Sejumlah akademisi dan pengamat hubungan internasional
berpendapat bahwa Indonesia belum bisa memanfaatkan peran diplomasi
ekonominya secara maksimal dan optimal. Indonesia perlu menggunakan
perekonomiannya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar guna
memajukan kepentingan kawasan dan globalnya.
“Kebijakan luar negeri adalah kebijakan ekonomi.” demikian ucap John
Kerry, di hadapan anggota Kongress Amerika Serikat (AS) sebelum menjadi
Menteri Luar Negeri AS. Tahun 2013 juga merupakan masa diplomasi ekonomi
bagi Indonesia.
Diplomasi ekonomi adalah pemanfaatan alat politik internasional untuk
mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Berbagai pelaku diplomasi ekonomi
menjalankan fungsi-fungsi kerja sama seperti pembangunan (termasuk
kesehatan, pendidikan dan pertanian), energi, lingkungan hidup,
keuangan, pangan dan air.
Mengelola citra negara, investasi, pekerja migran, risiko, inovasi
dan teknologi, pariwisata dan budaya, serta perdagangan juga merupakan
unsur diplomasi ekonomi.
Dalam bentuknya yang lebih maju dan inovatif, diplomasi ekonomi juga
memanfaatkan alat ekonomi internasional untuk mencapai tujuan-tujuan
politik internasional. Professor Ikrar Nusa Bakti mengamati bahwa
kebijakan luar negeri tidak hanya mengurusi politik dan pertahanan, tapi
juga isu-isu ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa transformasi ekonomi Indonesia menarik
perhatian dunia. Tak heran jika Jim O’Neill, yang menciptakan akronim
BRIC (mengacu kepada Brazil, Rusia, India dan China) menciptakan akronim
baru – MIST – untuk juga melingkupi ekonomi yang terus tumbuh dengan
kuat yaitu Meksiko, Indonesia, Korea Selatan dan Turki.
Dengan hampir seperempat miliar penduduk dan sebagai anggota G-20,
jumlah kelas konsumen Indonesia saja hampir sebesar jumlah penduduk
Australia dan Malaysia.
McKinsey Global Institute bahkan memprediksi bahwa pada 2030 kelas
konsumen tersebut akan meningkat tiga kali lipat menjadi 135 juta orang
dan Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia.
Pada saat yang sama, dunia terus mengalami pergeseran ekonomi dan
kekuatan yang dramatis. Negara- negara terus beradaptasi dalam melakukan
diplomasi ekonomi untuk mencapai tujuannya yang didukung oleh
pertumbuhan ekonominya yang pesat dan pengaruh internasionalnya.
China, India, Jepang, Singapura, and Korea Selatan mengejar
kepentingan ekonomi dan politiknya melalui diplomasi ekonomi yang lebih
koheren, terkoordinasi dan strategis.
Sebaliknya, sejumlah akademisi dan pengamat hubungan internasional
berpendapat bahwa Indonesia belum memanfaatkan peran diplomasi
ekonominya secara maksimal dan optimal. Indonesia perlu menggunakan
perekonomiannya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar guna
memajukan kepentingan kawasan dan globalnya.
“Semakin kuat ekonomi politik Indonesia, bila hal lainnya tetap sama,
lebih besar kemungkinan para pemimpinnya untuk terlibat secara
pro-aktif dengan dunia luar dengan persyaratan-persyaratan Indonesia.”
tulis Donald Emmerson dalam bukunya Indonesia Rising: The Repositioning of Asia’s Third Giant. Diplomasi
ekonomi yang optimal akan memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan
posisi dan pengaruhnya di tataran bilateral, regional, dan multilateral.
Jadi, bagaimana Indonesia dapat lebih mengoptimalkan diplomasi
ekonominya? Menilik kisah sukses negara-negara lain, Indonesia perlu
mentransformasi diplomasi ekonominya dari sekedar tradisional menjadi
lebih inovatif. Berdasarkan studi Kishan Rana, seorang Duta Besar India
dan pakar diplomasi ekonomi, sangat menguntungkan untuk menyatukan
pengelolaan ekonomi internasional atau pengelolaannya diatur dalam
bentuk yang erat dan kooperatif di bawah koordinasi satu kementerian.
Pengelolaan kebijakannya sepatutnya dilembagakan dan didukung oleh tim yang solid. Peran dari aktor-aktor non-state dalam
pembentukan kebijakan sebaiknya diharmonisasikan dengan seluruh
pemangku kepentingan. Lebih lanjut, sudah saatnya Indonesia tidak lagi
menerima bantuan asing dan sebaliknya justru memperluas program bantuan
internasionalnya kepada negara-negara yang lebih membutuhkan.
Suatu diplomasi ekonomi yang inovatif juga memerlukan promosi
perdagangan dan investasi yang terkoordinasi dengan baik dan
terintegrasi dalam pekerjaan politik dan ekonomi.
Tahun ini dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan ekonomi internasional. Indonesia akan menjadi tuan rumah High Level Panel Agenda
Pembangunan Paska-2015 PBB akhir Maret ini, pertemuan tingkat menteri
Forum Kerja Sama Asia Timur dan Amerika Latin (FEALAC) pada Juni,
rangkaian pertemuan dan KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
pada September, dan pertemuan tingkat menteri World Trade Organization
(WTO) pada Desember mendatang.
Kini
saatnya Indonesia fokus kepada penyelesaian berbagai tantangan yang
menghalangi diplomasi ekonominya. Dengan demikian, Indonesia dapat
bangkit dengan diplomasi ekonomi yang lebih kuat yang akan semakin
membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dan juga
memajukan kepentingan luar negeri Indonesia yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar