Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel
Oleh: Paul Findley
(Mantan Anggota Kongres AS)
PENDAHULUAN
Konflik Arab-Israel sarat dengan konsekuensi-konsekuensi
yang mendatangkan malapetaka bagi Amerika Serikat, dan
kebanyakan dari kesulitan itu adalah karena ulahnya sendiri.
Akibat buruknya jauh melampaui beban finansial dan ekonomi
yang tercipta karena pemerintah AS terus menyumbangkan
bermilyar-milyar dollar setiap tahun kepada Israel dan
menghamburkan hasil pajak serta perdagangan untuk
kepentingan negara itu. Konsekuensi terburuknya terletak
pada kolusi AS dalam pelanggaran atas hak-hak asasi manusia
yang mengerikan dan telah berlangsung lama, yang dilakukan
Israel dalam skala luas.
Amerika Serikat mempertahankan peranan kunci dalam
kontrol dan pemerasan Israel atas wilayah-wilayah yang
dikuasai Tepi Barat, Jerusalem Timur, jalur Gaza, Lebanon
Selatan, dan Dataran Tinggi Golan --yang kesemuanya adalah
tanah milik bangsa Arab. Pemerintah AS terus memberikan
dukungan finansial, diplomatik, dan militer sementara Isreal
terus melanggar hukum-hukum internasional, menjalankan
pemerintahan militer yang keras dan sering kali brutal atas
hampir dua juta bangsa Arab, dan menutupi semua ini di balik
perisai penipuan yang cermat.
Di samping bangsa Arab yang menderita, kerugian utama
dari kolusi ini adalah nama baik Amerika di Timur Tengah.
Rasa hormat kepada Amerika Serikat --yang pernah tertanam
dalam-dalam dan tersebar luas di kalangan bangsa Arab maupun
Israel-- tercampak sia-sia akibat ambisi para politisi AS
yang memalukan dan tak habis-habisnya demi memenangkan
simpati kelompok-kelompok pro Israel.
Kolusi itu tampak jelas dalam standar ganda yang
diterapkan pemerintah AS dalam pelaksanaan resolusi-resolusi
Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan masalah Timur
Tengah.
Ketika Irak menyerang dan mencaplok Kuwait pada 1990,
Amerika Serikat mengorganisasi dan memimpin suatu serangan
militer multinasional besar-besaran untuk membalas
penaklukan itu di bawah sanksi PBB. Sebaliknya, pemerintah
AS tidak berbuat apa-apa kecuali mengemukakan sepatah dua
patah kata kecaman ketika Israel melakukan
pelanggaran-pelanggaran besar terhadap hukum
internasional.
Misalnya, Dewan Keamanan PBB telah memerintahkan Israel
untuk menarik diri dari tanah bangsa Arab yang direbutnya
bertahun-tahun lalu lewat tindak kekerasan bersenjata,
mengutuk pencaplokan Israel atas Jerusalem Timur dan Dataran
Tinggi Golan dan pembangunan perumahan bangsa Israel di
wilayah-wilayah pendudukan, dan, yang paling mutakhir, pada
18 Desember 1992, menuntut agar Israel membatalkan
pengusiran atas 413 orang Palestina (Resolusi Dewan Keamanan
PBB no. 799).
Bukannya memimpin masyarakat internasional dalam aksi
kekuatan politik, ekonomi, atau militer-untuk mengamankan
tuntutan dewan agar Israel membatalkan pengusiran itu,
Amerika Serikat justru bertindak sebaliknya. Ia meneruskan
tanpa henti aliran bantuan finansial dan militer tanpa batas
kepada negara penyerang tersebut. Pada waktu yang hampir
bersamaan, tepat sebelum pelantikan Presiden Bill Clinton
pada Januari 1993, pemerintahan Bush, sebagai tanggapan atas
tindak pelanggaran yang jauh lebih kecil, memulai suatu
kampanye militer melawan Irak karena pelanggarannya atas
zona larangan terbang pasca perang. Raja Fahd dari Saudi
Arabia menyesalkan standar ganda ini: resolusi-resolusi
Dewan Keamanan PBB, tegasnya, "harus dihormati dan
dilaksanakan, entah itu menyangkut situasi di wilayah Teluk
atau dalam kasus Palestina..."1
Nama baik AS terancam bahkan di Israel sendiri, di mana
semakin banyak warganya yang beranggapan bahwa penerapan
standar ganda AS merupakan penghalang bagi perdamaian.
Mereka percaya bahwa dengan tidak adanya aliran bantuan
finansial dan militer tanpa syarat dari Amerika Serikat,
pemerintah mereka sejak jauh-jauh hari pasti telah menarik
pasukannya dari wilayah-wilayah pendudukan dan menjalin
hubungan yang normal dan damai dengan negara-negara
Arab.
Kesulitan Amerika Serikat akan semakin menjadi beban dan
ancaman ketika konflik Arab-Israel semakin meningkat, dengan
tidak adanya perdamaian. Pusat konflik itu adalah pertemuan
antara pengaruh-pengaruh agama, ekonomi, politik, dan
militer yang sangat kompetitif, yang kesemuanya menyangkut
kepentingan-kepentingan vital AS. Kepentingan-kepentingan
itu mengangkangi dua pihak dan tidak dapat dicapai hanya
dengan berpihak pada bangsa-bangsa Arab atau Israel
saja.
Hanya Amerika Serikat yang mempunyai sumber-sumber yang
diperlukan untuk menjaga kerja sama dari semua partai utama
dalam konflik itu. Namun untuk bertindak secara efektif
Amerika Serikat pertama-tama harus mengatasi dua penghalang
besar, yang keduanya bersumber dari dalam negeri. Pertama,
pengaruh besar yang dilancarkan oleh kepentingan-kepentingan
pro Israel dalam perumusan kebijaksanaan Amerika Serikat di
Timur Tengah. Kedua, topeng buatan yang secara polos
dianggap oleh hampir semua orang Amerika sebagai Israel yang
sejati. Para pendukung Israel memanfaatkan citra yang
menyesatkan itu dengan sangat tangkas dalam program mereka
untuk mempertahankan kolusi AS-Israel.
Jalan menuju suatu perdamaian yang adil di wilayah itu
tidak mungkin dapat tampil dalam fokus yang jelas sebelum
citra rekaan mengenai Israel dibongkar dan dijernihkan.
Penilaian-penilaian yang tepat mengenai kebijaksanaan AS di
masa mendatang harus didasarkan atas realitas, bukan omong
kosong.
Mereka harus mempertimbangkan informasi yang paling
lengkap dan akurat yang ada, termasuk profil yang tak
memihak tentang Israel, dan melangkah dari penerimaan murni
atas tanggung jawab yang dipikul Amerika Serikat bagi
tindakan-tindakan Israel di masa lalu dan di masa
sekarang.
Buku ini, saya yakin, dapat memenuhi kebutuhan kritis
itu. Dengan membacanya, Anda akan ikut merasakan suatu
pengalaman yang menggelisahkan: suatu pencarian panjang akan
laporan yang meliputi perilaku ekspansionis dan struktur
sosial Israel yang diskriminatif. Perjalanan itu sangat
sulit, sebab kebenaran sering kali sukar ditangkap. Dalam
hal ini, ia harus dipilih di antara begitu banyak informasi
yang telah diterbitkan mengenai hubungan AS dengan Israel
dan bangsa Palestina, yang kebanyakan keliru dan harus
dibersihkan dari prasangka. Di samping itu, media
populer-koran, buku, artikel, drama televisi dan film
dokumenter, serta film layar lebar-sering kali hanya
membicarakan sisi heroik sejarah Israel dan perilaku
mutakhir, dengan mengabaikan atau menyembunyikan
pelanggaran-pelanggaran yang terus dilakukannya atas hak-hak
asasi manusia, kebijaksanaan ekspansionisnya, serta
pelanggaran hukum internasional. (Misalnya, novel Leon Uris
yang sangat populer pada 1950-an, Exodus, sesungguhnya
didukung perusahaan humas New York milik Edward Gottlieb
untuk "menciptakan sikap yang lebih simpatik terhadap
Israel." Sebagai seorang ahli humas, Art Stevens
menyimpulkan: "Novel itu lebih dapat mempopulerkan Israel
kepada publik Amerika dibanding semua tulisan lain melalui
media massa."2)
Saya kemukakan di sini suatu pengalaman unik dalam
politik Timur Tengah. Saya bertugas selama dua puluh dua
tahun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS, dua belas
tahun di antaranya di Departemen Luar Negeri Subkomisi Eropa
dan Timur Tengah. Sepanjang tahun-tahun itu saya sering
mencela pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Israel atas
hak-hak asasi manusia dan agresi militernya, namun saya
tidak pernah sekali pun memberikan suara menentang
undang-undang yang memberikan sarana pada Israel untuk
melaksanakan tindakan-tindakan salah tersebut. Dalam
beberapa kesempatan saya mendesak pemerintahan Carter untuk
menunda semua bantuan, tapi ketika keputusan dibacakan di
dalam komisi dan di majelis DPR mengenai undang-undang dasar
bagi bantuan, saya selalu setuju. Ketika kini saya menyesali
kemunafikan untuk meneruskan bantuan AS kepada Israel
sementara mengecam pelanggaran-pelanggarannya atas hak-hak
asasi manusia, saya merenungkan ulah saya itu dengan
sedih.
Tahun-tahun yang saya jalani sebagai anggota kongres
memberi saya untuk pertama kalinya suatu kesadaran akan
politik Timur Tengah. Melalui perjalanan ke luar negeri dan
berbagai acara dengar pendapat resmi serta
pertemuan-pertemuan pribadi, saya berbicara langsung dengan
semua pemimpin utama yang menyusun kebijaksanaan di wilayah
itu. Di antara tokohtokoh yang saya kenal itu adalah para
pejabat kelompok-kelompok pelobi, yang kebanyakan di
antaranya diorganisasi oleh para warga negara AS yang
mempunyai ikatan etnis dengan Timur Tengah, termasuk
American Israel Public Affairs Committee (AIPAC),
organisasi kuat yang bekerja untuk kepentingan negara Israel
di Capitol Hill. Pengalaman saya juga mencakup pencalonan
dalam dua belas putaran pemilihan federal. Dalam dua
pemilihan terahir, saya menyadari bahwa diri saya merupakan
sasaran utama dari kelompok-kelompok lobi pro Israel.
Kampanye-kampanye itu memberikan wawasan baru mengenai
faktor-faktor dalam negeri yang mempengaruhi kebijaksanaan
luar negeri. Ketika saya meninggalkan Kongres pada Januari
1983, dengan polos saya menganggap diri saya sebagai semacam
ahli mengenai Israel dan negara-negara Arab.
Pendidikan saya dimulai dengan sungguh-sungguh ketika,
setelah meninggalkan Kongres, saya memulai riset untuk buku
saya They Dare to Speak Out: People and Institutions
Confront Israel's Lobby.3
Saya segera menyadari bahwa pengalaman saya sebagai
anggota Kongres hanya memberikan pandangan sekilas mengenai
jaringan kerja yang digunakan oleh para pendukung Israel
untuk mempengaruhi penyusunan kebijaksanaan Timur Tengah
maupun persepsi publik atas Israel.
Pengaruh ini menyusup ke segenap sendi pemerintahan dan
ke dalam hampir semua aspek kehidupan, pribadi maupun umum,
di seluruh Amerika Serikat. Di Capitol Hill pengaruh itu
demikian kuatnya sehingga tidak pernah ada perdebatan
menyangkut konflik Arab-Israel. Kecuali Senator Robert C.
Byrd dari Virginia Barat dan Bob Dole dari Kansas serta para
Wakil James A. Traficant, Jr. dari Ohio dan Nick Joe Rahall
dari Virginia Barat, tidak ada satu pun dari anggota kedua
dewan itu yang secara berlarut-larut mempertanyakan perilaku
Israel. Sebagai mantan Wakil Menteri Luar Negeri, George W.
Ball berkomentar: "Mengenai kebijaksanaan Timur Tengah,
Kongres berlaku seperti sekawanan anjing pudel yang
terlatih, melompat-lompat melalui simpai yang dipegang oleh
lobi Israel."4
Setiap tahun Kongres AS menyumbangkan pada Israel
sebanyak $1000 untuk setiap pria, wanita, dan anak Israel.
Tidak soal sekeras apa pun Kongres memotong pos-pos lain
dalam anggaran belanja federal, hadiah-hadiah untuk Israel
terus mengalir tanpa amandemen yang restriktif atau
bisik-bisik pertentangan. Tahun-tahun yang saya lalui di
Capitol Hill mendorong saya untuk berkesimpulan bahwa di
sana bantuan kepada Israel lebih keramat bahkan dibanding
Jaminan Sosial dan Perawatan Kesehatan.
Pengaruh Israel hampir sama besarnya di cabang eksekutif.
Donald McHenry, seorang diplomat karier yang dihormati dan
mantan duta besar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa,
mengemukakan penilaian yang suram ini: "Akibat pengaruh lobi
[Israel], pemerintah kita tidak dapat memenuhi
kepentingan nasionalnya sendiri di Timur
Tengah."5
They Dare to Speak Out menjelaskan bagaimana
kekuatan lobi ditanamkan dan dipertahankan --dan mengapa.
Tanggapan terhadap penerbitan buku itu-- penjualannya
melebihi 210.000 eksemplar --hampir sama mengejutkannya
dengan fakta-fakta yang diketengahkannya. Tentang tulisan
ini, lebih dari seribu orang pembaca telah mengirimkan
pesan-pesan lewat surat dan telepon. Sebagian mengadakan
perjalanan melintasi negeri ini ke rumah saya di wilayah
barat-tengah. Semuanya merasa terganggu dan ingin membantu
melonggarkan cengkeraman lobi itu dalam penyusunan
kebijaksanaan Timur Tengah. Banyak di antara para pembaca
ini yang menjadi anggota pendiri Council for the National
Interest, sebuah organisasi nirlaba dan nonpartisan yang
berpusat di Washington dan didirikan pada 1989. Tujuan
utamanya adalah mengerahkan dukungan pada tingkat masyarakat
atas kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengutamakan
kepentingan nasional Amerika di Timur Tengah (lihat
Lampiran).
Surat-surat dan telepon-telepon itu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penting. Apakah Israel itu demokratis?
Mengapa Perserikatan Bangsa-bangsa menyamakan Zionisme
dengan rasisme? Apakah Israel terbuka bagi semua pengungsi?
Apakah Israel penting bagi keamanan AS? Apakah Israel
membayar utang-utangnya pada Amerika Serikat? Apakah para
warga negara Arab diperlakukan sama dengan warga negara
Yahudi? Apakah pendudukan militer Israel atas Tepi Barat dan
jalur Gaza merupakan suatu pelanggaran atas hukum
internasional? Bagaimana Israel menjustifikasi kontrolnya
atas orang-orang Palestina yang hidup di sana? Pihak mana
yang memulai perang Arab-Israel? Apakah Amerika Serikat
mempunyai kewajiban moral untuk membantu Israel dengan
masalah-masalah yang dihadapinya, terutama pemukiman para
imigran Yahudi dari bekas republik-republik Soviet?
Kebanyakan orang Amerika, yang terpengaruh oleh citra
keliru yang telah diciptakan para pendukung Israel,
barangkali akan menjawab begini: "Israel adalah demokrasi
yang menentang rasisme, memperlakukan semua warga negaranya
dengan adil, membayar utang-utangnya pada pemerintah AS
dengan segera, telah menganut nilai-nilai yang sama dengan
Amerika, dan penting kedudukannya bagi keamanan AS. Karena
Amerika Serikat membantu kelahiran Israel dan mendorong
imigrasi, maka ia mempunyai kewajiban moral untuk membantu
Israel mengatasi masalah-masalahnya. Israel memerangi bangsa
Arab hanya jika diserang. Ia harus mempertahankan kontrol
ketat di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebab orang-orang
Palestina yang tinggal di sana ingin menghancurkan Israel."
Jawaban-jawaban saya bertentangan dengan pandangan-pandangan
ini. Tetapi sementara saya yakin bahwa pendapat-pendapat
saya mempunyai landasan kuat, saya belum siap dengan
sumber-sumber dasarnya. Saya juga tidak dapat menemukannya
dalam buku mana pun.
Sementara meneruskan riset saya setelah terbitnya edisi
revisi dari They Dare to Speak Out pada 1989, saya
mendapati sejumlah besar pernyataan yang telah diterima
secara luas mengenai hakikat Israel dan hubungannya dengan
Amerika Serikat yang terbukti keliru melalui dokumen-dokumen
yang otoritatif. Jelas bahwa diterimanya pikiran-pikiran
yang keliru mengenai Israel bukanlah suatu kebetulan. Tetapi
adalah hasil kerja dari banyak orang yang telah mengerahkan
tenaga mereka untuk melaksanakan tugas itu dengan penuh
kegigihan dan tanggung jawab.
Dorongan untuk mendukung omong kosong-omong kosong ini
muncul, setidaknya sebagian, dari rasa hormat orang-orang
Yahudi dan Kristen pada Israel. Pendirian negara Israel pada
1948 merupakan prestasi utama agama Yahudi dalam sejarah
masa kini, tahun-tahun puncak di mana "tahun depan di
Jerusalem" menjadi seruan pemersatu dan impian banyak orang
Yahudi di seluruh dunia. Seruan itu semakin bergema setelah
terjadinya penindasan kejam dan pembunuhan besar-besaran
terhadap orang-orang Yahudi oleh kaum Nazi Jerman selama
Perang Dunia II. Contoh seram dari kejahatan pemusnahan
bangsa Yahudi ini akan selalu mendapat perhatian publik
dengan dibukanya Museum Holocaust baru di dekat Monumen
Washington di Washington, D.C. Namun sungguh ironis bahwa
usaha sistematis Nazi Jerman untuk menghancurkan bangsa
Yahudi di Eropa, yang bukan merupakan tanggung jawab
langsung pemerintah AS, menjadi subjek peringatan nasional,
sementara kejadian-kejadian yang atasnya pemerintah kita
harus menerima tanggung jawab penuh --perbudakan, pembunuhan
atas orang-orang Indian Amerika, dan kini pelanggaran atas
hak-hak asasi bangsa Arab oleh Israel-- justru
diabaikan.
Meskipun pendirian Israel ditentang keras oleh banyak
tokoh terkemuka Yahudi di Amerika Serikat dan kejahatannya
tetap menjadi topik pemikiran yang meluas di kalangan
masyarakat Yahudi di sana, Israel tetap bercahaya di hati
orang-orang Yahudi lainnya. Negara Yahudi dipandang sebagai
suatu tempat berlindung di mana bangsa Yahudi dapat merasa
aman dari datangnya gelombang perasaan anti-Semit di masa
mendatang. Sebuah survei yang dibuat pada 1983 mengenai
orang-orang Yahudi Amerika mencatat: "Perhatian pada Israel
masih ditunjukkan dengan menghadiri Passover Seder
dan dengan menyalakan lilin-lilin Hanukkah sebagai
ungkapan kesetiaan Yahudi Amerika yang paling
populer."6
Rabbi Arthur Hertzberg sampai pada kesimpulan serupa:
"Rasa memiliki orang-orang Yahudi di seluruh dunia, di mana
Israel merupakan pusatnya, merupakan perasaan keagamaan,
namun tampaknya itu juga dirasakan oleh orang-orang Yahudi
yang menganggap diri mereka sekular atau
ateis."7
Cendekiawan Irving Kristol mengakui kepeduliannya pada
Israel di halaman-halaman The Wall Street Journal:
"Mengapa saya begitu terpengaruh? Saya bukan seorang Yahudi
Ortodoks, dan tidak terlalu taat. Saya bukan seorang Zionis
dan saya merasa bahwa dua kali kunjungan saya ke Israel
tidak terlalu menggembirakan." Namun dia mengaku sangat
peduli pada Israel sebab dia merasakan "jauh di lubuk hati
bahwa apa yang terjadi pada Israel akan menentukan bagi
sejarah Yahudi, dan bagi jenis kehidupan yang akan dijalani
oleh cucu-cucu dan cicit-cicit saya."8
Di tahun-tahun belakangan ini Israel dianggap lebih dari
sekadar tempat mengungsi. Ralph Numberger, sarjana lain dan
pengamat kritis agama Yahudi, mencatat adanya penurunan
tajam peran serta Yahudi dalam kebaktian agama dan
menyimpulkan: "Bagi banyak orang Yahudi Amerika, Israel
telah menggantikan Yahudi sebagai agama
mereka."9
Akibatnya Israel menjadi fokus pengabdian yang kukuh
dan tidak kritis bagi para pemimpin organisasi-organisasi
Yahudi tradisional Amerika.
Tetapi masih ada perkecualian. Di kalangan akademis,
bisnis, dan jurnalis, sejumlah profesional Yahudi terkemuka
berbicara dan menulis tentang Israel dengan terus terang,
seimbang, dan peka. Di antaranya Anthony Lewis, Mike
Wallace, Roberta Feuerlicht, Rita Hauser, Milton Viorst,
Seymour M. Hersh, Michael Lerner, Noam Chomsky, dan Philip
Klutznick. Mereka memberikan sumbangan berharga pada wacana
publik mengenai kebijaksanaan Timur Tengah. Namun terkadang
suara-suara mereka tidak dapat didengar akibat dengungan
mantra-mantra dari orang-orang Amerika yang penilaiannya
tersaput awan kegairahan emosional.
Israel juga mendapatkan dukungan politik sangat besar
dari berjuta-juta orang Kristen fundamentalis yang dibutakan
oleh keyakinan untuk menerima pikiran-pikiran keliru
mengenai Israel. Mereka percaya bahwa orang-orang Israel
masa kini mewarisi hak istimewa dari Tuhan yang dimiliki
orang-orang Israel di masa diwahyukannya Kitab Injil. Mereka
berpendapat bahwa Israel harus dijaga agar tetap kuat
sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk "akhir zaman" yang
diramalkan dalam Kitab Injil. Mereka mengabaikan
landasan-landasan sektarian anti-Semit dan anti-Katolik dari
sistem keyakinan apokaliptis ini, yang meramalkan kehancuran
semua bangsa, termasuk Yahudi, yang tidak "dilahirkan
kembali" sebagai penganut agama
Kristen.10
Orang-orang Kristen fundamentalis dan orang-orang Yahudi
yang menerima Israel sebagai agama mereka tampaknya terpaksa
membelanya dari semua kritik. Dalam semangat mereka, sering
kali mereka salah menuduh para kritikus Israel sebagai
anti-Semit atau "orang-orang Yahudi yang membenci diri
sendiri." Akibatnya timbullah intimidasi. Kebebasan
berbicara diberangus dan telah yang mendalam serta penilaian
yang bijaksana dihalangi. Sebaliknya, diskusi terbuka
mengenai kelemahan-kelemahan Israel lazim dilakukan para
warga negaranya. Pers Ibrani, forum utama bagi perdebatan
bangsa Israel, dipenuhi laporan-laporan yang terus terang
tentang kesalahan tindakan pemerintah Israel, namun semua
ini jarang dikutip di Amerika Serikat.
Yang juga dapat kita temukan di kalangan para pembela
Israel adalah orang-orang yang tidak mempunyai motivasi
agama tetapi percaya bahwa negara Israel melindungi
kepentingan-kepentingan militer, ekonomi, atau politik vital
Amerika di wilayah itu. Selama bertahun-tahun, mereka
menganggap Israel sebagai benteng pertahanan melawan
intervensi Soviet. Kini mereka melihatnya, secara keliru
menurut pendapat saya, sebagai suatu lawan efektif bagi
kejahatan radikalisme agama yang berpusat di Iran dan
ancaman militer yang telah ditunjukkan oleh Saddam Hussein
dari Irak.
Kebanyakan omong kosong Israel merupakan hasil karya para
partisan agama, baik Yahudi maupun Kristen, yang
mengulang-ulang omongan kosong ini sedemikian seringnya dari
tahun ke tahun sehingga semuanya diterima hampir secara
universal sebagai realitas. Bagi sebagian besar orang
Amerika, rangkaian mitos-mitos ini menegaskan kedudukan
Israel dan membuat bantuan ekonomi, politik, dan militer AS
tetap mengalir.
Dalam buku ini, saya mencatat setiap pernyataan seorang
tokoh terkemuka dan kemudian menelaah dan membuktikan
kebohongannya dengan mengemukakan fakta-fakta yang secara
cermat dilaporkan dan dijelaskan dalam catatan publik,
sebagian besar dari sumber-sumber Israel. Gambaran tentang
Israel yang kemudian tampil, yang didukung oleh fakta-fakta
dan bukannya mitos-mitos, akan membuka mata banyak
pembaca.
Jika sejarah konflik Arab-Israel ditulis di masa
sekarang, akan tercatat bahwa sebagian besar warga negara
AS, baik yang beragama Kristen maupun Yahudi, tidak akan
bersuara mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak
manusiawi yang dilaksanakan oleh Israel atau secara langsung
terlibat dalam pelaksanaannya. Maksud buku ini adalah
memberikan informasi yang akan mengilhami para pembaca yang
bijaksana agar menuntut perubahan.
Israel mendasarkan klaim-klaimnya untuk mendirikan sebuah
negara di Palestina atas tiga sumber utama: warisan
Perjanjian Lama dari Kitab Injil,1
Deklarasi Balfour yang diumumkan Inggris Raya pada 1917, dan
pembagian Palestina menjadi negara Arab dan negara Yahudi
yang direkomendasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1947.
OMONG KOSONG
"Atas dasar hak alamiah dan hak
kesejarahan kita... dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara
Yahudi di Tanah Israel-Negara Israel." --Deklarasi Kemerdekaan Israel,
19482
FAKTA
Menurut sejarah, bangsa Yahudi
bukanlah penduduk pertama Palestina, pun mereka tidak memerintah di sana selama
masa pemerintahan bangsa-bangsa lain. Para ahli arkeologi modern kini secara
umum sepakat bahwa bangsa Mesir dan bangsa Kanaan telah mendiami Palestina
sejak masa-masa paling kuno yang dapat dicatat, sekitar 3000 SM hingga sekitar
1700 SM.3 Selanjutnya datanglah penguasa-penguasa lain seperti bangsa-bangsa
Hyokos, Hittit, dan Filistin. Periode pemerintahan Yahudi baru dimulai pada
1020 SM dan berlangsung hingga 587 SM. Orang-orang Israel kemudian diserbu oleh
bangsa-bangsa Assyria, Babylonia, Yunani, Mesir, dan Syria hingga Hebrew
Maccabeans meraih kembali sebagian kendali pemerintahan pada 164 SM. Tetapi,
pada 63 SM Kekaisaran Romawi menaklukkan Jerusalem dan pada 70 M menghancurkan
Kuil Kedua dan menyebarkan orang-orang Yahudi ke negeri-negeri lain.
Ringkasnya, bangsa Yahudi kuno menguasai Palestina atau sebagian besar darinya
selama kurang dari enam ratus tahun dalam kurun waktu lima ribu tahun sejarah
Palestina yang dapat dicatat --lebih singkat dibanding bangsa-bangsa Kanaan,
Mesir, Muslim, atau Romawi.4 Komisi King-Crane AS menyimpulkan pada 1919 bahwa
suatu klaim "yang didasarkan atas pendudukan pada masa dua ribu tahun yang
lalu tidak dapat dipertimbangkan secara serius."5
Pada 14 Mei 1948, sekitar tiga
puluh tujuh orang menghadiri pertemuan Tel Aviv di mana kemerdekaan Israel
dinyatakan sebagai "hak alamiah dan historis." Namun para kritikus
menuduh bahwa aksi mereka tidak mempunyai kekuatan yang mengikat dalam hukum
internasional sebab mereka tidak mewakili mayoritas penduduk pada waktu itu.
Sesungguhnya, hanya satu orang di antara mereka yang dilahirkan di Palestina;
tiga puluh lima orang berasal dari Eropa dan seorang dari Yaman. Tegas sarjana
Palestina Issa Nakhleh: "Minoritas Yahudi tidak berhak untuk menyatakan
kemerdekaan suatu negara di atas wilayah yang dimiliki oleh bangsa Arab
Palestina."6
OMONG KOSONG
"'Sertifikat kelahiran'
internasional Israel disahkan oleh janji dalam Kitab Injil."
--AIPAC,*) 1927
FAKTA
Klaim-klaim tentang dukungan
ilahiah atas ambisi-ambisi kesukuan maupun kebangsaan sangat lazim ditemukan di
masa kuno. Bangsa-bangsa Sumeria, Mesir, Yunani, dan Romawi semuanya menyitir
wahyu-wahyu ilahi untuk penaklukan-penaklukan mereka. Sebagaimana dicatat oleh
ahli sejarah Frank Epp: "Setiap fenomena dan proses kehidupan dianggap
sebagai hasil campur tangan dewa atau dewa-dewa... bahwa sebuah negeri yang
baik telah dijanjikan kepada bangsa yang lebih baik oleh dewa-dewa yang lebih
tinggi."8 Tidak ada pengadilan atau badan dunia di masa sekarang ini yang
akan menganggap sah suatu hak pemilikan yang didasarkan atas klaim yang
dinyatakan berasal dari Tuhan.9 Bahkan bagi mereka yang mengartikan restu Injil
secara harfiah sebagai restu dari Tuhan, para ahli Injil seperti Dr. Dewey
Beegle dari Wesley Theological Seminary menyatakan bahwa bangsa Yahudi kuno
tidak berhasil mematuhi perintah-perintah Tuhan dan karenanya kehilangan janji
itu.10
OMONG KOSONG
"Hak [bangsa Yahudi untuk melakukan restorasi nasional di
Palestina] diakui oleh Deklarasi Balfour." --Deklarasi Kemerdekaan
Israel, 194811
FAKTA
Deklarasi Balfour secara sengaja
tidak mendukung pendirian suatu bangsa Yahudi. Deklarasi itu termuat dalam
sebuah surat yang dikirimkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James
Balfour kepada Lord Rothschild, presiden Federasi Zionis Inggris, pada 2 November
1917. Deklarasi itu telah disetujui oleh kabinet Inggris dan dikatakan:
"Pemerintah menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di
Palestina, dan berusaha sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini,
setelah dipahami secara jelas bahwa tidak akan dilakukan sesuatu yang dapat
merugikan hak-hak sipil dan hak-hak keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di
Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh bangsa Yahudi di
setiap negeri lain."12 Pada 1939 British White Paper secara khusus
menyatakan bahwa Inggris "tidak bermaksud mengubah Palestina menjadi
sebuah Negara Yahudi yang bertentangan dengan kehendak penduduk Arab di negeri
itu."13
OMONG KOSONG
"[Palestina
adalah] tanah air tanpa rakyat bagi rakyat [Yahudi) yang tidak bertanah
air." --Israel Zangwill, Zionis senior, c. 189714
FAKTA
Ketika Deklarasi Balfour
diumumkan pada 1917 ada kira-kira 600.000 orang Arab di Palestina dan kira-kira
60.000 orang Yahudi.15 Lebih dari tiga puluh tahun selanjutnya rasio itu
menyempit ketika imigrasi Yahudi bertambah, terutama akibat adanya
kebijaksanaan anti-Semit Adolf Hitler. Namun, menjelang akhir 1947 ketika PBB
berencana untuk membagi Palestina, bangsa Arab masih merupakan penduduk
mayoritas, dengan jumlah orang Yahudi mencapai hanya sepertiganya --608.225
orang Yahudi berbanding 1.237.332 orang Arab.16 Ketika Max Nordau, seorang
Zionis senior dan sahabat Zangwill, mengetahui pada 1897 bahwa ada penduduk
asli Arab di Palestina, dia berseru: "Aku tidak tahu itu! Kita tengah
melakukan suatu kezaliman!"17
Penduduk Palestina bukan hanya
sudah ada di sana, mereka bahkan telah menjadi masyarakat mapan yang diakui
oleh bangsa-bangsa Arab lainnya sebagai "bangsa Palestina." Bangsa
itu terdiri atas golongan-golongan intelektual dan profesional terhormat,
organisasi-organisasi politik, dengan ekonomi agraria yang tengah tumbuh dan
berkembang menjadi cikal bakal industri modern.18 Kata ilmuwan John Quigley:
"Penduduk Arab telah mapan selama beratus-ratus tahun. Tidak ada migrasi
masuk yang berarti dalam abad kesembilan belas."19
OMONG KOSONG
"Atas dasar... resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di Tanah
Israel --Negara Israel." --Deklarasi Kemerdekaan Israel, 194820
FAKTA
Hanya karena tekanan kuat dari
pemerintahan Truman sajalah maka Rencana Pembagian PBB diluluskan oleh Majelis
Umum pada 29 November 1947, dengan perolehan suara 33 lawan 13 dan dengan 10
abstain dan 1 absen. Di antara bangsa-bangsa yang mengalah pada tekanan AS
adalah Prancis, Ethiopia, Haiti, Liberia, Luksemburg, Paraguay, dan Filipina.21
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Sumner Welles menulis: "Melalui perintah
langsung dari Gedung Putih setiap bentuk tekanan, langsung maupun tak langsung,
dibawa untuk disampaikan oleh para pejabat Amerika kepada negara-negara di luar
dunia Muslim yang diketahui belum menentukan sikap atau menentang pembagian
itu. Para wakil dan perantara dikerahkan oleh Gedung Putih untuk memastikan
bahwa suara mayoritas akan terus dipertahankan."22
Rencana pembagian, yang dinamakan
Resolusi 181, membagi Palestina antara "negara-negara Arab dan Yahudi yang
merdeka dan Rezim Internasional Istimewa untuk Kota Jerusalem."23 Calon
Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengatakan bahwa resolusi itu
mempunyai "kekuatan mengikat," dan Deklarasi Kemerdekaan Israel
mengutipnya tiga kali sebagai dasar kebenaran yang sah bagi berdirinya negara
itu.24 Namun Majelis Umum, tidak seperti Dewan Keamanan, tidak mempunyai kuasa
lebih dari membuat rekomendasi. Ia tidak dapat mendesakkan
rekomendasi-rekomendasinya, pun rekomendasi-rekomendasi itu tidak mengikat
secara hukum kecuali untuk masalah-masalah internal PBB.25
Bangsa Palestina, yang memang
berhak, menolak rencana pembagian itu sebab rencana tersebut memberikan pada
bangsa Yahudi lebih dari separuh Palestina, meskipun dalam kenyataannya mereka
itu hanyalah sepertiga penduduk dan hanya memiliki 6,59 persen tanah.26 Di
samping itu, bangsa Palestina berkeras bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak
mempunyai hak yang sah untuk merekomendasikan pembagian jika mayoritas penduduk
Palestina menantangnya. Sekalipun demikian, dengan menolak pembagian tidak
berarti bangsa Palestina menolak klaim mereka sendiri sebagai suatu bangsa merdeka.
Yang mereka tentang adalah negara Yahudi yang didirikan di atas tanah
Palestina, bukan hak orang-orang Yahudi sebagai suatu bangsa.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion
menasihati para koleganya untuk menerima pembagian itu sebab, katanya pada
mereka, "dalam sejarah tidak pernah ada suatu persetujuan final --baik
yang berkaitan dengan rezim, dengan perbatasan-perbatasan, dan dengan
persetujuan-persetujuan internasional."27
Salah seorang perintis Zionis
besar, Nahum Goldmann, mengungkapkan sikap pragmatis dengan cara berbeda:
"Tidak ada harapan bagi sebuah negara Yahudi yang harus menghadapi 50
tahun lagi untuk berjuang melawan musuh-musuh Arab."28
OMONG KOSONG
"Aslinya Palestina
mencakup Yordania." Ariel Sharon, Menteri Perdagangan Israel, 198929
FAKTA
Dalam sejarah panjang Imperium
Islam/Usmaniah, Palestina tidak pernah berdiri sebagai suatu unit geopolitik
atau administratif yang terpisah. Ketika daerah di Laut Tengah bagian timur
antara Lebanon dan Mesir diambil alih oleh Inggris Raya dari Turki pada akhir
Perang Dunia I, bagian-bagian tertentu dari apa yang disebut Palestina berada
di bawah wilayah administrasi Beirut sementara Jerusalem menjadi sanjak, sebuah
distrik otonom.30 Daerah di sebelah timur sungai Yordan --Transyordan-- adalah,
dalam kata-kata sarjana Universitas Tel Aviv Aaron Klieman, "sesungguhnya
merupakan terra nullius di bawah kekuasaan bangsa Turki dan dibiarkan tanpa
kepastian dalam pembagian Imperium Usmaniah."31
Dalam memulai mandat di Palestina
atas nama Liga Bangsa-bangsa pada 1922, Inggris mendapatkan Palestina dan
Transyordan ke arah timur hingga Mesopotamia, yang menjadi Irak. Sekarang
wilayah yang sama berarti mencakup Israel, Yordania, Tepi Barat, Jalur Gaza,
dan Jerusalem. Pada Desember 1922, Inggris menyatakan pengakuannya atas
"eksistensi suatu Pemerintahan konstitusional yang merdeka di
Transyordan." Dan pada 1928 dinyatakan secara khusus bahwa Palestina
adalah daerah di sebelah barat sungai Yordan.32 Hanya di Palestina sajalah
Inggris beranggapan bahwa janjinya dalam Deklarasi Balfour dapat diterapkan
untuk membantu mendirikan suatu tanah air Yahudi. (klik disini baca selanjutnya)
Catatan kaki:
1 Lihat, misalnya, Kitab Kejadian
15:18, 'Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman,
'Untuk keturunanmu Aku berikan tanah ini, dari sungai Mesir hingga sungai
besar, sungai Efrat.'"
2 Ben-Gurion, Israel, 80. Teks
deklarasi itu dicetak kembali di hlm. 79-81.
3 Bright, A History of Israel,
17-18. Lihat juga Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 953-70.
4 Epp, Whose land is Palestine?,
39-40. Juga lihat The New Oxford Annotated Bible, 1549-50; Beatty, Arab and Jew
in the Land of Canaan, 85.
5 Grose, Israel in the Mind of
America, 88-89. Kutipan-kutipan dari laporan Komisi King-Crane terdapat dalam
Khalidi, From Haven to Conquest, 213-18, dan Laqueur dan Rubin, The Israel-Arab
Reader, 34-42.
6 Nakhleh, Encyclopedia of the
Palestine Problem, 4.
*) AIPAC adalah American Israel
Public Affairs Committe, lobi utama yang mendukung Israel di Amerika Serikat
7 Bard dan Himelfarb, Myths and
Facts, 1.
8 Epp, Whose Land Is Palestine?,
38, 41.
9 Guillaume, Zionists and the
Bible, 25-30, dicetak ulang dalam Khalidi, From Haven to Conquest. Lihat juga
Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 953-70.
10 Dewey Beegle, wawancara dengan
penulis, 12 Januari 1984.
11 Ben-Gurion, Israel, 80.
12 Sanders, The High Walls of
Jerusalem, 612-13.
13 Sachar, A History of Israel,
222.
14 Dikutip dalam Elon, The
Israelis, 149.
15 Palestine: Blue Book, 1937
(Jerusalem: Government Printer, 1937), dikutip dalam Epp, Whose Land Is
Palestine?, 144. Lihat juga Khalidi, From Haven to Conquest, Lampiran 1.
16 Perserikatan Bangsa-Bangsa,
laporan subkomite kepada Komite Khusus untuk Palestina, A/AC al/32, dicetak
ulang dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 675.
17 Sachar, A History of
Israel,163.
18 Said et al., "A Profile
of the Palestinian People," dalam Said dan Hitchens, Blaming the
Victimis,135-37.
19 Quigley, Palestine and Israel,
73. Lihat juga Khalidi, Before Their Diaspora; Nakhleh, Encyclopedia of the
Palestine Problem, terutama Bab 1 dan Bab 2.
20 Ben-Gurion, Israel, 80.
21 Sheldon L. Richman,
"'Ancient History': U.S. Conduct in the Middle East since World War II and
the Folly of intervention," pamflet Cato Institute, 16 Agustus 1991.
22 Welles, We Need Not Fail,
dikutip dalam ibid. Lihat juga Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving Day
at Lake Success, November 17, 1947;" Carlos P. Romulo, "The
Philippines Changes Its Vote;" dan Kermit Roosevelt, "The Partition
of Palestine: A Lesson in Pressure Politics," semuanya dalam Khalidi, From
Haven to Conquest, 709-22, 723-26, 727-30, secara berturut- turut.
23 Teks Resolusi 181 (II)
terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the
Arab-Israeli Conflict, 1: 4-14.
24 Mallison dan Mallison, The
Palestine Problem in International Law and World Order, 171.
25 Quigley, Palestine and Israel,
47.
26 Cattan, Palestine, the Arabs,
and Israel, 29; John Ruedy, "Dinamics of Land Alienation," dalam
Abu-Lughod, Transformation of Palestine, 125, 134; Said, The Question of
Palestine, 98.
27 David Ben-Gurion, War Diaries,
dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 13.
28 Findley, They Dare to Speak
Out, 273.
29 Sharon, Warrior, 246.
30 Ibrahim Abu-Lughod,
"Territorially-based Nationalism and the Politics of Negation" dalam
Said dan Hitchens, Blaming the Victims, 195.
31 Klieman, Foundations of
British Policy in the Arab World, 68.
32 Ibid., 234-35. Lihat juga
Fromkin, A Peace to End All Peace, 560.
Diplomasi Munafik ala Yahudi -
Mengungkap Fakta Hubungan
AS-Israel oleh Paul Findley
Judul Asli: Deliberate
Deceptions:
Facing the Facts about the U.S. -
Israeli Relationship by Paul Findley
Terbitan Lawrence Hill Brooks,
Brooklyn, New York 1993
Penterjemah: Rahmani Astuti,
Penyunting: Yuliani L.
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No.
16, Bandung 40124
Cetakan 1, Dzulhijjah 1415/Mei
1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022)
707038
Tidak ada komentar:
Posting Komentar