Selasa, 05 November 2013

Antara Ideologi dan Terorisme: Maling Teriak Maling

Terorisme Timur Tengah dan Sistem Ideologi Amerika (1/3)

Oleh: Noam Chomsky

Pada 17 Oktober 1985, Presiden Reagan bertemu di Washington dengan Perdana Menteri Israel Shimon Peres, yang berkata kepadanya bahwa Israel telah siap mengambil "langkah- langkah besar" di Timur Tengah dan memperluas "tangan perdamaian" ke Yordania. "Kunjungan Mr. Peres berlangsung pada saat hubungan Amerika-Israel sangat harmonis," komentar David Shipler di Times, mengutip seorang pejabat Departemen Luar Negeri yang melukiskan hubungan AS dan Israel sebagai "luar biasa kuat dan intimnya". Dan memang, Peres disambut hangat oleh media Amerika sebagai tokoh perdamaian, dan memuji komitmen-kukuhnya untuk "lebih baik menanggung biaya perdamaian daripada membayar harga peperangan", dalam kata-katanya sendiri. Presiden berkata bahwa ia dan Mr. Peres membahas "momok bengis terorisme, yang telah membegal begitu banyak korban Israel, Amerika, dan Arab, dan menimbulkan petaka kepada banyak orang lainnya", lalu menambahkan, "Kami sepakat bahwa terorisme tidak boleh merintangi upaya-upaya kami untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah."1

Agaknya dibutuhkan bakat-bakat seorang Jonathan Swift untuk bertindak adil terhadap pembicaraan antara dua komandan teroris terkemuka dunia ini, yang sama-sama memegang konsepsi tentang "perdamaian" yang, selanjutnya, menggusur sepenuhnya salah satu dari kedua kelompok yang mengklaim hak menentukan nasib sendiri di bekas Palestina: penduduk asli. Lembah Yordan merupakan "bagian tak terpisahkan dari Negara Israel," kata sang tokoh perdamaian Shimon Peres ketika mengunjungi permukiman-permukiman Israel di sana pada 1985, konsisten dengan pendirian-gigihnya bahwa "Masa silam itu abadi dan Alkitab adalah dokumen yang tegas dalam menentukan nasib tanah air kita", dan bahwa sebuah negara Palestina akan "mengancam langsung eksistensi Israel".2 Konsepsinya tentang sebuah negara Yahudi, yang banyak dipuji di Amerika lantaran moderasinya, tidak mengancam, tetapi cuma melenyapkan eksistensi bangsa Palestina. Tetapi, konsekuensi ini dianggap sepele saja, paling buruk hanya dipandang sebagai cacat kecil dalam sebuah dunia yang memang tak sempurna.

Baik Peres maupun semua pemimpin lain Israel tak pernah beringsut seinci pun dari posisi Chaim Herzog pada 1972, bahwa bangsa Palestina tidak akan pernah menjadi "mitra dalam segala bentuk di tanah yang telah dinyatakan suci untuk bangsa kita selama beribu-ribu tahun", walaupun para "merpati" lebih menginginkan supaya daerah-daerah Tepi Barat yang padat penduduk Arab dikeluarkan dari Negara Yahudi untuk menghindari apa yang secara eufimistis mereka sebut "problem kependudukan". Mantan kepala dinas intelijen Israel, Shlomo Gazit, pejabat senior dalam pemerintahan militer dari 1967 sampai 1973, menyatakan prinsip dasarnya adalah "bahwa dirasa perlu untuk mencegah penduduk daerah-daerah (pendudukan) dari keikutsertaan dalam mewarnai masa depan politik di wilayah itu, dan mereka tidak boleh dipandang sebagai mitra untuk berhubungan dengan Israel"; sehingga, "dilarang mutlak (bagi mereka) untuk menjalankan segala macam organisasi politik, sebab sudah dengan jelas dipahami oleh setiap orang bahwa jika organisasi dan aktivitas politik diizinkan, para pemimpinnya akan menjadi peserta-peserta potensial dalam urusan politik". Pertimbangan-pertimbangan serupa mengharuskan "penghancuran semua prakarsa dan setiap upaya di pihak penduduk daerah-daerah itu untuk berperan sebagai saluran bagi perundingan-perundingan dan untuk menjadi penghubung bagi para pemimpin Arab Palestina di luar daerah-daerah tersebut". Gazit menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah Israel adalah sebuah "kisah sukses", sebab tujuan-tujuan ini --yang tetap kukuh sampai hari ini-- telah tercapai. Posisi Israel, dengan didukung AS, tetap seperti sikap Perdana Menteri (sekarang Menteri Pertahanan) Yitzhak Rabin, ketika PLO dan negara-negara Arab mengajukan usulan untuk pemecahan damai dua-negara kepada PBB pada Januari 1976: Israel akan menolak setiap perundingan dengan PLO, bahkan sekalipun ia mengakui Israel dan menghentikan terorisme, dan tidak akan masuk dalam "perundingan-perundingan politik dengan bangsa Palestina", PLO atau bukan.3 Baik Peres maupun Reagan tidak akan mau untuk sekadar mempertimbangkan usulan-usulan jelas PLO --yang diketahui oleh keduanya memperoleh dukungan melimpah di kalangan bangsa Palestina dan betul-betul sama sahnya dengan yang dilakukan organisasi Zionis pada 1947-- untuk menyelenggarakan perundingan-perundingan yang mengarah pada pengakuan timbal-balik dalam pemecahan dua-negara, sesuai dengan konsensus internasional luas yang telah dirintangi pada setiap kesempatan oleh AS dan Israel selama bertahun-tahun.4

Realitas-realitas politik yang rawan ini memberi kerangka yang perlu bagi setiap pembahasan tentang "momok bengis terorisme". Dalam pengertian-pengertian rasis dalam diskursus Amerika, hal ini berarti menunjuk pada aksi-aksi teroris oleh bangsa Arab, tapi tidak oleh Yahudi, sebagaimana "perdamaian'" berarti penanganan yang menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Yahudi, tapi tidak bagi bangsa Palestina.
Peres tiba di Washington untuk membicarakan perdamaian dan terorisme dengan mitra kriminalnya, langsung setelah ia mengirim pesawat-pesawat pembom untuk menyerang Tunisia. Di sinilah tempat mereka membunuh 20 orang Tunisia dan 55 orang Palestina, menurut wartawan Israel Amnon Kapeliouk yang melaporkan dari tempat kejadian. Sasarannya sama sekali tak punya pertahanan: "sebuah kompleks peristirahatan yang terdiri dari beberapa lusin rumah, penginapan-penginapan, dan kantor-kantor PLO yang bersebelahan dan bercampur sedemikian rupa sehingga dilihat dari dekat pun kita sukar membedakan" tempat-tempat itu.
Senjata-senjatanya lebih canggih daripada yang digunakan di Beirut, tampaknya "bom-bom pintar", yang meremukkan sasaran-sasaran mereka sampai jadi abu. "Orang-orang yang berada di gedung-gedung yang dibom remuk sampai tak dapat dikenali. Mereka menunjukkan kepada saya foto-foto korban. 'Anda boleh mengambilnya,' kata mereka kepada saya. Saya meninggalkan foto-foto itu di kantor. Tidak ada satu pun surat kabar di dunia ini yang akan memuat foto-foto menyeramkan semacam itu. Saya diberi tahu bahwa seorang bocah Tunisia yang sedang menjual roti di dekat markas besar (PLO) hancur berkeping-keping. Ayahnya mengenali tubuhnya dari sebuah bekas luka di pergelangan kakinya. 'Sebagian yang terluka dikeluarkan dari reruntuhan, kelihatannya sehat-sehat saja dan tidak parah,' tutur pemandu kepada saya. 'Setengah jam kemudian mereka menggelepar-gelepar dan pingsan, lalu mati. Rupanya organ-organ dalam mereka hancur karena kekuatan ledakan'."5
Tunisia menerima pejuang Palestina atas perintah Reagan setelah mereka terusir dari Beirut dalam invasi dukungan AS yang menewaskan sekitar 20.000 orang dan menghancurkan bagian-bagian besar negeri itu. "Kalian memakai godam untuk membunuh kupu-kupu," begitu dikatakan kepada wartawan militer Israel Ze'ev Schiff oleh "tokoh penting Pentagon, seorang jenderal yang sangat mengenal dinas militer Israel (IDF) dan beberapa angkatan darat lain di kawasan ini". "Kalian menghajar banyak penduduk sipil tanpa perlu. Kami sangat kaget melihat sikap kalian terhadap penduduk sipil Lebanon." Keterkejutan serupa juga dirasakan oleh serdadu dan para perwira senior Israel yang ngeri menyaksikan kebuasan serangan ini dan perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dan Para tawanan6 --walaupun dukungan di Israel untuk agresi ini dan tim Begin-Sharon meningkat seiring dengan penganiayaan-penganiayaan, yang mencapai puncak amat tinggi setelah pemboman dahsyat atas Beirut pada Agustus.7 Shimon Peres, sang tokoh perdamaian dan figur terpandang dalam Sosialis Internasional, tetap membungkam sampai harga-harga yang harus dibayar Israel mulai memuncak dengan pembantaian-pembantaian pasca-perang di Sabra dan Shatila, dan biaya itu dibayarkan kepada pertahanan rakyat Lebanon, yang melenyapkan rencana Israel untuk membentuk "Orde Baru" di Lebanon. Israel menguasai kawasan-kawasan luar di selatan dan sisanya digenggam oleh sekutu-sekutu Phalangis Israel dan elite-elite Muslim tertentu.
Tidak dapat diragukan, komentar Kapeliouk, bahwa Arafat merupakan sasaran serangan Tunisia itu. Di kantor PLO tempat ia ,diamankan, sebuah foto Arafat berdiri di tengah reruntuhan dengan judul, "Mereka mau membunuhku, bukan ingin berunding denganku".
"PLO ingin sekali mengadakan perundingan-perundingan," kata seorang tokoh PLO kepada Kapeliouk, "tapi Israel menolak setiap pembicaraan"--sebuah pernyataan gamblang tentang fakta yang dengan efektif disembunyikan oleh media AS atau, lebih buruk lagi, dikubur lantaran tak relevan menurut premis-premis rasis yang dijadikan pedoman.
Keterlibatan AS dalam serangan Tunisia juga tak dapat diragukan dengan serius. AS bahkan tak memperingatkan para korban --sekutu-sekutu dekat Amerika-- bahwa para pembunuh sedang mengintai. Orang yang mempercayai kepura-puraan AS bahwa Armada Keenam dan sistem pengawasan ekstensif AS di kawasan itu tak mampu mendeteksi pesawat-pesawat Israel yang mengisi bahan bakar selama terbang di atas Mediterania, perlu meminta penyelidikan Konggres tentang ketidakandalan total militer Amerika, yang jelas akan membiarkan kita dan sekutu-sekutu kita terbuka lebar bagi serangan musuh. "Laporan-laporan berita kini mengutip sumber-sumber pemerintah yang mengatakan bahwa Armada Keenam AS pasti tahu tentang datangnya serangan, tapi memutuskan untuk tak memberi tahu para pejabat ,Tunisia," lapor Los Angeles Times, mengutip kantor-kantor berita. Tetapi, "pernyataan yang amat penting itu tak dilaporkan dalam koran-koran besar pantai timur, The New York Times dan The Washington Post, tidak juga dalam koran-koran lain AS, tak pula ia dimanfaatkan dalam kantor-kantor berita internasional (AP dan PPI)," ungkap koresponden Economist London di Timur Tengah, Godfrey Jansen, yang menambahkan bahwa "persekongkolan pasif AS sungguh-sungguh tampak jelas".8
Salah seorang korban pemboman Tunisia adalah Mahmoud el Mughrabi, kelahiran Jerusalem pada 1960. Dia pernah ditahan dua belas kali pada usia enam belas tahun, salah satu informan penyelidikan London Sunday Times tentang penganiayaan di Israel (19 Juni 1977), yang "bermaksud melarikan diri ke Yordania sesudah bertahun-tahun hidup menderita di bawah kondisi-kondisi yang terus memburuk oleh pendudukan militer." Demikian menurut catatan kenangan oleh sahabat-sahabat Yahudi Israelnya yang berkali-kali dilarang dimuat di koran-koran Arab di Jerusalem Timur oleh penyensoran militer Israel.9 Fakta-fakta ini, sudah tentu, tak digubris di Amerika Serikat. Ini hanya lantaran studi Sunday Times itu umumnya disingkirkan dari pers, walaupun ia dikutip di New Republic yang liberal, bersama dengan suatu pembelaan terang-terangan atas penganiayaan terhadap orang Arab, yang tak menimbulkan reaksi publik."10 Amerika Serikat secara resmi menyambut hangat pemboman Israel atas Tunisia ini sebagai "sebuah respons yang sah" terhadap "serangan-serangan teroris". Menteri Luar Negeri Shultz menegaskan penilaian ini dalam percakapan telepon dengan Menlu Israel Yitzhak Shamir, dan mengabarkan bahwa Presiden dan pejabat-pejabat lainnya "teramat bersimpati dengan tindakan Israel ini," kata laporan pers." AS menarik kembali dukungan terbuka ini sesudah munculnya reaksi di seluruh dunia, tetapi ia abstain dari kutukan Dewan Keamanan PBB terhadap "tindakan agresi bersenjata" yang "terang-terangan melanggar Piagam PBB, hukum internasional dan norma-norma perilaku" --seperti biasa, yang bersikap abstain hanya AS sendirian. Iklim kultural dan intelektual di Amerika tercermin dari kenyataan bahwa abstain ini dikecam keras karena dipandang sebagai bentuk lain dari pendirian "pro-PLO" dan "anti-Israel", dan penolakan untuk menghajar habis para teroris --yang diseleksi dengan seksama.
Orang boleh menandaskan bahwa pemboman Israel tersebut tidaklah termasuk dalam kategori terorisme internasional sebab itu merupakan agresi yang kejahatannya jauh lebih serius, seperti ditegaskan oleh Dewan Keamanan PBB. Atau, orang dapat menegaskan bahwa tidaklah adil untuk menerapkan kepada Israel definisi "terorisme internasional" yang dirumuskan pihak lain. Untuk menangkis penegasan terakhir, kita boleh mempertimbangkan doktrin Israel sendiri, seperti dirumuskan oleh Duta Besar Benjamin Netanyahu di sebuah Konferensi Internasional tentang Terorisme. Faktor khas dalam terorisme, katanya menjelaskan, adalah "pembunuhan sistematis dan sengaja dan pencekaman (penduduk sipil) yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut",12 Jelaslah bahwa serangan Tunisia dan kebiadaban-kebiadaban Israel lainnya selama berpuluh tahun masuk dalam konsep ini, meskipun kebanyakan aksi terorisme internasional tidak termasuk. Misalnya, serangan-serangan teroris yang paling ganas terhadap orang Israel (Ma'alot, pembantaian Munich, kekejaman di daerah pantai pada 1978 yang dijadikan dalih bagi penyerbuan Lebanon, dan lain-lain), atau bahkan pembajakan pesawat terbang atau penyekapan sandera, yang banyak sekali disoroti dan merupakan topik pokok konferensi yang ia hadiri.
Serangan atas markas besar Arafat tersebut diduga sebagai pembalasan bagi pembunuhan tiga orang Israel di Larnaca, Cyprus, oleh para penyerang yang kemudian tertangkap dan diadili karena kejahatan mereka. "Para diplomat Barat ahli PLO" meragukan bahwa Arafat mengetahui misi terencana itu, dan "Pihak Israel juga sudah mencabut tuduhan awal mereka bahwa Mr. Arafat terlibat".13 Para pembela terorisme Israel di Amerika, yang mencoba meyakinkan kita bahwa "berondongan bom Israel di Tunisia tepat mengenai orang-orang yang bertanggung jawab atas aktivitas-aktivitas teroris", amat meragukan; mereka juga menjelaskan bahwa apa pun fakta-fakta yang ada, "tanggung jawab moral yang besar bagi kebiadaban-kebiadaban ... semuanya berada di pundak Yasser Arafat "karena" dia sejak dulu sampai sekarang adalah bapak pendiri kekerasan Palestina kontemporer ini". Dalam sebuah pernyataan kepada kelompok lobi Israel, AIPAC, Jaksa Agung Edwin Meese menandaskan bahwa AS akan menangkap Arafat karena "bertanggung jawab atas aksi-aksi terorisme internasional", sementara fakta-fakta yang ada tampak sama sekali tak relevan.14 Maka, setiap tindakan "terhadap PLO" --sebuah kategori yang teramat luas, sebagaimana diperlihatkan oleh catatan sejarah adalah sah belaka.
Serangan Tunisia tersebut konsisten dengan perbuatan Israel sejak hari-hari pertama negara ini: pembalasan diarahkan kepada mereka yang lemah, bukan para pelaku kekerasan. Kecaman standar atas PLO ialah bahwa "Bukannya menyerang langsung musuh-musuh yang sadar-keamanan seperti Israel, kelompok Palestina menyerang sasaran-sasaran yang lebih empuk, yaitu orang-orang Israel di Italia, Austria, dan tempat-tempat lain"15 sebuah tanda lain tentang kebusukan dan kepengecutan mereka. Perbuatan Israel serupa, yang dilakukan sejak jauh sebelumnya dan lebih luas skalanya, lolos dari catatan di tengah sanjungan umum bagi heroisme, efisiensi militer, dan "kesucian tangan" Israel. Konsep "pembalasan" juga menimbulkan sejumlah besar pertanyaan, sebuah persoalan yang akan segera kita bicarakan.
Menjelang tahun 1985 berakhir, pers meninjau catatan tentang "satu tahun terorisme internasional yang berdarah", termasuk pembunuhan-pembunuhan di Larnaca pada 25 September, pembajakan Achille Lauro, dan pembunuhan seorang wisatawan Amerika pada 7 Oktober. Serangan 1 Oktober Israel tak dimasukkan dalam daftar. Dalam ulasan panjang akhir-tahunnya tentang terorisme, Times sedikit menyinggung pemboman Tunisia, tapi sebagai sebuah contoh tentang pembalasan, bukan terorisme, dan melukiskannya sebagai "sebuah tindakan karena terpojok, yang berpengaruh kecil atas kekerasan pihak Palestina dan menimbulkan kecaman bangsa-bangsa lain". Profesor Hukum Harvard, Alan Dershowitz, mengecam Italia atas keterlibatannya dalam terorisme internasional dengan melepaskan orang "yang diduga mengotaki pembajakan itu", dan menyatakan bahwa AS "pasti akan mengekstradisi setiap teroris Israel yang telah melakukan kekerasan terhadap warga-warga negara lain" --misalnya Ariel Sharon, Yitzhak Shamir, atau Menachem Begin. Pernyataan ini muncul tepat pada hari Shimon Peres dijamu di Washington segera setelah pemboman Tunisia dan disanjung untuk komitmennya kepada perdamaian; dan pernyataan ini dianggap sepenuhnya wajar dalam iklim kultural yang berlaku.16
Ucapan-ucapan Reagan tentang terorisme dilaporkan dan dibahas dengan sangat serius dalam media arus-utama. Tetapi, kadang-kadang, para kritikus menyoroti kemunafikan orang-orang yang mengutuk keras terorisme internasional sementara mengirim tentara-tentara klien mereka untuk membunuh, memotong-motong, menyiksa, dan menghancurkan di Nikaragua. Pembantaian ini kurang banyak disinggung karena dianggap sebagai sebuah sukses besar. Berpuluh-puluh ribu orang di El Salvador dalam suatu upaya tekun dan sukses menghindarkan ancaman gawat berupa terwujudnya demokrasi sejati di sana, kendati Reagan --si pendatang baru di atas panggung-- tak dapat dinyatakan sebagai salah seorang dari "bapak-bapak pendiri terorisme Amerika Tengah kontemporer" di Washington. Tak lama setelah pembicaraan Reagan-Peres tentang perdamaian dan teror, sekelompok 120 dokter, perawat, dan petugas-petugas kesehatan lainnya, kembali dari sebuah investigasi di Nikaragua yang didukung oleh Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika dan Organisasi Kesehatan Dunia, yang melaporkan kerusakan klinik dan rumah-rumah sakit, pembunuhan para petugas kesehatan, penggarongan apotek-apotek pedesaan yang menyebabkan kekurangan persediaan obat-obatan, dan pengacauan sukses atas sebuah program vaksinasi polio --semuanya adalah bagian kecil dari kampanye kekerasan yang diorganisasikan di pusat-pusat terorisme internasional di Washington dan Miami;17 wartawan Times di Nikaragua menyamai para sejawat Pravda mereka di Afghanistan dalam kegigihan untuk menggali dan menggeledah bukti massif tentang kebiadaban-kebiadaban Contra, dan laporan ini --sebagaimana banyak lainnya-- tak dimuat dalam Newspaper of Record.
Pemboman Tunisia menghasilkan suatu tolok-ukur hipokrisi, yang tak selalu mudah untuk dipegang. Umpamakan Nikaragua melakukan pemboman di Washington, dibidikkan kepada Reagan, Shultz, dan para teroris internasional lainnya, menewaskan sekitar 100.000 orang "secara tak sengaja". Ini tentunya merupakan pembalasan yang sepenuhnya dibenarkan menurut standar Amenka, jika seandainya pembandingan 25 : 1 dapat diterima --seperti dalam imbal-bunuh Larnaca-Tunisia-- meskipun kita boleh menambahkan demi akurasi bahwa dalam kasus ini (pembidikan Reagan dan lain-lain), setidaknya yang dibidik memang adalah para pelaku terorisme dan tidaklah penting siapa yang melakukan teror ini. Barangkali jumlah besar korban itu harus dilipatgandakan dengan mempertimbangkan faktor yang menyangkut ukuran-ukuran jumlah relatif penduduk. "Para teroris, dan orang-orang yang mendukung mereka, harus dan akan ditangkap untuk mempertanggungjawabkan (perbuatan mereka)," tandas Presiden Reagan ,18 yang berarti memberikan landasan moral bagi segala tindakan pembalasan, dan ini sesuai bulat dengan sikap para pengecamnya yang paling tajam di pers arus-utama, seperti sudah kita lihat.
Peres telah memancing dirinya sebagai seorang tokoh perdamaian di Lebanon.19 Sesudah ia menjadi perdana menteri, program-program "kontra-teror" Israel terhadap penduduk sipil di kawasan selatan Lebanon yang diduduki, diintensifkan. Ini mencapai puncak kebuasannya dengan operasi-operasi Tinju Besi (Iron Fist) di awal 1985 yang, menurut Curtis Wilkie yang menegaskan laporan-laporan para wartawan lain di tempat kejadian, "ciri-cirinya sama dengan pasukan-pasukan maut yang beroperasi di Amerika Latin". Di desa Zrariya, misalnya, tentara Israel (IDF) mengupayakan niatnya untuk mencapai "kesucian tangan" dengan menggencarkan sebuah operasi sampai jauh ke utara dari garis front-nya waktu itu. Setelah berjam-jam memberondong Zrariya serta tiga desa tetangganya, IDF mengangkut semua penduduk pria, menewaskan 3.540 warga desa, sebagian dalam mobil-mobil yang dilindas oleh tank-tank Israel. Penduduk desa-desa lain digebuki atau langsung dibunuh, sebuah tank menembaki para petugas Palang Merah yang telah diperingatkan supaya pergi, dan serdadu-serdadu Israel secara ajaib lolos dengan utuh dari apa yang menurut keterangan resmi adalah pertempuran bersenjata melawan para gerilyawan bersenjata berat. Sehari sebelumnya, dua belas serdadu Israel tewas dalam sebuah serangan bunuh-diri di dekat perbatasan, tetapi Israel menyangkal bahwa serangan atas Zrariya adalah pembalasan. Bantahan Israel ini dengan takzim disajikan sebagai fakta oleh para pembelanya di Amerika, yang menjelaskan bahwa "dinas intelijen sudah memastikan bahwa desa itu telah menjadi basis bagi teroris ... Tak kurang dari 34 gerilyawan Syi'ah yang tewas dalam pertempuran bersenjata tersebut, dan lebih dari 100 orang yang diangkut untuk diperiksa --hanya dari satu desa kecil" (Eric Breindel), yang menyiratkan luasnya jaringan teror Syi'ah. Tanpa sadar akan Garis Partai, para serdadu Israel menuliskan slogan "Pembalasan Dendam Pasukan Pertahanan Israel" dalam bahasa Arab di tembok-tembok desa itu, menurut para wartawan di tempat kejadian.20
Di tempat lain, penembak-penembak Israel menembaki rumah sakit dan sekolah-sekolah serta menciduk "para tersangka", termasuk pasien di ranjang-ranjang rumah sakit dan kamar-kamar operasi, untuk "diperiksa" atau dikirim ke kamp-kamp konsentrasi Israel; masih banyak bentuk kekejian lainnya sehingga seorang diplomat Barat yang sering mengunjungi daerah itu melukiskannya sebagai mencapai ukuran-ukuran baru dalam "kebrutalan terencana dan pembunuhan sewenang-wenang.21
Kepala unit penghubung IDF di Lebanon, Jenderal Shlomo Ilya, "mengatakan, satu-satunya senjata terhadap terorisme adalah terorisme, dan bahwa Israel memiliki cara-cara lain selain yang sudah digunakan untuk 'berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh para teroris'." Konsep ini bukanlah baru. Operasi-operasi Gestapo di kawasan Eropa yang didudukinya juga "menjustifikasi dengan dalih memerangi 'terorisme'," dan salah seorang korban Klaus Barbie ditemukan tewas dengan sebuah catatan termuat di dadanya, berbunyi "Teror atas Teror" --sama dengan dalih yang kadang ditulis oleh sebuah kelompok teroris Israel, dan judul laporan utama Der Spiegel tentang pemboman teror AS atas Libya pada April 1986. Sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk "tindakan dan perbuatan-perbuatan Israel terhadap penduduk sipil di Lebanon Selatan" diveto oleh Amerika Serikat dengan alasan bahwa resolusi itu "memakai standar-standar ganda"; "Kami tidak yakin bahwa sebuah resolusi timpang akan mengakhiri kesengsaraan Lebanon," ujar Dubes AS di PBB, Jeane Kirkpatrick.22
Operasi-operasi teror Israel terus digencarkan ketika pasukannya terpaksa mundur karena perlawanan rakyat.Untuk menyebut sekadar sebuah contoh, pasukan Israel bersama serdadu Tentara Lebanon Selatan (SLA) upahan mereka membawakan "satu tahun terorisme internasional berdarah" sampai tuntas pada 31 Desember 1985. Mereka "menggempur sebuah desa Muslim Syi'ah (Kunin) di Lebanon Selatan dan memaksa seluruh kira-kira 2.000 penduduknya untuk hengkang". Membumihangus rumah-rumah dan menembaki tempat-tempat lain, dan menangkap 32 pemuda. Orang tua, wanita, dan anak-anak desa itu dilaporkan digiring ke sebuah kota di luar "zona keamanan" Israel --tempat pasukan PBB memiliki sebuah pos komando.23
Laporan ini, yang didasarkan atas para saksi mata yang dikutip polisi Lebanon, seorang wartawan jurnal konservatif Beirut An Nahar, dan gerakan Amal Syi'ah, dihimpun dari Beirut. Dari Jerusalem, Joel Greenberg mengungkapkan sebuah versi lain, bukan karena berdasarkan sumber-sumber yang jelas, melainkan lantaran fakta gamblang: "Penduduk yang takut akan pembalasan SLA meninggalkan desa Syi'ah Kunin, setelah dua serdadu SLA dibantai di desa ini."24
Berita pembanding itu, yang sangat tipikal, amat diperlukan. Propaganda Israel memetik banyak keuntungan dari kenyataan bahwa media banyak sekali bersandar pada koresponden-koresponden yang berpangkalan di Israel. Ini inemberi dua keuntungan penting: pertama, "berita" itu disajikan kepada khalayak Amerika melalui pandangan pejabat Israel; kedua, kadang-kadang kalau para koresponden AS melakukan penyidikan sendiri, bukan cuma mengandalkan tuan-tuan rumah mereka yang ramah, sistem propaganda Israel beserta sejumlah besar filial Amerikanya dapat mengeluh berat bahwa kejahatan-kejahatan Arab tak dihiraukan, sementara Israel jadi bulan-bulanan pembeberan terperinci karena cacat-cacat kecil, yang dipaparkan di sepanjang laporan.

Ketakmampuan mengatur berita dengan cara lazim terkadang menimbulkan masalah. Misalnya, pada perang Lebanon 1982, ketika Israel tak punya jalan untuk mengendalikan laporan pandangan mata oleh para wartawan yang berpangkalan di Lebanon. Hal itu membangkitkan badai protes keras atas fitnah dan prasangka tindak penganiayaan dalam suatu "perang psikologi massa besar-besaran" yang ditujukan kepada Israel kecil yang merana tanda lain tentang keberakaran anti-Semitiame dalam opini dunia; Israel menjadi korban, bukan agresor. Mudahlah untuk memperlihatkan bahwa tuduhan-tuduhan ini palsu, sering cuma menggelikan, dan dapat diduga bahwa media akan tunduk untuk melihat persoalan-persoalan dari sudut-pandang Israel; bukanlah hal yang mudah bagi para wartawan untuk mencoba.menutup-nutupi pemboman teror Israel. Kenyataannya, kesaksian dari sumber-sumber Israel acap kali lebih keras daripada yang dilaporkan dalam pers AS, dan apa yang muncul dalam jurnal-jurnal AS sering merupakan versi yang sudah teramat dilunakkan dari apa yang sungguh-sungguh dilihat oleh para wartawan.25 Tetapi, tuduhan-tuduhan ini dianggap sangat serius walaupun keganjilannya teramat jelas, sementara kritik telak atas media untuk ketundukannya pada perspektif AS-Israel dan pemberangusan fakta-fakta yang tak dapat diterima, seperti biasa, sama sekali tak dihiraukan. Demikianlah, sebuah studi tentang "Analiaia yang Terbit dari Liputan Media tentang Perang 1982 di Lebanon" memuat sekeranjang kecaman pers untuk pendirian yang dianggap anti-Israel dan sedikit pembelaan media terhadap dakwaan-dakwaan ini, namun tak memberikan satu pun rujukan pada kenyataan bahwa terdapat analisis kritis, ekstensif, dan sangat akurat, persis mengenai kenyataan sebaliknya26. Dalam batas-batas ketat iklim intelektual AS yang sangat ideologis, hanya kritik pertama yang dapat didengar. Terkadang, ini merupakan kenyataan yang amat tipikal, terlihat gamblang dalam kaitannya dengan perang Indocina, perang Amerika Tengah dan lain-lain, dan berperan sebagai bentuk lain manipulasi dalam pengendalian pikiran.
Operasi-operasi Tinju Besi tersebut, yang dilukiskan dengan ceria sebagai "terorisme" oleh komandan Israel (lihat penegasan Jenderal Ilya yang dikutip di atas), mempunyai dua tujuan. Pertama, menurut John Kifner (dari Lebanon), adalah "untuk mengalihkan penduduk agar menentang gerilyawan dengan membuat biaya untuk mendukung mereka terlalu mahal"; singkatnya, untuk menjadikan penduduk sebagai sandera dari serangan teroris, kecuali kalau mereka menerima kesepakatan-kesepakatan yang ingin dipaksakan Israel dengan kekerasan.
Tujuan kedua adalah untuk memperuncing konflik-konflik internal di Lebanon dan untuk menerapkan penukaran penduduk setelah perseliaihan antarkomunitas, yang sebagian besar terjadi karena hasutan sang penjarah sejak 1982, dengan cara klasik. "Ada sejumlah besar bukti," kata koresponden Lebanon Jim Muir, "bahwa Israel turut mengipas dan mendorong konflik Kristen Druze" di daerah Chouf di belahan selatan, kata seorang pejabat senior bantuan internasional: "Departemen taktik-taktik kotor mereka melakukan segala yang ia mampu untuk mengobarkan kericuhan, tapi usaha ini gagal." "Perbuatan mereka sangat keji," menurut pandangan yang "dianut oleh keseluruhan komunitas pemulihan internasional." "Para saksi mata setempat melaporkan bahwa serdadu-serdadu Israel sering menembaki kamp-kamp Palestina agar memusuhi warga Kristen", dan penduduk di desa-desa Kristen melaporkan bahwa pasukan patroli Israel memaksa kaum Kristen dan Muslim dengan todongan senapan untuk saling memukul, disamping bentuk-bentuk lain "penghinaan yang ganjil". Taktik-taktik ini akhirnya manjur. Sekutu-sekutu Kristen Israel menyerang kaum Muslim di dekat Sidon dengan cara yang menjamin pemunculan respons dari pasukan yang jauh lebih kuat, dimaksudkan untuk menciptakan suatu lingkaran kekerasan berdarah yang akhirnya menyebabkan perginya puluhan ribu orang Kristen --sebagian besar ke daerah-daerah Israel di selatan-- sementara puluhan ribu umat Syi'ah tergiring ke utara oleh operasi-operasi Tinju Besi.27
Dalih yang berkembang di Amerika Serikat ialah bahwa Israel selalu merencanakan untuk mundur sambil memberi kemungkinan kepada teroris Sy'iah secara leluasa memuaskan kegemaran lazim Arab dalam urusan kekerasan. Karena itu, pengunduran yang sudah direncanakan ini harus ditunda. Tetapi, seperti dengan tepat dikemukakan oleh Jim Muir, "adalah fakta historis yang tak diperdebatkan dengan serius bahwa penyebab orang-orang Israel itu tidak akan mundur sekarang bukanlah serangan-serangan beserta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya", dan derajat pengunduran itu akan ditentukan oleh intensitas perlawanan.28
Komando tertinggi Israel menjelaskan bahwa Para korban operasi-operasi Tinju Besi adalah "warga-warga desa teroris"; maka dapat dimengerti kalau ada tiga belas warga desa yang dibantai oleh milisi SLA dalam peristiwa yang melahirkan observasi ini. Yossi Olmert dari Institut Shiloah, lembaga kajian strategis Israel, mengungkapkan bahwa "teroris-teroris ini beroperasi dengan dukungan bagian terbesar penduduk setempat". Seorang komandan Israel mengeluh bahwa "kelompok teroris ... punya banyak-mata di sini sebab mereka tinggal di sini". Sementara koresponden militer Jerusalem Post melukiskan problem-problem yang dihadapi dalam memerangi para "teroris bayaran" dan "kaum fanatik, yang semuanya cukup gigih memperjuangkan kehendak mereka, sampai berani menempuh risiko mati dalam operasi melawan IDF", yang harus "menjaga ketertiban dan keamanan" kendatipun ada "harga yang harus dibayar oleh penduduk". Ia juga menyampaikan "penghargaan terhadap cara yang mereka gunakan dalam menunaikan tugas mereka". Leon Wieseltier menjelaskan perbedaan antara "terorisme Syi'ah" terhadap tentara penjarah dan terorisme Palestina, yang masing-masing mencerminkan watak jahat Arab: "Kelompok Palestina memiliki pembunuh-pembunuh yang ingin membunuh, kelompok Syi'ah memiliki .pembunuh-pembunuh yang ingin mati, ingin melakukan aksi-aksi yang "diilhami oleh suatu tuntutan mesianistis atas dunia, yang tak cukup sekadar dipenuhi secara diplomatis atau politis", dan sama sekali tak sesederhana seperti mengusir tentara penjarah dari negeri mereka. Bahkan, "tentara rahasia" Amal mereka telah "ber-bai'at" untuk "menghancurkan Israel" sejak pembentukannya pada 1975 --omong kosong yang subur melampaui dongeng-dongeng yang dicekokkan oleh para gurunya.29
Konsep terorisme serupa digunakan luas oleh para komentator dan pejabat AS. Maka, pers melaporkan, tanpa ulasan, bahwa keprihatinan Menlu Shultz atas "terorisme internasional" menjadi "semangat jiwanya" setelah pemboman bunuh-diri atas Marinir AS di Lebanon pada Oktober 1983, serdadu-serdadu yang dipandang oleh banyak penduduk sebagai --dan ini sangat wajar-- pasukan militer asing yang dikirim untuk memaksakan "Orde Baru" yang dibangun oleh agresi Israel. Barry Rubin menulis bahwa "Penggunaan Terorisme dukungan Syria yang paling penting di Lebanon adalah untuk memaksa pengunduran serdadu Israel dan pasukan Marinir AS". Sementara Iran maupun Syria telah mendukung "aktivitas teroris" oleh "kelompok-kelompok ekstremis Syi'ah" di Lebanon Selatan, seperti serangan-serangan atas "Tentara Lebanon Selatan yang didukung Israel". Bagi pembela terorisme negara ini, perlawanan terhadap tentara penjarah atau serdadu-serdadu lokal bayarannya adalah terorisme, yang patut dibalas dengan keras. Koresponden Times Israel, Thomas Friedman, rutin melukiskan serangan-serangan di Lebanon Selatan yang diarahkan kepada pasukan Israel sebagai "pemboman-pemboman teroris" atau "terorisme bunuh-diri" yang, katanya meyakinkan kita, merupakan hasil dari "kelemahan-kelemahan psikologis atau kegairahan religius". Ia melaporkan lebih jauh bahwa penduduk "zona keamanan" Israel yang melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh para penjarah "ditembak di tempat, ditanya belakangan. Sebagian dari mereka yang ditembak adalah penonton yang tak berdosa". Tetapi, perbuatan ini bukanlah terorisme negara. Ia juga mencatat bahwa Israel "berusaha keras membatasi arus berita dari daerah ini": "Tidak ada wartawan yang diizinkan untuk meliput kelanjutan dari serangan yang diungkapkan mengenainya." Kenyataan ini tak mengurungkan niatnya untuk melaporkan dengan keyakinan besar tentang latar belakang dan motif-motif mereka yang dicap "teroris" oleh para penjarah --dengan demikian dalam laporan-laporannya juga.30
Ketika Reagan dan Peres saling mengucapkan selamat atas pendirian gigih mereka terhadap "momok bengis terorisme" di depan audiensi yang takzim, pers melaporkan aksi teroris lain di Lebanon Selatan: 'Teroris Membunuh 6 Orang, Menghancurkan Stasiun Radio Kristen Milik AS di Lebanon Selatan", begitu bunyi headline di hari yang sama.31 Mengapa para teroris Lebanon perlu menghancurkan "Suara Harapan" yang dijalankan oleh misionaris Kristen Amerika itu? Pertanyaan ini nyaris tak telontar, tapi marilah kita tengok, demi keperluan penjernihan konsep-konsep terorisme dan pembalasan.
Salah satu alasannya ialah karena stasiun tersebut "berbicara untuk Tentara Lebanon Selatan"32, pasukan bayaran yang dibentuk Israel di Lebanon Selatan untuk meneror penduduk di "zona keamanan"-nya. Lokasi stasiun tersebut, di dekat desa Khiam, juga layak dicatat. Khiam menyimpan sebuah sejarah, yang tak diketahui di sini (Amerika). Ze'ev Schiff menyinggung sejarah ini di tengah operasi-operasi Tinju Besinya Peres. Ia mengungkapkan bahwa ketika Israel menyerbu Lebanon pada 1982, desa Khiam "tak ada penghuninya", meskipun kini ia berpenduduk 10.000. Penduduk kota Nabatiya hanya 5.000, sekarang 50.000. "Mereka dan penduduk tempat-tempat lain akan sekali lagi dipaksa melupakan rumah-rumah mereka seandainya mereka mengizinkan para ekstremis di komunitas mereka atau orang-orang Palestina untuk menyerang permukiman-permukiman Israel," papar Schiff.33 Itulah yang akan menimpa mereka jika mereka mempermainkan IDF; yang waktu itu sudah menyerang desa-desa Lebanon, membunuh acak penduduk sipil, dan mengamuk untuk bertahan dari "terorisme yang tak juga hilang". Kendatipun "para serdadu Israel berpatroli saban hari di Lebanon Selatan".34
Bagi penduduk Lebanon yang dituju oleh peringatan ini, dan setidaknya bagi unsur-unsur yang agak lebih tahu di kalangan masyarakat Israel, Schiff tak perlu menjelaskan kenapa penduduk Nabatiya merosot sampai hanya tinggal 5.000 dan Khiam kosong pada 1982. Mereka semua dipaksa keluar, ratusan di antaranya dibunuh, oleh bombardemen teror Israel sejak awal 1970-an. Segelintir kecil yang tersisa di Khiam dibantai selama invasi atas Lebanon pada 1978 dengan sepengetahuan brigade elite Golani --oleh milisi Haddad Israel, yang "berhasil menciptakan perdamaian relatif di daerah itu dan mencegah kembalinya teroris-teroris PLO," demikian sang tokoh perdamaian (Peres) menjelaskan.35
Khiam juga merupakan tempat sebuah "penjara rahasia" yang dijaga oleh "Israel bersama sekutu-sekutu milisi lokalnya di Lebanon Selatan ... tempat para tahanan disekap dalam kondisi-kondisi mengerikan dan dijadikan sasaran pemukulan dan penyetruman, menurut para bekas tahanan dan petugas-petugas pemulihan internasional di daerah ini"; Palang Merah melaporkan bahwa "Israel mengelola lembaga (penjara) ini", dan bahwa ia dilarang masuk oleh IDF.36 Maka, tentulah lebih banyak yang dapat diungkapkan tentang serangan teroris oleh "kaum fanatik" di Khiam pada 17 Oktober 1985, yang dipandang cocok untuk dijadikan bagian dari memori sejarah, berdampingan dengan aksi-aksi teror lain guna keperluan ideologis yang lebih besar.
Nabatiya juga punya kisah-kisah lanjutan untuk dituturkan. Perginya 50.000 orang dari 60.000 penduduknya yang "umumnya takut akan berondongan (Israel)" dilaporkan oleh dua wartawan Jerusalem Post yang mengunjungi Lebanon Selatan dalam upaya menggali bukti tentang kebrutalan dan teror PLO --hanya sedikit yang ditemukan. Mereka malah mendapatkan bukti melimpah tentang teror Israel beserta akibat-akibatnya.37 Salah satu bombardemen terjadi pada 4 November 1977, ketika Nabatiya "dihujani tembakan artileri darat dari kubu Maronit Lebanon (dukungan Israel) dan dari pos-pos Israel di sepanjang kedua siai medan pertempuran --termasuk beberapa di antara enam basis Israel di dalam Lebanon". Serangan-serangan terus berlangsung sampai esoknya, menewaskan tiga wanita di antara korban-korban lain. Pada 6 November, dua roket yang ditembakkan oleh gerilyawan Fatah menewaskan dua orang Israel di Nahariya, menyulut pertempuran artileri, dan roket kedua menewaskan seorang Israel. "Lalu datanglah serangan udara Israel yang gencar, menewaskan 70 orang --hampir semuanya orang Lebanon."38 Perselisihan yang dipicu oleh Israel ini, yang dapat mengarah ke sebuah perang besar, disebut oleh Presiden Sadat sebagai salah satu alasan kesediaannya mengunjungi Israel, beberapa hari kemudian.39
Namun, peristiwa-peristiwa telah masuk dalam memori sejarah dalam bentuk berbeda, bukan hanya dalam jurnaliame melainkan juga di kancah keilmuan: "Dalam sebuah upaya untuk merintangi gerakan menuju suatu konferensi perdamaian," tulis Edward Haley tanpa punya bukti, "PLO menembakkan roket-roket Katyusha ke desa Israel di utara, Nahariya, pada 6 dan 8 November, menewaskan tiga orang", dan mencetuskan "pembalasan Israel yang tak terhindarkan" pada 9 November, yang menewaskan lebih dari 100 orang dalam serangan-serangan "di dan sekitar Tyre dan dua kota kecil di selatannya."40 Sebagaimana galibnya, dalam sejarah yang sudah disterilkan dengan baik bahwa kelompok Palestinalah yang melakukan terorisme, lalu Israel mungkin membalas dengan terlalu keras. Di dunia nyata, kebenarannya sering agak berbeda --suatu hal yang sangat disepelekan dalam kajian , tentang terorisme di Timur Tengah.
Penistaan Nabatiya amat jarang dicatat oleh pers Barat, meskipun ada.sedikit perkecualian. Salah satu serangan Israel tersebut terjadi pada 2 Desember 1975, ketika pasukan Israel menggempur kota ini dengan senjata-senjata anti-personel, bom, dan roket, menewaskan banyak penduduk sipil Lebanon dan Palestina.41 Gempuran ini, yang luar biasa lantaran dilaporkan, tak mengakibatkan perhatian atau keprihatinan di kalangan masyarakat beradab, mungkin karena ia tampak sebagai "pembalasan": yaitu pembalasan terhadap Dewan Keamanan PBB, yang sudah bersepakat untuk membuka sebuah sidang tentang usulan perdamaian yang diajukan oleh Syria, Yordania, Mesir, dan PLO, seperti dibahas dalam Bab Pertama.
Ceritanya berlanjut sampai sekarang, dengan hanya sedikit perubahan. Pada awal 1986, di saat perhatian dunia terpusat pada kengerian terhadap teroris-teroris sinting di dunia Arab, pers melaporkan bahwa meriam tank-tank Israel memuntahkan tembakan-tembakan ke desa Sreifa di Lebanon Selatan, menghancurkan 30 rumah. Menurut IDF, dari rumah-rumah inilah mereka ditembaki oleh "teroris bersenjata"; aksi-aksi militer Israel ini juga digencarkan dalam rangka mencari dua serdadu Israel yang menurut mereka ,telah "diculik" di "zona keamanan" Israel di Lebanon. Pers Amenka juga umumnya banyak memberangus laporan pasukan-pasukan penjaga perdamaian PBB bahwa serdadu-serdadu Israel "betul-betul gila" dalam operasi-operasi ini. Mereka memblokade semua desa, mencegah pasukan PBB yang ingin mengirim air, susu, dan jeruk kepada penduduk desa yang sedang "diinterogasi"; melakukan penyiksaan brutal terhadap pria dan wanita bersama-sama dengan tentara bayaran lokal yang didukungnya. IDF kemudian pergi, sambil membawa sejumlah besar penduduk desa, termasuk para wanita hamil. Sebagian diangkut ke Israel dengan melanggar lebih jauh hukum internasional, sesudah menghancurkan sejumlah rumah, merusak, dan menggarong sebagian lainnya-sementara Shimon,Peres mengatakan bahwa pencarian Israel terhadap serdadu-serdadunya yang "diculik", "mencerminkan sikap kami terhadap nilai kehidupan dan martabat manusia".42
Sebulan kemudian, pada 24 Maret, radio Lebanon melaporkan bahwa pasukan Israel, baik IDF maupun serdadu bayaran SLA, memberondong Nabatiya dengan menewaskan 3 penduduk sipil dan melukai 22 lainnya, sewaktu "peluru-peluru menghujani pasar di pusat kota itu pada jam istirahat, ketika banyak orang berkerumun untuk berjual-bell"; serangan ini diduga sebagai pembalasan terhadap sebuah serangan atas pasukan bayaran Israel di Lebanon Selatan. Seorang pemimpin Amal Syi'ah bersumpah bahwa "permukiman dan instalasi-instalasi Israel tak akan lolos dari gempuran pasukan perlawanan". Pada 27 Maret, sebuah roket Katyusha menghajar sebuah gedung sekolah di Israel Utara, melukai 5 orang dan menyulut serangan Israel atas kamp-kamp pengungsi Palestina di dekat Sidon yang menewaskan 10 orang dan mencederai 22 orang; komandan kawasan Israel utara menyatakan melalui radio tentara Israel bahwa IDF tidak tahu pasti apakah roket itu ditembakkan oleh gerilyawan Syi'ah atau Palestina. Pada 7 April, pesawat-pesawat Israel membom kamp-kamp yang sama dan sebuah desa tetangga, menewaskan dua dan melukai 22 orang; dikatakan bahwa para teroris telah mengadakan persiapan di sana dengan rencana membunuh warga Israel .43
Dari semua peristiwa ini, hanya serangan roket di Israel Utara itu yang dilaporkan dengan muram di televisi bersama kemarahan umum atas "momok bengis terorisme". Yang terakhir ini sebenarnya agak aneh sebab histeria massa waktu itu sedang diarahkan kepada "invasi" Nikaragua atas Honduras; tentara Nikaragua menggunakan hak legalnya dalam berusaha keras mengamankan wilayahnya dari kelompok-kelompok teroris kiriman AS yang pamer kekuatan tak lama sebelum Senat bersidang untuk membahas bantuan buat Contra; mengingatkan kita bahwa satu-satunya masalah serius yang diperdebatkan di negara teroris ini (Amerika) ialah apakah tentara-centeng (proxy army) itu dapat menunaikan tugs-tugas yang sudah diperintahkan oleh majikan mereka.44
Adapun Israel, jelas bukan sedang menjalankan hak legalnya untuk memburu penjahat, dengan menembaki dan membom kota-kota dan kamp-kamp pengungsi; aksi-aksi terorisme luas dan agresi serentaknya atas Lebanon juga tak pernah tercakup dalam konsep ini. Tetapi, sebagai sebuah negara klien, Israel mewarisi hak untuk melakukan terorisme, penganiayaan, dan aresi dari sang Kaisar. Dan Nikaragua, sebagai musuh, terang tak berhak untuk mempertahankan wilayahnya dari terorisme internasional AS, walaupun orang dapat menandaskan bahwa aksi-aksi AS di sana mencapai tingkat agresi, sebuah kejahatan perang menurut kategori yang memungkinkan orang dihukum gantung di Nuremberg dan Tokyo. Maka, wajarlah kalau aksi-aksi Israel harus diabaikan, atau dianggap sebagai "pembalasan" yang sah, sementara Kongres melalui spektrum yang sempit --mengecam "kaum Marxis-Leninis Nikaragua" untuk sikap ulangan mereka yang mengancam stabilitas dan perdamaian regional.
 
 
Tentang Penulis
Noam ChomskyNOAM AVRAM CHOMSKY lahir di Amerika Serikat, pada 7 Desember 1928. Reputasi fenomenal Chomsky di bidang linguistik terpahat lewat teorinya tentang generative grammar. Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Profesor Linguistik di M.I.T ini telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam terra. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu figur "paling ditakuti" pemerintah Amerika lantaran kekritisannya terhadap kebijakan luar negeni Amerika.
Karya-karyanya, antara lain, adalah The Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians; New Military Humanism: Lessons from Kosovo; Powers and Prospects: Reflections on Human Nature and the Social Order; Rethinking the Camelot: JFK, The Vietnam War, and U.S. Political Culture; Year 501: The Conquest Continues; Deterring Democracy; Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar