabat ,Tunisia," lapor Los Angeles
Times, mengutip kantor-kantor berita. Tetapi,
"pernyataan yang amat penting itu tak dilaporkan dalam
koran-koran besar pantai timur, The New York Times
dan The Washington Post, tidak juga dalam koran-koran
lain AS, tak pula ia dimanfaatkan dalam kantor-kantor berita
internasional (AP dan PPI)," ungkap koresponden
Economist London di Timur Tengah, Godfrey Jansen,
yang menambahkan bahwa "persekongkolan pasif AS
sungguh-sungguh tampak jelas".8
Salah seorang korban pemboman Tunisia adalah Mahmoud el
Mughrabi, kelahiran Jerusalem pada 1960. Dia pernah ditahan
dua belas kali pada usia enam belas tahun, salah satu
informan penyelidikan London Sunday Times tentang
penganiayaan di Israel (19 Juni 1977), yang "bermaksud
melarikan diri ke Yordania sesudah bertahun-tahun hidup
menderita di bawah kondisi-kondisi yang terus memburuk oleh
pendudukan militer." Demikian menurut catatan kenangan oleh
sahabat-sahabat Yahudi Israelnya yang berkali-kali dilarang
dimuat di koran-koran Arab di Jerusalem Timur oleh
penyensoran militer Israel.9
Fakta-fakta ini, sudah tentu, tak digubris di Amerika
Serikat. Ini hanya lantaran studi Sunday Times itu
umumnya disingkirkan dari pers, walaupun ia dikutip di
New Republic yang liberal, bersama dengan suatu
pembelaan terang-terangan atas penganiayaan terhadap orang
Arab, yang tak menimbulkan reaksi
publik."10
Amerika Serikat secara resmi menyambut hangat pemboman
Israel atas Tunisia ini sebagai "sebuah respons yang sah"
terhadap "serangan-serangan teroris". Menteri Luar Negeri
Shultz menegaskan penilaian ini dalam percakapan telepon
dengan Menlu Israel Yitzhak Shamir, dan mengabarkan bahwa
Presiden dan pejabat-pejabat lainnya "teramat bersimpati
dengan tindakan Israel ini," kata laporan pers." AS menarik
kembali dukungan terbuka ini sesudah munculnya reaksi di
seluruh dunia, tetapi ia abstain dari kutukan Dewan Keamanan
PBB terhadap "tindakan agresi bersenjata" yang
"terang-terangan melanggar Piagam PBB, hukum internasional
dan norma-norma perilaku" --seperti biasa, yang bersikap
abstain hanya AS sendirian. Iklim kultural dan intelektual
di Amerika tercermin dari kenyataan bahwa abstain ini
dikecam keras karena dipandang sebagai bentuk lain dari
pendirian "pro-PLO" dan "anti-Israel", dan penolakan untuk
menghajar habis para teroris --yang diseleksi dengan
seksama.
Orang boleh menandaskan bahwa pemboman Israel tersebut
tidaklah termasuk dalam kategori terorisme internasional
sebab itu merupakan agresi yang kejahatannya jauh lebih
serius, seperti ditegaskan oleh Dewan Keamanan PBB. Atau,
orang dapat menegaskan bahwa tidaklah adil untuk menerapkan
kepada Israel definisi "terorisme internasional" yang
dirumuskan pihak lain. Untuk menangkis penegasan terakhir,
kita boleh mempertimbangkan doktrin Israel sendiri, seperti
dirumuskan oleh Duta Besar Benjamin Netanyahu di sebuah
Konferensi Internasional tentang Terorisme. Faktor khas
dalam terorisme, katanya menjelaskan, adalah "pembunuhan
sistematis dan sengaja dan pencekaman (penduduk sipil) yang
dimaksudkan untuk menimbulkan rasa
takut",12
Jelaslah bahwa serangan Tunisia dan kebiadaban-kebiadaban
Israel lainnya selama berpuluh tahun masuk dalam konsep ini,
meskipun kebanyakan aksi terorisme internasional tidak
termasuk. Misalnya, serangan-serangan teroris yang paling
ganas terhadap orang Israel (Ma'alot, pembantaian Munich,
kekejaman di daerah pantai pada 1978 yang dijadikan dalih
bagi penyerbuan Lebanon, dan lain-lain), atau bahkan
pembajakan pesawat terbang atau penyekapan sandera, yang
banyak sekali disoroti dan merupakan topik pokok konferensi
yang ia hadiri.
Serangan atas markas besar Arafat tersebut diduga sebagai
pembalasan bagi pembunuhan tiga orang Israel di Larnaca,
Cyprus, oleh para penyerang yang kemudian tertangkap dan
diadili karena kejahatan mereka. "Para diplomat Barat ahli
PLO" meragukan bahwa Arafat mengetahui misi terencana itu,
dan "Pihak Israel juga sudah mencabut tuduhan awal mereka
bahwa Mr. Arafat terlibat".13
Para pembela terorisme Israel di Amerika, yang mencoba
meyakinkan kita bahwa "berondongan bom Israel di Tunisia
tepat mengenai orang-orang yang bertanggung jawab atas
aktivitas-aktivitas teroris", amat meragukan; mereka juga
menjelaskan bahwa apa pun fakta-fakta yang ada, "tanggung
jawab moral yang besar bagi kebiadaban-kebiadaban ...
semuanya berada di pundak Yasser Arafat "karena" dia sejak
dulu sampai sekarang adalah bapak pendiri kekerasan
Palestina kontemporer ini". Dalam sebuah pernyataan kepada
kelompok lobi Israel, AIPAC, Jaksa Agung Edwin Meese
menandaskan bahwa AS akan menangkap Arafat karena
"bertanggung jawab atas aksi-aksi terorisme internasional",
sementara fakta-fakta yang ada tampak sama sekali tak
relevan.14
Maka, setiap tindakan "terhadap PLO" --sebuah kategori yang
teramat luas, sebagaimana diperlihatkan oleh catatan sejarah
adalah sah belaka.
Serangan Tunisia tersebut konsisten dengan perbuatan
Israel sejak hari-hari pertama negara ini: pembalasan
diarahkan kepada mereka yang lemah, bukan para pelaku
kekerasan. Kecaman standar atas PLO ialah bahwa "Bukannya
menyerang langsung musuh-musuh yang sadar-keamanan seperti
Israel, kelompok Palestina menyerang sasaran-sasaran yang
lebih empuk, yaitu orang-orang Israel di Italia, Austria,
dan tempat-tempat lain"15
sebuah tanda lain tentang kebusukan dan kepengecutan mereka.
Perbuatan Israel serupa, yang dilakukan sejak jauh
sebelumnya dan lebih luas skalanya, lolos dari catatan di
tengah sanjungan umum bagi heroisme, efisiensi militer, dan
"kesucian tangan" Israel. Konsep "pembalasan" juga
menimbulkan sejumlah besar pertanyaan, sebuah persoalan yang
akan segera kita bicarakan.
Menjelang tahun 1985 berakhir, pers meninjau catatan
tentang "satu tahun terorisme internasional yang berdarah",
termasuk pembunuhan-pembunuhan di Larnaca pada 25 September,
pembajakan Achille Lauro, dan pembunuhan seorang wisatawan
Amerika pada 7 Oktober. Serangan 1 Oktober Israel tak
dimasukkan dalam daftar. Dalam ulasan panjang akhir-tahunnya
tentang terorisme, Times sedikit menyinggung pemboman
Tunisia, tapi sebagai sebuah contoh tentang pembalasan,
bukan terorisme, dan melukiskannya sebagai "sebuah tindakan
karena terpojok, yang berpengaruh kecil atas kekerasan pihak
Palestina dan menimbulkan kecaman bangsa-bangsa lain".
Profesor Hukum Harvard, Alan Dershowitz, mengecam Italia
atas keterlibatannya dalam terorisme internasional dengan
melepaskan orang "yang diduga mengotaki pembajakan itu", dan
menyatakan bahwa AS "pasti akan mengekstradisi setiap
teroris Israel yang telah melakukan kekerasan terhadap
warga-warga negara lain" --misalnya Ariel Sharon, Yitzhak
Shamir, atau Menachem Begin. Pernyataan ini muncul tepat
pada hari Shimon Peres dijamu di Washington segera setelah
pemboman Tunisia dan disanjung untuk komitmennya kepada
perdamaian; dan pernyataan ini dianggap sepenuhnya wajar
dalam iklim kultural yang berlaku.16
Ucapan-ucapan Reagan tentang terorisme dilaporkan dan
dibahas dengan sangat serius dalam media arus-utama. Tetapi,
kadang-kadang, para kritikus menyoroti kemunafikan
orang-orang yang mengutuk keras terorisme internasional
sementara mengirim tentara-tentara klien mereka untuk
membunuh, memotong-motong, menyiksa, dan menghancurkan di
Nikaragua. Pembantaian ini kurang banyak disinggung karena
dianggap sebagai sebuah sukses besar. Berpuluh-puluh ribu
orang di El Salvador dalam suatu upaya tekun dan sukses
menghindarkan ancaman gawat berupa terwujudnya demokrasi
sejati di sana, kendati Reagan --si
pendatang baru di atas panggung-- tak dapat dinyatakan
sebagai salah seorang dari "bapak-bapak pendiri terorisme
Amerika Tengah kontemporer" di Washington. Tak lama setelah
pembicaraan Reagan-Peres tentang perdamaian dan teror,
sekelompok 120 dokter, perawat, dan petugas-petugas
kesehatan lainnya, kembali dari sebuah investigasi di
Nikaragua yang didukung oleh Asosiasi Kesehatan Masyarakat
Amerika dan Organisasi Kesehatan Dunia, yang melaporkan
kerusakan klinik dan rumah-rumah sakit, pembunuhan para
petugas kesehatan, penggarongan apotek-apotek pedesaan yang
menyebabkan kekurangan persediaan obat-obatan, dan
pengacauan sukses atas sebuah program vaksinasi polio
--semuanya adalah bagian kecil dari kampanye kekerasan yang
diorganisasikan di pusat-pusat terorisme internasional di
Washington dan Miami;17
wartawan Times di Nikaragua menyamai para sejawat
Pravda mereka di Afghanistan dalam kegigihan untuk menggali
dan menggeledah bukti massif tentang kebiadaban-kebiadaban
Contra, dan laporan ini --sebagaimana banyak lainnya-- tak
dimuat dalam Newspaper of Record.
Pemboman Tunisia menghasilkan suatu tolok-ukur hipokrisi,
yang tak selalu mudah untuk dipegang. Umpamakan Nikaragua
melakukan pemboman di Washington, dibidikkan kepada Reagan,
Shultz, dan para teroris internasional lainnya, menewaskan
sekitar 100.000 orang "secara tak sengaja". Ini tentunya
merupakan pembalasan yang sepenuhnya dibenarkan menurut
standar Amenka, jika seandainya pembandingan 25 : 1 dapat
diterima --seperti dalam imbal-bunuh Larnaca-Tunisia--
meskipun kita boleh menambahkan demi akurasi bahwa dalam
kasus ini (pembidikan Reagan dan lain-lain), setidaknya yang
dibidik memang adalah para pelaku terorisme dan tidaklah
penting siapa yang melakukan teror ini. Barangkali jumlah
besar korban itu harus dilipatgandakan dengan
mempertimbangkan faktor yang menyangkut ukuran-ukuran jumlah
relatif penduduk. "Para teroris, dan orang-orang yang
mendukung mereka, harus dan akan ditangkap untuk
mempertanggungjawabkan (perbuatan mereka)," tandas Presiden
Reagan ,18 yang
berarti memberikan landasan moral bagi segala tindakan
pembalasan, dan ini sesuai bulat dengan sikap para
pengecamnya yang paling tajam di pers arus-utama, seperti
sudah kita lihat.
Peres telah memancing dirinya sebagai seorang tokoh
perdamaian di Lebanon.19
Sesudah ia menjadi perdana menteri, program-program
"kontra-teror" Israel terhadap penduduk sipil di kawasan
selatan Lebanon yang diduduki, diintensifkan. Ini mencapai
puncak kebuasannya dengan operasi-operasi Tinju Besi
(Iron Fist) di awal 1985 yang, menurut Curtis Wilkie
yang menegaskan laporan-laporan para wartawan lain di tempat
kejadian, "ciri-cirinya sama dengan pasukan-pasukan maut
yang beroperasi di Amerika Latin". Di desa Zrariya,
misalnya, tentara Israel (IDF) mengupayakan niatnya untuk
mencapai "kesucian tangan" dengan menggencarkan sebuah
operasi sampai jauh ke utara dari garis front-nya waktu itu.
Setelah berjam-jam memberondong Zrariya serta tiga desa
tetangganya, IDF mengangkut semua penduduk pria, menewaskan
3.540 warga desa, sebagian dalam mobil-mobil yang dilindas
oleh tank-tank Israel. Penduduk desa-desa lain digebuki atau
langsung dibunuh, sebuah tank menembaki para petugas Palang
Merah yang telah diperingatkan supaya pergi, dan
serdadu-serdadu Israel secara ajaib lolos dengan utuh dari
apa yang menurut keterangan resmi adalah pertempuran
bersenjata melawan para gerilyawan bersenjata berat. Sehari
sebelumnya, dua belas serdadu Israel tewas dalam sebuah
serangan bunuh-diri di dekat perbatasan, tetapi Israel
menyangkal bahwa serangan atas Zrariya adalah pembalasan.
Bantahan Israel ini dengan takzim disajikan sebagai fakta
oleh para pembelanya di Amerika, yang menjelaskan bahwa
"dinas intelijen sudah memastikan bahwa desa itu telah
menjadi basis bagi teroris ... Tak kurang dari 34 gerilyawan
Syi'ah yang tewas dalam pertempuran bersenjata tersebut, dan
lebih dari 100 orang yang diangkut untuk diperiksa --hanya
dari satu desa kecil" (Eric Breindel), yang menyiratkan
luasnya jaringan teror Syi'ah. Tanpa sadar akan Garis
Partai, para serdadu Israel menuliskan slogan "Pembalasan
Dendam Pasukan Pertahanan Israel" dalam bahasa Arab di
tembok-tembok desa itu, menurut para wartawan di tempat
kejadian.20
Di tempat lain, penembak-penembak Israel menembaki rumah
sakit dan sekolah-sekolah serta menciduk "para tersangka",
termasuk pasien di ranjang-ranjang rumah sakit dan
kamar-kamar operasi, untuk "diperiksa" atau dikirim ke
kamp-kamp konsentrasi Israel; masih banyak bentuk kekejian
lainnya sehingga seorang diplomat Barat yang sering
mengunjungi daerah itu melukiskannya sebagai mencapai
ukuran-ukuran baru dalam "kebrutalan terencana dan
pembunuhan sewenang-wenang.21
Kepala unit penghubung IDF di Lebanon, Jenderal Shlomo
Ilya, "mengatakan, satu-satunya senjata terhadap terorisme
adalah terorisme, dan bahwa Israel memiliki cara-cara lain
selain yang sudah digunakan untuk 'berbicara dalam bahasa
yang dimengerti oleh para teroris'." Konsep ini bukanlah
baru. Operasi-operasi Gestapo di kawasan Eropa yang
didudukinya juga "menjustifikasi dengan dalih memerangi
'terorisme'," dan salah seorang korban Klaus Barbie
ditemukan tewas dengan sebuah catatan termuat di dadanya,
berbunyi "Teror atas Teror" --sama dengan dalih yang kadang
ditulis oleh sebuah kelompok teroris Israel, dan judul
laporan utama Der Spiegel tentang pemboman teror AS
atas Libya pada April 1986. Sebuah resolusi Dewan Keamanan
PBB yang mengutuk "tindakan dan perbuatan-perbuatan Israel
terhadap penduduk sipil di Lebanon Selatan" diveto oleh
Amerika Serikat dengan alasan bahwa resolusi itu "memakai
standar-standar ganda"; "Kami tidak yakin bahwa sebuah
resolusi timpang akan mengakhiri kesengsaraan Lebanon," ujar
Dubes AS di PBB, Jeane Kirkpatrick.22
Operasi-operasi teror Israel terus digencarkan ketika
pasukannya terpaksa mundur karena perlawanan rakyat.Untuk
menyebut sekadar sebuah contoh, pasukan Israel bersama
serdadu Tentara Lebanon Selatan (SLA) upahan mereka
membawakan "satu tahun terorisme internasional berdarah"
sampai tuntas pada 31 Desember 1985. Mereka "menggempur
sebuah desa Muslim Syi'ah (Kunin) di Lebanon Selatan dan
memaksa seluruh kira-kira 2.000 penduduknya untuk hengkang".
Membumihangus rumah-rumah dan menembaki tempat-tempat lain,
dan menangkap 32 pemuda. Orang tua, wanita, dan anak-anak
desa itu dilaporkan digiring ke sebuah kota di luar "zona
keamanan" Israel --tempat pasukan PBB memiliki sebuah pos
komando.23
Laporan ini, yang didasarkan atas para saksi mata yang
dikutip polisi Lebanon, seorang wartawan jurnal konservatif
Beirut An Nahar, dan gerakan Amal Syi'ah, dihimpun
dari Beirut. Dari Jerusalem, Joel Greenberg mengungkapkan
sebuah versi lain, bukan karena berdasarkan sumber-sumber
yang jelas, melainkan lantaran fakta gamblang: "Penduduk
yang takut akan pembalasan SLA meninggalkan desa Syi'ah
Kunin, setelah dua serdadu SLA dibantai di desa
ini."24
Berita pembanding itu, yang sangat tipikal, amat
diperlukan. Propaganda Israel memetik banyak keuntungan dari
kenyataan bahwa media banyak sekali bersandar pada
koresponden-koresponden yang berpangkalan di Israel. Ini
inemberi dua keuntungan penting: pertama, "berita"
itu disajikan kepada khalayak Amerika melalui pandangan
pejabat Israel; kedua, kadang-kadang kalau para
koresponden AS melakukan penyidikan sendiri, bukan cuma
mengandalkan tuan-tuan rumah mereka yang ramah, sistem
propaganda Israel beserta sejumlah besar filial Amerikanya
dapat mengeluh berat bahwa kejahatan-kejahatan Arab tak
dihiraukan, sementara Israel jadi bulan-bulanan pembeberan
terperinci karena cacat-cacat kecil, yang dipaparkan di
sepanjang laporan.
Ketakmampuan mengatur berita dengan cara lazim terkadang
menimbulkan masalah. Misalnya, pada perang Lebanon
1982, ketika Israel tak punya jalan untuk mengendalikan
laporan pandangan mata oleh para wartawan yang berpangkalan
di Lebanon. Hal itu membangkitkan badai protes keras atas
fitnah dan prasangka tindak penganiayaan dalam suatu "perang
psikologi massa besar-besaran" yang ditujukan kepada Israel
kecil yang merana tanda lain tentang keberakaran
anti-Semitiame dalam opini dunia; Israel menjadi korban,
bukan agresor. Mudahlah untuk memperlihatkan bahwa
tuduhan-tuduhan ini palsu, sering cuma menggelikan, dan
dapat diduga bahwa media akan tunduk untuk melihat
persoalan-persoalan dari sudut-pandang Israel; bukanlah hal
yang mudah bagi para wartawan untuk mencoba.menutup-nutupi
pemboman teror Israel. Kenyataannya, kesaksian dari
sumber-sumber Israel acap kali lebih keras daripada yang
dilaporkan dalam pers AS, dan apa yang muncul dalam
jurnal-jurnal AS sering merupakan versi yang sudah teramat
dilunakkan dari apa yang sungguh-sungguh dilihat oleh para
wartawan.25
Tetapi, tuduhan-tuduhan ini dianggap sangat serius walaupun
keganjilannya teramat jelas, sementara kritik telak atas
media untuk ketundukannya pada perspektif AS-Israel dan
pemberangusan fakta-fakta yang tak dapat diterima, seperti
biasa, sama sekali tak dihiraukan. Demikianlah, sebuah studi
tentang "Analiaia yang Terbit dari Liputan Media tentang
Perang 1982 di Lebanon" memuat sekeranjang kecaman pers
untuk pendirian yang dianggap anti-Israel dan sedikit
pembelaan media terhadap dakwaan-dakwaan ini, namun tak
memberikan satu pun rujukan pada kenyataan bahwa terdapat
analisis kritis, ekstensif, dan sangat akurat, persis
mengenai kenyataan sebaliknya26.
Dalam batas-batas ketat iklim intelektual AS yang sangat
ideologis, hanya kritik pertama yang dapat didengar.
Terkadang, ini merupakan kenyataan yang amat tipikal,
terlihat gamblang dalam kaitannya dengan perang Indocina,
perang Amerika Tengah dan lain-lain, dan berperan sebagai
bentuk lain manipulasi dalam pengendalian pikiran.
Operasi-operasi Tinju Besi tersebut, yang dilukiskan
dengan ceria sebagai "terorisme" oleh komandan Israel (lihat
penegasan Jenderal Ilya yang dikutip di atas), mempunyai dua
tujuan. Pertama, menurut John Kifner (dari Lebanon), adalah
"untuk mengalihkan penduduk agar menentang gerilyawan dengan
membuat biaya untuk mendukung mereka terlalu mahal";
singkatnya, untuk menjadikan penduduk sebagai sandera dari
serangan teroris, kecuali kalau mereka menerima
kesepakatan-kesepakatan yang ingin dipaksakan Israel dengan
kekerasan.
Tujuan kedua adalah untuk memperuncing konflik-konflik
internal di Lebanon dan untuk menerapkan penukaran penduduk
setelah perseliaihan antarkomunitas, yang sebagian besar
terjadi karena hasutan sang penjarah sejak 1982, dengan cara
klasik. "Ada sejumlah besar bukti," kata koresponden Lebanon
Jim Muir, "bahwa Israel turut mengipas dan mendorong konflik
Kristen Druze" di daerah Chouf di belahan selatan, kata
seorang pejabat senior bantuan internasional: "Departemen
taktik-taktik kotor mereka melakukan segala yang ia mampu
untuk mengobarkan kericuhan, tapi usaha ini gagal."
"Perbuatan mereka sangat keji," menurut pandangan yang
"dianut oleh keseluruhan komunitas pemulihan internasional."
"Para saksi mata setempat melaporkan bahwa serdadu-serdadu
Israel sering menembaki kamp-kamp Palestina agar memusuhi
warga Kristen", dan penduduk di desa-desa Kristen melaporkan
bahwa pasukan patroli Israel memaksa kaum Kristen dan Muslim
dengan todongan senapan untuk saling memukul, disamping
bentuk-bentuk lain "penghinaan yang ganjil". Taktik-taktik
ini akhirnya manjur. Sekutu-sekutu Kristen Israel menyerang
kaum Muslim di dekat Sidon dengan cara yang menjamin
pemunculan respons dari pasukan yang jauh lebih kuat,
dimaksudkan untuk menciptakan suatu lingkaran kekerasan
berdarah yang akhirnya menyebabkan perginya puluhan ribu
orang Kristen --sebagian besar ke daerah-daerah Israel di
selatan-- sementara puluhan ribu umat Syi'ah tergiring ke
utara oleh operasi-operasi Tinju
Besi.27
Dalih yang berkembang di Amerika Serikat ialah bahwa
Israel selalu merencanakan untuk mundur sambil memberi
kemungkinan kepada teroris Sy'iah secara leluasa memuaskan
kegemaran lazim Arab dalam urusan kekerasan. Karena itu,
pengunduran yang sudah direncanakan ini harus ditunda.
Tetapi, seperti dengan tepat dikemukakan oleh Jim Muir,
"adalah fakta historis yang tak diperdebatkan dengan serius
bahwa penyebab orang-orang Israel itu tidak akan mundur
sekarang bukanlah serangan-serangan beserta
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya", dan derajat
pengunduran itu akan ditentukan oleh intensitas
perlawanan.28
Komando tertinggi Israel menjelaskan bahwa Para korban
operasi-operasi Tinju Besi adalah "warga-warga desa
teroris"; maka dapat dimengerti kalau ada tiga belas warga
desa yang dibantai oleh milisi SLA dalam peristiwa yang
melahirkan observasi ini. Yossi Olmert dari Institut
Shiloah, lembaga kajian strategis Israel, mengungkapkan
bahwa "teroris-teroris ini beroperasi dengan dukungan bagian
terbesar penduduk setempat". Seorang komandan Israel
mengeluh bahwa "kelompok teroris ... punya banyak-mata di
sini sebab mereka tinggal di sini". Sementara koresponden
militer Jerusalem Post melukiskan problem-problem
yang dihadapi dalam memerangi para "teroris bayaran" dan
"kaum fanatik, yang semuanya cukup gigih memperjuangkan
kehendak mereka, sampai berani menempuh risiko mati dalam
operasi melawan IDF", yang harus "menjaga ketertiban dan
keamanan" kendatipun ada "harga yang harus dibayar oleh
penduduk". Ia juga menyampaikan "penghargaan terhadap cara
yang mereka gunakan dalam menunaikan tugas mereka". Leon
Wieseltier menjelaskan perbedaan antara "terorisme Syi'ah"
terhadap tentara penjarah dan terorisme Palestina, yang
masing-masing mencerminkan watak jahat Arab: "Kelompok
Palestina memiliki pembunuh-pembunuh yang ingin membunuh,
kelompok Syi'ah memiliki .pembunuh-pembunuh yang ingin mati,
ingin melakukan aksi-aksi yang "diilhami oleh suatu tuntutan
mesianistis atas dunia, yang tak cukup sekadar dipenuhi
secara diplomatis atau politis", dan sama sekali tak
sesederhana seperti mengusir tentara penjarah dari negeri
mereka. Bahkan, "tentara rahasia" Amal mereka telah
"ber-bai'at" untuk "menghancurkan Israel" sejak
pembentukannya pada 1975 --omong kosong yang subur melampaui
dongeng-dongeng yang dicekokkan oleh para
gurunya.29
Konsep terorisme serupa digunakan luas oleh para
komentator dan pejabat AS. Maka, pers melaporkan, tanpa
ulasan, bahwa keprihatinan Menlu Shultz atas "terorisme
internasional" menjadi "semangat jiwanya" setelah pemboman
bunuh-diri atas Marinir AS di Lebanon pada Oktober 1983,
serdadu-serdadu yang dipandang oleh banyak penduduk sebagai
--dan ini sangat wajar-- pasukan militer asing yang dikirim
untuk memaksakan "Orde Baru" yang dibangun oleh agresi
Israel. Barry Rubin menulis bahwa "Penggunaan Terorisme
dukungan Syria yang paling penting di Lebanon adalah untuk
memaksa pengunduran serdadu Israel dan pasukan Marinir AS".
Sementara Iran maupun Syria telah mendukung "aktivitas
teroris" oleh "kelompok-kelompok ekstremis Syi'ah" di
Lebanon Selatan, seperti serangan-serangan atas "Tentara
Lebanon Selatan yang didukung Israel". Bagi pembela
terorisme negara ini, perlawanan terhadap tentara penjarah
atau serdadu-serdadu lokal bayarannya adalah terorisme, yang
patut dibalas dengan keras. Koresponden Times Israel,
Thomas Friedman, rutin melukiskan serangan-serangan di
Lebanon Selatan yang diarahkan kepada pasukan Israel sebagai
"pemboman-pemboman teroris" atau "terorisme bunuh-diri"
yang, katanya meyakinkan kita, merupakan hasil dari
"kelemahan-kelemahan psikologis atau kegairahan religius".
Ia melaporkan lebih jauh bahwa penduduk "zona keamanan"
Israel yang melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh
para penjarah "ditembak di tempat, ditanya belakangan.
Sebagian dari mereka yang ditembak adalah penonton yang tak
berdosa". Tetapi, perbuatan ini bukanlah terorisme negara.
Ia juga mencatat bahwa Israel "berusaha keras membatasi arus
berita dari daerah ini": "Tidak ada wartawan yang diizinkan
untuk meliput kelanjutan dari serangan yang diungkapkan
mengenainya." Kenyataan ini tak mengurungkan niatnya untuk
melaporkan dengan keyakinan besar tentang latar belakang dan
motif-motif mereka yang dicap "teroris" oleh para penjarah
--dengan demikian dalam laporan-laporannya
juga.30
Ketika Reagan dan Peres saling mengucapkan selamat atas
pendirian gigih mereka terhadap "momok bengis terorisme" di
depan audiensi yang takzim, pers melaporkan aksi teroris
lain di Lebanon Selatan: 'Teroris Membunuh 6 Orang,
Menghancurkan Stasiun Radio Kristen Milik AS di Lebanon
Selatan", begitu bunyi headline di hari yang
sama.31 Mengapa
para teroris Lebanon perlu menghancurkan "Suara Harapan"
yang dijalankan oleh misionaris Kristen Amerika itu?
Pertanyaan ini nyaris tak telontar, tapi marilah kita
tengok, demi keperluan penjernihan konsep-konsep terorisme
dan pembalasan.
Salah satu alasannya ialah karena stasiun tersebut
"berbicara untuk Tentara Lebanon
Selatan"32,
pasukan bayaran yang dibentuk Israel di Lebanon Selatan
untuk meneror penduduk di "zona keamanan"-nya. Lokasi
stasiun tersebut, di dekat desa Khiam, juga layak dicatat.
Khiam menyimpan sebuah sejarah, yang tak diketahui di sini
(Amerika). Ze'ev Schiff menyinggung sejarah ini di tengah
operasi-operasi Tinju Besinya Peres. Ia mengungkapkan bahwa
ketika Israel menyerbu Lebanon
pada 1982, desa Khiam "tak ada penghuninya", meskipun
kini ia berpenduduk 10.000. Penduduk kota Nabatiya hanya
5.000, sekarang 50.000. "Mereka dan penduduk tempat-tempat
lain akan sekali lagi dipaksa melupakan rumah-rumah mereka
seandainya mereka mengizinkan para ekstremis di komunitas
mereka atau orang-orang Palestina untuk menyerang
permukiman-permukiman Israel," papar
Schiff.33
Itulah yang akan menimpa mereka jika mereka mempermainkan
IDF; yang waktu itu sudah menyerang desa-desa Lebanon,
membunuh acak penduduk sipil, dan mengamuk untuk bertahan
dari "terorisme yang tak juga hilang". Kendatipun "para
serdadu Israel berpatroli saban hari di Lebanon
Selatan".34
Bagi penduduk Lebanon yang dituju oleh peringatan ini,
dan setidaknya bagi unsur-unsur yang agak lebih tahu di
kalangan masyarakat Israel, Schiff tak perlu menjelaskan
kenapa penduduk Nabatiya merosot sampai hanya tinggal 5.000
dan Khiam kosong pada 1982. Mereka semua dipaksa keluar,
ratusan di antaranya dibunuh, oleh bombardemen teror Israel
sejak awal 1970-an. Segelintir kecil yang tersisa di Khiam
dibantai selama invasi atas Lebanon pada 1978 dengan
sepengetahuan brigade elite Golani --oleh milisi Haddad
Israel, yang "berhasil menciptakan perdamaian relatif di
daerah itu dan mencegah kembalinya teroris-teroris PLO,"
demikian sang tokoh perdamaian (Peres)
menjelaskan.35
Khiam juga merupakan tempat sebuah "penjara rahasia" yang
dijaga oleh "Israel bersama sekutu-sekutu milisi lokalnya di
Lebanon Selatan ... tempat para tahanan disekap dalam
kondisi-kondisi mengerikan dan dijadikan sasaran pemukulan
dan penyetruman, menurut para bekas tahanan dan
petugas-petugas pemulihan internasional di daerah ini";
Palang Merah melaporkan bahwa "Israel mengelola lembaga
(penjara) ini", dan bahwa ia dilarang masuk oleh
IDF.36 Maka,
tentulah lebih banyak yang dapat diungkapkan tentang
serangan teroris oleh "kaum fanatik" di Khiam pada 17
Oktober 1985, yang dipandang cocok untuk dijadikan bagian
dari memori sejarah, berdampingan dengan aksi-aksi teror
lain guna keperluan ideologis yang lebih besar.
Nabatiya juga punya kisah-kisah lanjutan untuk
dituturkan. Perginya 50.000 orang dari 60.000 penduduknya
yang "umumnya takut akan berondongan (Israel)" dilaporkan
oleh dua wartawan Jerusalem Post yang mengunjungi
Lebanon Selatan dalam upaya menggali bukti tentang
kebrutalan dan teror PLO --hanya sedikit yang ditemukan.
Mereka malah mendapatkan bukti melimpah tentang teror Israel
beserta akibat-akibatnya.37
Salah satu bombardemen terjadi pada 4 November 1977, ketika
Nabatiya "dihujani tembakan artileri darat dari kubu Maronit
Lebanon (dukungan Israel) dan dari pos-pos Israel di
sepanjang kedua siai medan pertempuran --termasuk beberapa
di antara enam basis Israel di dalam Lebanon".
Serangan-serangan terus berlangsung sampai esoknya,
menewaskan tiga wanita di antara korban-korban lain. Pada 6
November, dua roket yang ditembakkan oleh gerilyawan Fatah
menewaskan dua orang Israel di Nahariya, menyulut
pertempuran artileri, dan roket kedua menewaskan seorang
Israel. "Lalu datanglah serangan udara Israel yang gencar,
menewaskan 70 orang --hampir semuanya orang
Lebanon."38
Perselisihan yang dipicu oleh Israel ini, yang dapat
mengarah ke sebuah perang besar, disebut oleh Presiden Sadat
sebagai salah satu alasan kesediaannya mengunjungi Israel,
beberapa hari kemudian.39
Namun, peristiwa-peristiwa telah masuk dalam memori
sejarah dalam bentuk berbeda, bukan hanya dalam jurnaliame
melainkan juga di kancah keilmuan: "Dalam sebuah upaya untuk
merintangi gerakan menuju suatu konferensi perdamaian,"
tulis Edward Haley tanpa punya bukti, "PLO menembakkan
roket-roket Katyusha ke desa Israel di utara, Nahariya, pada
6 dan 8 November, menewaskan tiga orang", dan mencetuskan
"pembalasan Israel yang tak terhindarkan" pada 9 November,
yang menewaskan lebih dari 100 orang dalam serangan-serangan
"di dan sekitar Tyre dan dua kota kecil di
selatannya."40
Sebagaimana galibnya, dalam sejarah yang sudah disterilkan
dengan baik bahwa kelompok Palestinalah yang melakukan
terorisme, lalu Israel mungkin membalas dengan terlalu
keras. Di dunia nyata, kebenarannya sering agak berbeda
--suatu hal yang sangat disepelekan dalam kajian , tentang
terorisme di Timur Tengah.
Penistaan Nabatiya amat jarang dicatat oleh pers Barat,
meskipun ada.sedikit perkecualian. Salah satu serangan
Israel tersebut terjadi pada 2 Desember 1975, ketika pasukan
Israel menggempur kota ini dengan senjata-senjata
anti-personel, bom, dan roket, menewaskan banyak penduduk
sipil Lebanon dan Palestina.41
Gempuran ini, yang luar biasa lantaran dilaporkan, tak
mengakibatkan perhatian atau keprihatinan di kalangan
masyarakat beradab, mungkin karena ia tampak sebagai
"pembalasan": yaitu pembalasan terhadap Dewan Keamanan PBB,
yang sudah bersepakat untuk membuka sebuah sidang tentang
usulan perdamaian yang diajukan oleh Syria, Yordania, Mesir,
dan PLO, seperti dibahas dalam Bab
Pertama.
Ceritanya berlanjut sampai sekarang, dengan hanya sedikit
perubahan. Pada awal 1986, di saat perhatian dunia terpusat
pada kengerian terhadap teroris-teroris sinting di dunia
Arab, pers melaporkan bahwa meriam tank-tank Israel
memuntahkan tembakan-tembakan ke desa Sreifa di Lebanon
Selatan, menghancurkan 30 rumah. Menurut IDF, dari
rumah-rumah inilah mereka ditembaki oleh "teroris
bersenjata"; aksi-aksi militer Israel ini juga digencarkan
dalam rangka mencari dua serdadu Israel yang menurut mereka
,telah "diculik" di "zona keamanan" Israel di Lebanon. Pers
Amenka juga umumnya banyak memberangus laporan
pasukan-pasukan penjaga perdamaian PBB bahwa serdadu-serdadu
Israel "betul-betul gila" dalam operasi-operasi ini. Mereka
memblokade semua desa, mencegah pasukan PBB yang ingin
mengirim air, susu, dan jeruk kepada penduduk desa yang
sedang "diinterogasi"; melakukan penyiksaan brutal terhadap
pria dan wanita bersama-sama dengan tentara bayaran lokal
yang didukungnya. IDF kemudian pergi, sambil membawa
sejumlah besar penduduk desa, termasuk para wanita hamil.
Sebagian diangkut ke Israel dengan melanggar lebih jauh
hukum internasional, sesudah menghancurkan sejumlah rumah,
merusak, dan menggarong sebagian lainnya-sementara
Shimon,Peres mengatakan bahwa pencarian Israel terhadap
serdadu-serdadunya yang "diculik", "mencerminkan sikap kami
terhadap nilai kehidupan dan martabat
manusia".42
Sebulan kemudian, pada 24 Maret, radio Lebanon melaporkan
bahwa pasukan Israel, baik IDF maupun serdadu bayaran SLA,
memberondong Nabatiya dengan menewaskan 3 penduduk sipil dan
melukai 22 lainnya, sewaktu "peluru-peluru menghujani pasar
di pusat kota itu pada jam istirahat, ketika banyak orang
berkerumun untuk berjual-bell"; serangan ini diduga sebagai
pembalasan terhadap sebuah serangan atas pasukan bayaran
Israel di Lebanon Selatan. Seorang pemimpin Amal Syi'ah
bersumpah bahwa "permukiman dan instalasi-instalasi Israel
tak akan lolos dari gempuran pasukan perlawanan". Pada 27
Maret, sebuah roket Katyusha menghajar sebuah gedung sekolah
di Israel Utara, melukai 5 orang dan menyulut serangan
Israel atas kamp-kamp pengungsi Palestina di dekat Sidon
yang menewaskan 10 orang dan mencederai 22 orang; komandan
kawasan Israel utara menyatakan melalui radio tentara Israel
bahwa IDF tidak tahu pasti apakah roket itu ditembakkan oleh
gerilyawan Syi'ah atau Palestina. Pada 7 April,
pesawat-pesawat Israel membom kamp-kamp yang sama dan sebuah
desa tetangga, menewaskan dua dan melukai 22 orang;
dikatakan bahwa para teroris telah mengadakan persiapan di
sana dengan rencana membunuh warga Israel
.43
Dari semua peristiwa ini, hanya serangan roket di Israel
Utara itu yang dilaporkan dengan muram di televisi bersama
kemarahan umum atas "momok bengis terorisme". Yang terakhir
ini sebenarnya agak aneh sebab histeria massa waktu itu
sedang diarahkan kepada "invasi" Nikaragua atas Honduras;
tentara Nikaragua menggunakan hak legalnya dalam berusaha
keras mengamankan wilayahnya dari kelompok-kelompok teroris
kiriman AS yang pamer kekuatan tak lama sebelum Senat
bersidang untuk membahas bantuan buat Contra;
mengingatkan kita bahwa satu-satunya masalah serius yang
diperdebatkan di negara teroris ini (Amerika) ialah apakah
tentara-centeng (proxy army) itu dapat menunaikan
tugs-tugas yang sudah diperintahkan oleh majikan
mereka.44
Adapun Israel, jelas bukan sedang menjalankan hak
legalnya untuk memburu penjahat, dengan menembaki dan membom
kota-kota dan kamp-kamp pengungsi; aksi-aksi terorisme luas
dan agresi serentaknya atas Lebanon juga tak pernah tercakup
dalam konsep ini. Tetapi, sebagai sebuah negara klien,
Israel mewarisi hak untuk melakukan terorisme, penganiayaan,
dan aresi dari sang Kaisar. Dan Nikaragua, sebagai musuh,
terang tak berhak untuk mempertahankan wilayahnya dari
terorisme internasional AS, walaupun orang dapat menandaskan
bahwa aksi-aksi AS di sana mencapai tingkat agresi, sebuah
kejahatan perang menurut kategori yang memungkinkan orang
dihukum gantung di Nuremberg dan Tokyo. Maka, wajarlah kalau
aksi-aksi Israel harus diabaikan, atau dianggap sebagai
"pembalasan" yang sah, sementara Kongres melalui spektrum
yang sempit --mengecam "kaum Marxis-Leninis Nikaragua" untuk
sikap ulangan mereka yang mengancam stabilitas dan
perdamaian regional.
Tentang Penulis
NOAM
AVRAM CHOMSKY lahir di Amerika Serikat, pada 7 Desember
1928. Reputasi fenomenal Chomsky di bidang linguistik
terpahat lewat teorinya tentang generative grammar.
Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya
merambah ke studi politik. Profesor Linguistik di M.I.T ini
telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam
terra. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi
salah satu figur "paling ditakuti" pemerintah Amerika
lantaran kekritisannya terhadap kebijakan luar negeni
Amerika.
Karya-karyanya, antara lain, adalah The Fateful
Triangle: The United States, Israel, and the
Palestinians; New Military Humanism: Lessons
from Kosovo; Powers and Prospects: Reflections
on Human Nature and the Social Order; Rethinking the
Camelot: JFK, The Vietnam War, and U.S. Political
Culture; Year 501: The Conquest Continues;
Deterring Democracy; Necessary Illusions: Thought
Control in Democratic Societies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar