Oleh: Perwitorini Wijono
Sebagai diplomat karier saya
merasa beruntung karena sempat bertugas langsung dibawah pimpinan Bapak Ali
Alatas almarhum selama masa penugasan penuh pada penempatan pertama (Atase
kemudian Sekretaris III) di Perwakilan RI tepatnya di Perwakilan Tetap RI untuk
PBB (PTRI) di New York antara tahun 1982-1986). Secara pribadi saya merasa lebih
beruntung lagi karena dalam menjalankan tugas di PTRI NY ada beberapa tugas
yang instruksinya langsung saya terima dari Bapak Alatas selaku Duta
Besar/Wakil Tetap tanpa melalui Kepala Bidang sehingga pengalaman dan
pembelajaran yang sama terima dapat pula langsung saya terima dapat pula
langsung saya timba dan serap beliau. Karena itu banyak sekali kenangan saya
akan Bapak Ali Alatas yang selanjutnya dalam meniti karier di Deplu menjadi
panutan utama saya dan banyak hal dari Bapak Alatas yang menajdi pedoman dalam
mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada saya, sekalipun saya tidak lagi
secara langsung berada di bawah pimpinan beliau.
Apa yang saya utarakan dalam
tulisan ini bukanlah hal-hal mengenai Bapak Ali Alatas yang sudah secara luas
ditulis oleh banyak kalangan dalam maupun luar negeri, yang semuanya
menggambarkan kebesaran Bapak Alatas sebagai seorang diplomat dan negarawan
ulung. Apa yang akan saya bagi bersama hanyalah beberapa catatan “kecil”
mengenai kesan saya akan Bapak Alatas pada penempatan pertama di NY tersebut
yang merupakan kesan seorang diplomat muda yang baru menginjakkan kaki di anak
tangga pertama dunia diplomasi.
Karena itu, meski kecil, namun mengandung arti
sangat besar bagi saya dan yang tetap terpatri dalam diri. Hal-hal “kecil” itu
juga yang kerap saya ingat kembali untuk sedikit menengok kebelakang, proses penempatan saya ke PTRI NY bersama empat
rekan seangkatan SESDILU sebenarnya tidak berjalan mulus. Kawat Sekjen yang
disampaikan kepada Dubes/Wakil Tetap RI di NU pada waktu itu (sebelum Bapak Ali
Alatas) mendapat tanggapan negative dari New York atau dengan kata lain Duta
Besar/Watapri tidak dapat menerima kami yang dinilai masih “hijau” dan “belum
tahu apa-apa” sehingga tidak akan dapat menangani beban tugas di PTRI yang
cukup berat. Namun terhadap tanggapan negative ini Sekjen tetap kukuh dan
memberikan argumentasi bahwa jika tidak diberi kesempatan kapan lagi para
diplomat muda akan dapat belajar dan menimba pengalaman.
Beruntung pimpinan
PTRI NY segera berganti dan Bapak Ali Alatas menjadi Duta Besar/Wakil Tetap RI,
New York yang baru, sehingga jadilah kami berlima satu persatu berangkat menuju New
York dan mulai bertugas di PTRI, semua dengan gelar diplonatik terendah, Atase.
Dari awal, kebijaksanaan Bapak Alatas kami, lima orang “pendatang baru”
ditambah seorang rekan lain dari angkatan yang sama dan juga ditempatkan di
PTRI selepas mengikuti program pelatihan di New York. Di samping itu, terdapat
pula pejabat-pejabat mid-level dengan gelar Sekretaris I yang datang pada waktu
yang sama, yaitu menjelang dimulainya Sidang Majelis Umum PBB di bulan September tahun 1982. Belum lagi terdapat
enam orang diplomat muda lain yang berstatus magang.
Dengan pemekaran jumlah
SDM itu memang diperlukan struktur organisasi
Perwakilan yang lebih jelas. Dan dengan restrukturisasi PTRI itu semua
pejabat diplomatik mendapat posisi dengan job description masing-masing yang
disesuaikan dengan struktur organisasi PBB. Dalam struktur itu saya mendapat
tugas menangani berbagai komite Majelis Umum di luar tujuh komite utama MU,
antara lain Komite Umum (General Committee). Di samping itu, bila terdapat
sidang-sidang lian di luar mekanisme komite utama saya juga kerap ditugaskan
untuk menanganinya. Di luar system PBB, saya juga menangani masalah-masalah
protocol dan hubungan bilateral dengan Negara rangkapan PTRI (pada waktu itu)
yaitu Bahamas dan Jamaica.
Semua saya merasa kecewa dan
sedih karena seolah “dibuang” dengan hanya diberi tugas-tugas yang merupakan
“sisa” dari pembagian tugas bagi rekan-rekan lain yang di mata saya pada waktu
itu sepertinya lebih penting. Namun dengan perjalanan waktu ternyata melalui
berbagai permasalahan yang menjadi tugas saya itu saya lebih dapat menimba
pengalaman yang berharga dan sangat bervariasi. Yang lebih penting lagi dalam
melaksanakan tugas saya kerap berhubungan langsung dengan Bapak Dubes/Watrapi sementara
disposisi tertulis beliau juga kerap ditujukan langsung kepada saya dengan
menyebutkan nama.
Di mata saya yang belum berpengalaman dan merupakan diplomat
dengan tingkatan hierarki yang paling rendah, hal itu merupakan sesuatu yang
luar biasa, karena berarti beliau mengakui eksistensi saya dan mepercayakan
pelaksanaan tugas dan tidak melihat saya sebagai “hanya” seorang staf bawaan
pejabat yang lebih senior mungkin namanyapun tidak tahu, seperti banyak terjadi
di Perwakilan RI lain yang pimpinannya tidak mengetahui (atau sengaja
melupakan) nama pejabat/diplomat junior-nya.
Saya melihat bahwa di mata Bapak
Alatas, semua staf diplomatic di PTRI dari yang terendah sampai ke yang
tertinggi adalah sama. Mungkin hanya usia dan pengalaman saja yang membedakan
kami yang junior dengan para senior, sementara dalam hal kinerja kami dilihat
dan diperlakukan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Satu contoh nyata yang tidak saya
lupakan misalnya ketika beliau menyertakan saya dalam rapat khusus pimpinan dan
terbatas yang diadakan secara mendadak ditengah-tengah berlangsungnya Sidang Majelis Umum PBB.
Rapat dihadiri oleh pejabat-pejabat senior Deplu dari Jakarta anggota delegasi
RI dan kedua Kepala Bidang Politik (bergelar Minister Counselor). Saya
merupakan satu-satunya staf junior bergelar Atase.
Masalah yang dibicarakan
ternyata menyangkut keputusan yang perlu diambil SMU berkaitan dengan ancaman
AS untuk memboikot persidangan karena rencana kehadiran pimpinan PLO Yasser
Arafat. Karena permasalahannya lebih menyangkut Komite Umum MU dan Rules of
Procedure Sidang Majelis Umum yang memang menjadi bidang tugas saya, maka saya diikutsertakan
dalam rapat tersebut.
Disinilah tercermin kebesaran sifat Bapak Alatas. Tentu
saja perasaaan saya bercampur antara bangga, merasa terhormat dan merasa
dihargai oleh Bapak Alatas sebagai pimpinan perwakilan. Biasanya bila ada rapat
terbatas,kami yang junior hanya merasa curious dan saling bertanya apa
sesungguhnya yang dibicarakan dalam rapat itu.
Kekaguman saya akan bapak Alatas
sudah mulai ketika pada bulan-bulan pertama saya diminta menyiapkan jawaban
belia untuk surat-surat ucapan selama atas penganugerahan Bintang Mahaputera
yang beliau terima dari Pemerintah RI.
Surat ucapan selamat itu datang dari berbagai kalangan pejabat tinggi dan tokoh, baik dari dalam maupun luar negeri sehingga mencerminkan betapa Bapak Alatas
dihargai oleh kalangan luas. Dan semua surat dibalas tanpa kecuali. Dari sini
tampak bahwa beliau menghargai setiap pengirim tanpa melihat jabatan atas
kedudukannya. Demikian pula terhadap surat atau nota diplomatic lain yang
diterima dari rekan salaam Duta Besar/Wakil Tetap, semua dijawab sesuai dengan
kelaziman di dunia diplomasi. Yang saya catat dalam hal ini adalah kerapihan
dan sifat “correct” beliau, di samping ketelitian dan pemilihan kata serta
kalimat yang “hangat”, luwes dan tidak kaku namun tetap bernuansa “official”.
Dalam soal surat menyurat ini beliau juga secara teliti membedakan antara yang
perlu dijawab dalam bentuk “first person” dan “third person” sedangkan yang berbentuk
“firsti person” juga dipilah antara yang diberi salam pembukaan (salutation)
secara pribadi dengan tulisan tangan beliau atau yang cukup diketik. Mungkin
hal ini kelihatan sepele, namun sepanjang karier saya sering temui pejabat
yang “asal menjawab” nota atau surat tanpa memperhatikan hal-hal semacam ini
sehingga terkesan ada “personal touch”.
Dengan pengalaman saya selama tiga
setengah tahun menangani korespondensi Bapak Alatas pengetahuan saya akan tata
krama diplomatic dan surat menyurat menjadi kaya dan dikemudian hari kerap
menjadi “jiplakan” saya.
Memang kepiawaian Bapak Alatas
dalam merangkai kata dan kalimat terutama dalam bahasa Inggeris untuk pidato
atau statement merupakan satu diantar banyak hal yang harus dikagumi. Sejauh
ini belum saya temui pejabat lain yang penguasaan vocabulary bahasa
Inggeris-nya setingkat Bapak Alatas di samping pemakaian idiom yang tepat untuk
menuturkan atau menyampaikan pesan tertentu.
Tepatlah apa yang dikatakan Pak
Jamil Flores, speech writer beliau selama belasan tahun bahwa statement Bapak
Alatas memang “flawless”. Saya teringat bagaimana Kepala Protokol Bahamas
mengungkapkan kekagumannya atas pidato Bapak Alatas saat menyerahkan
surat-surat kepercayaam kepada Gubernur Jenderal Bahamas sebagai Duta Besar RI untuk
Negara Karibia ini. Pejabat tinggi Bahamas iut mengatakan bahwa penggunaan
vocabulary sambutan itu sangat terpilih yaitu kata-kata dan idiom mungkin tak
terpikirkan oleh seorang native speaker sekalipun.
Dan pidato di Bahamas itu
hanya satu dari sekian banyak surat, statement atau paper yang keluar dari
pemikiran Bapak Alatas yang kelak menjadi bekal saya dalam berusaha mengikuti
“jejak beliau”, utamanya ketika secara tidak resmi dan tidak tertulis saya
dijadikan “pembuat konsep” statement atau jawaban nota dan surat dari berbagai
organisasi PBB, untuk Bidang PolitikII selama penugasan di PTRI Jenewa komitmen
yang sungguh-sungguh untuk menghormati, memajukan, melindungi, menegakkan dan
memenuhi HAM. Patut dicatat, akhirnya, bahwa stabilitas politik, kemajuan
ekonomi, dan keadilan sosial hanya mungkin dicapai atau dipertahankan
kelanjutannya apabila hak asasi manusia dan kebebasan fundamental diakui,
dihormati, dan dilindungi dan pengesahan instrumen-instrumen tersebut di atas
akan menjadi wahana bagi pencapaian tujuan ini.
*) Penulis adalah pensiunan
pegawai Deplu, pensiunan staf senior PBB dan mantan anggota Komnas HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar