Senin, 08 Desember 2014

Ali Alatas dimata Diplomat muda





Oleh: Perwitorini Wijono

Sebagai diplomat karier saya merasa beruntung karena sempat bertugas langsung dibawah pimpinan Bapak Ali Alatas almarhum selama masa penugasan penuh pada penempatan pertama (Atase kemudian Sekretaris III) di Perwakilan RI tepatnya di Perwakilan Tetap RI untuk PBB (PTRI) di New York antara tahun 1982-1986). Secara pribadi saya merasa lebih beruntung lagi karena dalam menjalankan tugas di PTRI NY ada beberapa tugas yang instruksinya langsung saya terima dari Bapak Alatas selaku Duta Besar/Wakil Tetap tanpa melalui Kepala Bidang sehingga pengalaman dan pembelajaran yang sama terima dapat pula langsung saya terima dapat pula langsung saya timba dan serap beliau. Karena itu banyak sekali kenangan saya akan Bapak Ali Alatas yang selanjutnya dalam meniti karier di Deplu menjadi panutan utama saya dan banyak hal dari Bapak Alatas yang menajdi pedoman dalam mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada saya, sekalipun saya tidak lagi secara langsung berada di bawah pimpinan beliau.


Apa yang saya utarakan dalam tulisan ini bukanlah hal-hal mengenai Bapak Ali Alatas yang sudah secara luas ditulis oleh banyak kalangan dalam maupun luar negeri, yang semuanya menggambarkan kebesaran Bapak Alatas sebagai seorang diplomat dan negarawan ulung. Apa yang akan saya bagi bersama hanyalah beberapa catatan “kecil” mengenai kesan saya akan Bapak Alatas pada penempatan pertama di NY tersebut yang merupakan kesan seorang diplomat muda yang baru menginjakkan kaki di anak tangga pertama dunia diplomasi. 

Karena itu, meski kecil, namun mengandung arti sangat besar bagi saya dan yang tetap terpatri dalam diri. Hal-hal “kecil” itu juga yang kerap saya ingat kembali untuk sedikit menengok kebelakang, proses  penempatan saya ke PTRI NY bersama empat rekan seangkatan SESDILU sebenarnya tidak berjalan mulus. Kawat Sekjen yang disampaikan kepada Dubes/Wakil Tetap RI di NU pada waktu itu (sebelum Bapak Ali Alatas) mendapat tanggapan negative dari New York atau dengan kata lain Duta Besar/Watapri tidak dapat menerima kami yang dinilai masih “hijau” dan “belum tahu apa-apa” sehingga tidak akan dapat menangani beban tugas di PTRI yang cukup berat. Namun terhadap tanggapan negative ini Sekjen tetap kukuh dan memberikan argumentasi bahwa jika tidak diberi kesempatan kapan lagi para diplomat muda akan dapat belajar dan menimba pengalaman. 

Beruntung pimpinan PTRI NY segera berganti dan Bapak Ali Alatas menjadi Duta Besar/Wakil Tetap RI, New York yang baru, sehingga jadilah kami berlima satu persatu berangkat menuju New York dan mulai bertugas di PTRI, semua dengan gelar diplonatik terendah, Atase. Dari awal, kebijaksanaan Bapak Alatas kami, lima orang “pendatang baru” ditambah seorang rekan lain dari angkatan yang sama dan juga ditempatkan di PTRI selepas mengikuti program pelatihan di New York. Di samping itu, terdapat pula pejabat-pejabat mid-level dengan gelar Sekretaris I yang datang pada waktu yang sama, yaitu menjelang dimulainya Sidang Majelis Umum PBB di bulan  September tahun 1982. Belum lagi terdapat enam orang diplomat muda lain yang berstatus magang. 

Dengan pemekaran jumlah SDM itu memang diperlukan struktur organisasi  Perwakilan yang lebih jelas. Dan dengan restrukturisasi PTRI itu semua pejabat diplomatik mendapat posisi dengan job description masing-masing yang disesuaikan dengan struktur organisasi PBB. Dalam struktur itu saya mendapat tugas menangani berbagai komite Majelis Umum di luar tujuh komite utama MU, antara lain Komite Umum (General Committee). Di samping itu, bila terdapat sidang-sidang lian di luar mekanisme komite utama saya juga kerap ditugaskan untuk menanganinya. Di luar system PBB, saya juga menangani masalah-masalah protocol dan hubungan bilateral dengan Negara rangkapan PTRI (pada waktu itu) yaitu Bahamas dan Jamaica.


Semua saya merasa kecewa dan sedih karena seolah “dibuang” dengan hanya diberi tugas-tugas yang merupakan “sisa” dari pembagian tugas bagi rekan-rekan lain yang di mata saya pada waktu itu sepertinya lebih penting. Namun dengan perjalanan waktu ternyata melalui berbagai permasalahan yang menjadi tugas saya itu saya lebih dapat menimba pengalaman yang berharga dan sangat bervariasi. Yang lebih penting lagi dalam melaksanakan tugas saya kerap berhubungan langsung dengan Bapak Dubes/Watrapi sementara disposisi tertulis beliau juga kerap ditujukan langsung kepada saya dengan menyebutkan nama. 

Di mata saya yang belum berpengalaman dan merupakan diplomat dengan tingkatan hierarki yang paling rendah, hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa, karena berarti beliau mengakui eksistensi saya dan mepercayakan pelaksanaan tugas dan tidak melihat saya sebagai “hanya” seorang staf bawaan pejabat yang lebih senior mungkin namanyapun tidak tahu, seperti banyak terjadi di Perwakilan RI lain yang pimpinannya tidak mengetahui (atau sengaja melupakan) nama pejabat/diplomat junior-nya. 

Saya melihat bahwa di mata Bapak Alatas, semua staf diplomatic di PTRI dari yang terendah sampai ke yang tertinggi adalah sama. Mungkin hanya usia dan pengalaman saja yang membedakan kami yang junior dengan para senior, sementara dalam hal kinerja kami dilihat dan diperlakukan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.


Satu contoh nyata yang tidak saya lupakan misalnya ketika beliau menyertakan saya dalam rapat khusus pimpinan dan terbatas yang diadakan secara mendadak ditengah-tengah berlangsungnya Sidang Majelis Umum PBB. Rapat dihadiri oleh pejabat-pejabat senior Deplu dari Jakarta anggota delegasi RI dan kedua Kepala Bidang Politik (bergelar Minister Counselor). Saya merupakan satu-satunya staf junior bergelar Atase. 

Masalah yang dibicarakan ternyata menyangkut keputusan yang perlu diambil SMU berkaitan dengan ancaman AS untuk memboikot persidangan karena rencana kehadiran pimpinan PLO Yasser Arafat. Karena permasalahannya lebih menyangkut Komite Umum MU dan Rules of Procedure Sidang Majelis Umum yang memang menjadi bidang tugas saya, maka saya diikutsertakan dalam rapat tersebut. 
Disinilah tercermin kebesaran sifat Bapak Alatas. Tentu saja perasaaan saya bercampur antara bangga, merasa terhormat dan merasa dihargai oleh Bapak Alatas sebagai pimpinan perwakilan. Biasanya bila ada rapat terbatas,kami yang junior hanya merasa curious dan saling bertanya apa sesungguhnya yang dibicarakan dalam rapat itu.


Kekaguman saya akan bapak Alatas sudah mulai ketika pada bulan-bulan pertama saya diminta menyiapkan jawaban belia untuk surat-surat ucapan selama atas penganugerahan Bintang Mahaputera yang beliau terima dari  Pemerintah RI. Surat ucapan selamat itu datang dari berbagai kalangan pejabat tinggi dan tokoh, baik dari dalam maupun luar negeri sehingga mencerminkan betapa Bapak Alatas dihargai oleh kalangan luas. Dan semua surat dibalas tanpa kecuali. Dari sini tampak bahwa beliau menghargai setiap pengirim tanpa melihat jabatan atas kedudukannya. Demikian pula terhadap surat atau nota diplomatic lain yang diterima dari rekan salaam Duta Besar/Wakil Tetap, semua dijawab sesuai dengan kelaziman di dunia diplomasi. Yang saya catat dalam hal ini adalah kerapihan dan sifat “correct” beliau, di samping ketelitian dan pemilihan kata serta kalimat yang “hangat”, luwes dan tidak kaku namun tetap bernuansa “official”. Dalam soal surat menyurat ini beliau juga secara teliti membedakan antara yang perlu dijawab dalam bentuk “first person” dan “third person” sedangkan yang berbentuk “firsti person” juga dipilah antara yang diberi salam pembukaan (salutation) secara pribadi dengan tulisan tangan beliau atau yang cukup diketik. Mungkin hal ini kelihatan sepele, namun sepanjang karier saya sering temui pejabat yang “asal menjawab” nota atau surat tanpa memperhatikan hal-hal semacam ini sehingga terkesan ada “personal touch”

Dengan pengalaman saya selama tiga setengah tahun menangani korespondensi Bapak Alatas pengetahuan saya akan tata krama diplomatic dan surat menyurat menjadi kaya dan dikemudian hari kerap menjadi “jiplakan” saya.


Memang kepiawaian Bapak Alatas dalam merangkai kata dan kalimat terutama dalam bahasa Inggeris untuk pidato atau statement merupakan satu diantar banyak hal yang harus dikagumi. Sejauh ini belum saya temui pejabat lain yang penguasaan vocabulary bahasa Inggeris-nya setingkat Bapak Alatas di samping pemakaian idiom yang tepat untuk menuturkan atau menyampaikan pesan tertentu. 

Tepatlah apa yang dikatakan Pak Jamil Flores, speech writer beliau selama belasan tahun bahwa statement Bapak Alatas memang “flawless”. Saya teringat bagaimana Kepala Protokol Bahamas mengungkapkan kekagumannya atas pidato Bapak Alatas saat menyerahkan surat-surat kepercayaam kepada Gubernur Jenderal Bahamas sebagai Duta Besar RI untuk Negara Karibia ini. Pejabat tinggi Bahamas iut mengatakan bahwa penggunaan vocabulary sambutan itu sangat terpilih yaitu kata-kata dan idiom mungkin tak terpikirkan oleh seorang native speaker sekalipun. 

Dan pidato di Bahamas itu hanya satu dari sekian banyak surat, statement atau paper yang keluar dari pemikiran Bapak Alatas yang kelak menjadi bekal saya dalam berusaha mengikuti “jejak beliau”, utamanya ketika secara tidak resmi dan tidak tertulis saya dijadikan “pembuat konsep” statement atau jawaban nota dan surat dari berbagai organisasi PBB, untuk Bidang PolitikII selama penugasan di PTRI Jenewa komitmen yang sungguh-sungguh untuk menghormati, memajukan, melindungi, menegakkan dan memenuhi HAM. Patut dicatat, akhirnya, bahwa stabilitas politik, kemajuan ekonomi, dan keadilan sosial hanya mungkin dicapai atau dipertahankan kelanjutannya apabila hak asasi manusia dan kebebasan fundamental diakui, dihormati, dan dilindungi dan pengesahan instrumen-instrumen tersebut di atas akan menjadi wahana bagi pencapaian tujuan ini.


*) Penulis adalah pensiunan pegawai Deplu, pensiunan staf senior PBB dan mantan anggota Komnas HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar