Surat kabar terkemuka terbesar Jepang meminta
maaf karena menggunakan istilah 'budak seks' untuk perempuan asing yang
bekerja di rumah-rumah bordil untuk tentara Jepang pada PD II yang
dinilai bukan istilah tepat.
Yomiuri Shimbun mengatakan istilah
'budak seks' tidak tepat karena berarti para perempuan dipaksa untuk
melayani kebutuhan seks tentara Jepang.
Koran yang beraliran
konservatif tersebut mengidentifikasi 97 artikel -dan 85 di antaranya
yang mereka terbitkan- sepanjang tahun 1992-2013 menggunakan 'budak
seks' atau istilah yang serupa.
Dalam pernyataan yang disebut Kono
1993, pemerintah Jepang mengatakan banyak perempuan yang dipaksa namun
sejumlah pihak meminta agar pernyataan itu dikaji kembali.
Melalu
pernyataan maafnya, Yomiuri juga menjelaskan bahwa warga yang bukan
Jepang menghadapi kesulitan untuk memahami istilah 'perempuan penghibur'
yang digunakan di Jepang untuk menggambarkan perempuan-perempuan asing
yang melayani tentara Jepang.
Perdana Menteri Shinzo Abe, dan
beberapa anggota parlemen dan para pegiat, berkampanye untuk tidak
menggunakan istilah 'budak seks' dengan alasan para perempuan itu tidak
dipaksa.
Mulai berkuasa Desember 2012 lalu, PM Abe sempat berharap untuk
mengkaji lagi pernyataan Kono 1993 itu namun belakangan menegaskan tidak
akan melakukannya karena mendapat protes dari Korea Selatan dan
sejumlah pihak.Bulan Mei 2013 lalu, Walikota Osaka, Toru Hashimoto, mengatakan perempuan penghibur atau jugun ianfu memberi kesempatan istirahat bagi para tentara Jepang yang hidupnya berada dalam risiko.
Masalah 'wanita penghibur' tentara Jepang pada masa PD II merupakan masalah yang peka di kalangan negara Asia Timur dan Asia Tenggara, yang berpendapat banyak perempuan dari negara mereka dipaksa untuk melayani kebutuhan seks tentara Jepang.
(dikutip dari BBC Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar